SEMAKIN IKHLAS SEMAKIN TINGGI MARTABAT

Khazanah

 

 

Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh 

 

“Keikhlasan dalam berjuang akan meninggikan martabat pelakunya, bukan malah menghinakannya.” (Abdul Hakim El Hamidy) 

 

Ketika Panglima Khalid bin Walid sedang memimpin pasukannya dalam sebuah pertempuran, ia memeroleh surat perintah “pemecatan” dari Khalifah Umar bin Khattab. Dalam surat perintah itu disebutkan bahwa mulai saat itu, Khalid bin Walid diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sebagai panglima perang, dan segera menyerahterimakan jabatan itu kepada Panglima Ubaidillah bin Al-Jarra sebagai penggantinya. 

 

Konon, perintah itu sempat membuat bingung Panglima Ubaidillah, tetapi berkat jiwa besar panglima Khalid, persoalan itu dapat diselesaikan oleh keduanya secara diam-diam sambil menunggu saat yang tepat untuk mengumumkannya. Setelah api peperangan sedikit mereda, barulah diumumkan kepada segenap pasukan atas perintah pergantian panglima perang dari Khalifah Umar tersebut. Dan Khalid bin Walid kembali menjadi prajurit biasa dibawah komando panglima yang baru– Ubaidillah bin Al-Jarra.  

 

Sakit  hatikah Khalid bin Walid? Ternyata tidak. Ini memang teladan yang tak ada duanya dalam sejarah kehidupan manusia. Konon, usai serah terima jabatan, beberapa anggota yang menyaksikan hal itu menanyakan langsung kepada Khalid bin Walid. Pertanyaan mereka berkisar tentang bagaimana perasaannya tatkala beliau diberhentikan dengan hormat oleh Khalifah Umar bin Khattab dan turun jabatan menjadi prajurit biasa; juga, tentang bagaimana dia bisa bersikap bijak dan rendah hati terhadap proses pergantian yang sedemikian mendadak dan cenderung tidak wajar itu? Apalagi pergantian itu dilakukan di tengah-tengah api peperangan sedang berkobar-kobar, tentu dari perspektif kebutuhan moral pasukan, pergantian demikian sangatlah tidak pantas. 

 

Namun, Khalid bin Walid tampaknya tumbuh sebagai panglima sejati. Maka dengan nada tenang tetapi mantap menjawab, “Saya berjuang bukan karena Abu Bakar yang,  juga bukan karena Umar yang memecatku; tetapi saya berjuang karena Allah, semata-mata demi pengabdian saya kepada Allah.” Inilah jiwa seorang pejuang tulen. Seorang pejuang yang bekerja hanya dilandasi oleh keinginannya untuk mengabdi secara tulus kepada negara, kepada agama yang dipeluknya dan kepada pemimpin yang mengangkat maupun yang memberhentikannya. Sebuah kesadaran moral yang jarang kita temukan dalam kehidupan nyata kita sehari-hari. 

 

Motivasi yang menggerakkan nurani Khalid bin Walid berjuang dengan penuh keikhlasan adalah karena membela kebenaran, membela agama yang diyakininya benar. Dengan kata lain, ia berjuang dengan semangat pengabdian yang mahatinggi. Itulah sebabnya, soal jabatan atau pangkat tidak memengaruhi penampilannya. Justru karena sikapnya demikian itulah harga dirinya menjadi tegak, kebanggaan di hati para prajurit yang pernah dipimpinnya menjadi begitu besar, dan rasa hormat mereka kepadanya menjadi kian tinggi. Ia justru menjadi panglima di hati para prajuritnya. Meski tidak lagi menjadi panglima, ia tetap berjuang dengan semangat sama, baik sebagai atasan yang biasa memberikan perintah, maupun sebagai bawahan yang biasa diperintah. 

 

Kasus Khalid bin Walid di atas menunjukkan bahwa keikhlasan berjuang akan meninggikan martabat pelakunya, bukan malah menghinakannya. Sebaliknya, ketidakikhlasan atau pamrih kepada pujian dan penghargaan manusia, akan menghinakan pelakunya di akhirat kelak, sehingga ketika salah seorang yang mengaku pahlawan dihadapkan kepada Allah, lalu ditanya apa motivasinya dalam berjuang. Ia pun menjawab, “Karena Allah.” Maka Allah pun menegaskan, bahwa apa yang ia ucapkan adalah dusta. Ia berjuang justru karena ingin disebut sebagai ‘pahlawan’. Allah pun melemparkannya ke dalam tempat yang hina (neraka). 

 

#Syaiful_Anwar

#Fakultas_Ekonomi

#Universitas_Andalas

#Kampus2_Payakumbuh

#Tuhan_Tidak_Pernah_Buta

#Semakin_Ikhlas_Semakin_Tinggi_Martabat

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *