Pandangan dalam Legalitas Pernikahan Antar Agama dan Kejelasan dalam Peran Agama-Negara

Oleh: Kyova Nugraha, Mahasiswa Hukum FH UBB

Jendelakaba.com — Pernikahan adalah salah satu momen yang ditunggu-tunggu oleh seorang pria dan wanita untuk melanjutkan kehidupan bersama-sama untuk satu tujuan. Bahkan, pernikahan itu dianggap momen yang sakral dan serius untuk mengikatkan janji suci oleh kedua mempelai.

Dalam Pasal 2 Ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan dianggap sah jika jika dilakukan sesuai dengan keyakinan kedua mempelai dan tidak boleh ada yang berbeda keyakinan. Dan ini juga sejalan dengan Al-Quran dalam Surah Al Baqarah ayat 221. Tentu ini memberikan peringatkan untuk tidak mengawinkan kedua mempelai yang berbeda agama. Adapun juga melalui pasal 40 poin C dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur lelaki dilarang menikah dalam kondisi, dimana seorang wanita berbeda agama – dan diperkuat dengan pasal 44 dan 66 KHI. Pasal 66 KHI mengatur tentang kaffah, dan memasukkan unsur agama.

Dalam isu tersebut telah menjadikan isu yang polemik dan sensitif untuk dibicarakan secara publik. Dan masalah seperti ini ditujukan pada kesamaran/ merasa tidak jelas, masalah administrasi dan alasan hukum yang memungkinkan untuk menyampingkan status sebuah keluarga. Adapun dari pasal 35 UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan yang memberikan kesempatan untuk menikah secara berbeda agama. Dan ini jelas menggambarkan kebingungan dalam konteks administrasi, khususnya pada sukarnya mendapatkan pengakuan negara dalam proses pencatatan di Kantor Pencatatan Sipil.

Jika di Indonesia isu pernikahan beda agama merupakan hal yang tabu, di beberapa negara lain – termasuk negara yang mayoritas Islam – juga melegalkan pernikahan tersebut dengan berbagai konteks sosial dan hukum. Seperti Singapura, Tunisia, Kanada, dan lain-lain.

Berbalik ke Indonesia, dengan keberadaan UU tentang Perkawinan dan KHI, Majelis Ulama Indonesia atau MUI justru membalikkan konsekuensi tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang menjelaskan larangan menikah beda agama, yang sebenarnya bahwa kebolehan untuk menikah antara pria muslim dan wanita non muslim ,yang masih menjadi “simpang siur” para ulama. Namun karena hal tersebut dianggap banyak mudharat atau kejelekannya, maka MUI mengharamkannya.

Perbedaan pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan tentang pernikahan beda agama – ada yang menolak secara absolut dan ada yang tidak sepenuhnya dilarang – tentu menjelaskan akan konsekuensi pandangan terhadap praktik tersebut dengan sisi kehidupan masyarakat yang berbeda. Bahkan, dengan Indonesia sebagai negara mayoritas Islam, angka pernikahan beda agama pun tidak meningkat drastis karena keberadaan hukum nasional (UU No. 1/1974) dan komplikasi yang ketat, termasuk masalah administrasi yang memungkinkan akan kesulitan dalam proses pencatatan untuk mencegah kesalahpahaman dalam status keluarga.

Dalam perspektif hukum, adapun pertimbangan dan penafsiran mengenai permohonan izin pernikahan beda agama. Dalam Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan kedudukan WNI yang sama, dan UU No. 1/1974 tidak diimperatifkan tentang larangan nikah beda agama. Hal ini jga merujuk pada Putusan Mahkamah Agung No. 1400K/Pdt/1986 pada tanggal 20 Januari 1989, yang tidak melarang pernikahan dari berbeda agama kedua mempelai. Juga termuat dalam Peraturan Pemerintah No. 9/1975 yang tak satupun pasal yang memuat nikah yang harus sama dalam agama.

Namun tetap saja ada kasus penolakan praktek melalui putusan Pengadilan Negeri di Jakarta pada 1986 (dibatalkan MA di tahun yang sama) dan di Blora pada 2017. Pada kasus di Blora, hakim Mahkamah Agung justru tak diamkan untuk pengabulan permohonan kasasi, dan alasannya karena pengulangan pada hal-hal yang dipertimbangkan oleh judex facti.

Penolakan praktek tersebut dipertegas kembali, baik agama maupun negara, dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XII/2014 terkait dengan uji materiil dalam UU No. 1/1974 terhadap UUD 1945. Hal ini ditujukan pada hal perkawinan, dimana adanya hubungan antara agama dan negara yang saling menguatkan; agama menetapkan pada kejelasan perkawinan, sedangkan negara pada jelasnya administratif dalam koridor hukum. Dan peran negara tidak lain dan tidak bukan menindaklanjuti hasil tafsir yang diberikan oleh lembaga keagamaan. Dengan kata lain, absahnya/jelasnya pernikahan ialah domain agama yang berwenang dalam pemberian penafsiran,sedangkan domain negara memberikan kepastian dan ketertiban dalam pelaksanaan administrasi kependudukan.

Kesimpulannya, pandangan legal pada pernikahan beda agama ditujukan pada positivisme hukum dan norma agama, ditambah acuan melalui putusan MK dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meski begitu, ada ketidakselarasan dalam pertimbangan hukum yang memungkinkan untuk berkata lain. Walau bagaimanapun, tetap tidak masalah jika ada masalah mengenai kejelasan pernikahan beda agama.

Polemik pernikahan beda agama menjadi acuan bersama dalam evaluasi perspektif legalitas dalam membangun keluarga yang harmoni dan sejahtera dalam kehidupan masyarakat luas dan majemuk dalam suku, agama, dan ras dalam konteks berbangsa dan beragama dalam satu tanah air Indonesia.***

Respon (2)

  1. Hi just wanted to give you a brief heads up and let you know a few of the images aren’t loading correctly I’m not sure why but I think its a linking issue I’ve tried it in two different internet browsers and both show the same results

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *