PEMULIHAN KORBAN KDRT

 

Oleh : Syaiful Anwar

 

UU PKDRT merupakan peraturan pertama yang mengatur hak-hak korban. Hak korban KDRT dalam UU PKDRT di Pasal 10 yang antara lain mencakup:

  1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
  2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
  3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
  4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan
  5. Pelayanan bimbingan rohani.

Dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU PKDRT ini, yang sudah memperluas bentuk layanan dan koordinasi antar pihak terkait dengan hak korban KDRT untuk mendapatkan layanan, masih memerlukan penjelasan teknis dalam pelaksanaannya. Dalam Pasal 43 UU PKDRT, dimandatkan untuk dibuatnya Peraturan Pemerintah terkait pelaksanaan pemenuhan hak-hak korban dalam rangka pemulihan. Peraturan Pemerintah untuk UU PDKRT terkait dengan upaya pemulihan baru ditetapkan tahun 2006, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Peraturan Pemerintah ini menekankan bahwa pemulihan terhadap korban KDRT tidak hanya berupa pemulihan fisik, tetapi juga psikis. Sehingga sangat diperlukan fasilitas dan kerjasama antar pihak yang telah disebutkan dalam Undang-Undang. Peraturan Pemerintah ini juga menyebutkan pentingnya pendamping yang tidak hanya diinisiasi oleh pemerintah, tetapi juga swadaya masyarakat.

Upaya-upaya seperti inilah yang dilakukan oleh organisasi perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan untuk memecahkan kebisuan dari korban karena ketidakberanian dan terbatasnya akses korban kepada hukum. Selain itu juga untuk mengatasi fenomena gunung es kasus KDRT dan menjawab keadilan bagi korban dengan mengungkapkan kebenaran. Bahkan, sekarang di beberapa daerah di Indonesia mulai dibentuk pusat pelayanan terpadu yang berada di bawah Pemda baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten dengan berbagai model. Ada yang menggunakan sistem rujukan, pelayanan satu atap, dikelola oleh Pemda sendiri atau kerjasama antara Pemda dan LSM. Yang menjadi pekerjaan rumah selanjutnya adalah bagaimana memperluas layanan seperti ini ke tingkat yang lebih rendah, sehingga masyarakat di desa atau pelosok dapat dengan mudah menjangkaunya.

 

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *