MEMAHAMI PESAN KESUSAHAN DAN PENDERITAAN

 

Oleh : Syaiful Anwar

 

“Pahami pesan di balik kesusahan dan penderitaan, niscaya kita akan memahami bahwa Dia selalu berkehendak pada yang baik-baik.” (Ust. Yusuf Mansur).

Ini menyatakan bahwa kita mengakui tidak memiliki apa pun dan tidak memiliki apa pun. mata kita, bukan mata mereka. Bukan telinga kita, melainkan telinga kita. Bukan bibir yang membentuk kita. Bukan tangan dan kaki kita, tapi kaki dan tangan kita. Kekayaan kita bukan milik kita. Anak-anak kita bukanlah anak-anak kita satu-satunya. Peringkat kami bukanlah peringkat kami sendiri. Bukan posisi kita yang harus berada di dalamnya. Untuk mengakui bahwa kita harus selalu jujur dan puas ketika sesuatu yang bukan milik kita diambil. Namun pada kenyataannya, kita merasa tertekan, kesal, dan bahkan marah serta tidak berdaya ketika ada yang tidak beres di pihak kita.

Sebenarnya, pengetahuan bahwa tidak ada apa pun yang kita miliki—bahkan bentuk fisik atau panca indera kita—seharusnya mendorong kita untuk menggunakannya dengan cara yang menghormati keinginan Sang Pemberi. Dia ingin agar karunia-Nya dimanfaatkan dengan baik, seperti yang kita berdua sadari. Mata dimaksudkan untuk melakukan perbuatan baik; mereka dimaksudkan untuk merasakan keadilan untuk menumbangkan kejahatan, untuk melihat penderitaan sebagai motivasi untuk mengurangi beban yang harus ditanggung, dan seterusnya.

Anugerah dan kebahagiaan akan hilang apabila fasilitas peminjaman yang dimiliki Tuhan Yang Maha Esa digunakan dengan cara yang tidak dikehendaki.

Anda harus memahami pelajaran yang ada di balik penyakit dan kesulitan. Sikap, karakter, atau kerusakan hati yang buruk adalah akar penyebab sebagian besar kelainan. Oleh karena itu, jalan pemulihan yang paling sederhana dan paling murah adalah dengan memurnikan hati Anda dan mengubah tindakan Anda.

Sebenarnya penyakit bukanlah sumber bencana dan penderitaan; sebaliknya, hal ini disebabkan oleh kurangnya keimanan terhadap nikmat-Nya. Bukan karena bencana membutakan mata; sebaliknya, hal itu membutakan hati. Jika Anda kehilangan kaki, itu bukanlah sebuah bencana; ketika Anda kehilangan kepercayaan, itu benar.

Saat kita kehilangan uang, kita benar-benar menikmati perasaan tertekan. Apakah harta benda yang hilang diperoleh melalui cara haram atau halal tidaklah relevan dalam situasi tertentu. Ketika kita kaya, kita sulit untuk mengeluarkan zakat dan sedekah. Kenyataannya, keengganan untuk mengeluarkan zakat dan sedekah merupakan bencana yang sebenarnya. Oleh karena itu, kekayaan benar-benar berubah menjadi anugerah ketika kita kehilangannya. Karena hilangnya uang mengingatkan kita pada zakat dan sedekah. Ketika kita menjadi kaya lagi di masa depan, kita akan mengingat hak-hak orang lain. Jadikan kehilangan harta benda sebagai pengalaman yang menyenangkan dan bukan pengalaman negatif yang sering dikaitkan dengan bencana.

Kami memandang penyakit sebagai sebuah bencana ketika penyakit itu menyerang. khususnya dalam kasus di mana penyakitnya cukup parah hingga terkadang mengakibatkan kematian. Sementara itu, kita tidak sadar bahwa kita tidak pernah memikirkan Allah ketika kita sehat. Justru saat sakit, Allah SWT memperkenankan kita mengingat kenangan yang tidak menyenangkan hingga menyebabkan air mata menggenang. Dengan demikian, timbulnya penyakit ini bukanlah sebuah bencana besar. Sebenarnya, ini adalah sebuah berkah. anugerah yang mempererat hubungan kita dengan Allah SWT.

Kami memandang kebangkrutan sebagai sebuah bencana. Itu adalah peringatan, bukan musibah di sisi Allah SWT. Bagaimana mungkin kita semakin dekat dengan kemaksiatan dan semakin jauh dari Allah SWT ketika hidup kita dikondisikan pada kesuksesan? Terlebih lagi, mempunyai banyak uang membuat kita lebih mudah berbuat dosa. Ketika kebangkrutan akhirnya terjadi, kita tidak dapat terus melanggar hukum. Kebangkrutan seperti ini bukanlah sebuah bencana besar. Ini hadiah. Kita mempunyai kesempatan untuk dekat dengan Allah SWT dan meninggalkan keburukan karena kita bangkrut. Ketika kesuksesan akhirnya tiba dan kebangkrutan memudar, kita akan tumbuh menjadi individu tercerahkan yang tahu bagaimana memanfaatkan kebahagiaan dan kemakmuran demi kebaikan yang lebih besar.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *