MACAM-MACAM PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

 

Oleh : Syaiful Anwar

 

Tindak kejahatan tersebut dilakukan oleh pelakunya dengan maksud (intent) dan tujuan yang jelas untuk menyerang dan menghancurkan orang-orang tertentu atau sekelompok manusia sehingga membawa akibat atau dampak yang luas. Tindak pidana pelanggaran berat HAM biasanya bersifat meluas atau sistimatik. Kejahatan yang dilakukan oleh Adolf Hitler dan rezim Nazinya dinilai sebagai suatu pelanggaran berat HAM, oleh karena dampaknya yang luar biasa terhadap jiwa, raga, martabat, peradaban dan sumberdaya kehidupan manusia. Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg mendifinisikan kejahatan yang dapat dikatagorikan pelanggaran berat HAM sebagai berikut:

  1. Kejahatan terhadap perdamaian (Crimes against peace) yang tediri atas perbuatan merencanakan, mempersiapkan, memulai, atau menjalankan perang agresi, atau perang yang melanggar perjanjian- perjanjian internasional, persetujuan-persetujuan atau jaminan-jaminan; atau turut serta di dalam rencana bersama atau komplotan untuk mencapai salah satu daripada tujuan perbuatan-perbuatan tersebut di atas.
  2. Kejahatan Perang (War Crimes), yaitu pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan-kebiasaan perang, seperti pembunuhan (murder), perlakuan kejam terhadap penduduk sipil dengan mengasingkan mereka, mengerjakan mereka secara paksa, atau diwilayah pendudukan memperlakukan tawanan- tawanan perang dengan kejam, membunuh mereka, atau memperlakukan orang di laut secara demikian; merampas milik Negara atau milik perseorangan, menghancurkan kota atau desa dengan secara berkelebihan atau semau-maunya, atau membinasakannya tanpa adanya alasan keperluan militer.
  3. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes against humanity). Termasuk dalam pengertian kejahatan ini adalah, pembunuhan, membinasakan, memperbudak, mengasingkan dan lain-lain kekejaman di luar perikemanusiaan terhadap penduduk sipil, yang dilakukan sebelum atau sesudah perang; perkosaan hak-hak dasar berdasarkan alasan-alasan politik, ras atau agama. Pemimpin atau orang yang mengorganisir, menghasut dan membantu mereka yang turut serta dalam membentuk atau melaksanakan rencana bersama komplotan untuk melakukan kejahatan-kejahatan tersebut bertanggungjawab atas perbuatan orang-orang yang melakukan rencana tersebut.

Kejahatan-kejahatan pelanggaran berat HAM tersebut di atas didakwakan kepada para panglima dan pemimpin Nazi di pengadilan militer internasional di Nuremberg. Sebagian besar dari para terdakwa itu terbukti bersalah melakukan pelanggaran berat HAM dan di hukum mati dengan cara digantung. Sebagian lainnya dikenakan hukuman seumur hidup atau hukuman sementara sepuluh hingga duapuluh tahun. Pasal 6 Piagam Pengadilan Militer Internasional itu menegaskan, para pemimpin, organisator, instigator (agitator) dan mereka yang membantu berperan serta untuk merencanakan atau melaksanakan atau berkonspirasi untuk melakukan kejahatan tersebut di atas tetap bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang yang melaksanakan rencana tersebut.46

Statuta pendirian pengadilan ad hoc internasional untuk pelanggaran berat HAM yang terjadi di wilayah bekas Yugoslavia memasukkan sebagai pelanggaran berat HAM, yaitu, pelanggaran berat terhadap konvensi Jenewa tahun l949, pelanggaran hukum atau kebiasaan perang, kejahatan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal yang sama dengan Statuta pendirian pengadilan ad hoc internasional Rwanda menyebutkan sebagai pelanggaran berat HAM, kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran atas Pasal 3 konvensi Jenewa dan protocol tambahan II (pasal 4).

Pelanggaran HAM dikategorikan dalam dua jenis, yaitu:

  1. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
  2. Pembunuhan masal (genosida)

Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama dengan cara melakukan tindakan kekerasan (UUD No.26/2000 Tentang Pengadilan HAM).

  1. Kejahatan Kemanusiaan

Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil seperti pengusiran penduduk secara paksa, pembunuhan, penyiksaan, perbudakkan dll.

  1. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
  2. Pemukulan
  3. Penganiayaan
  4. Pencemaran nama baik
  5. Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
  6. Menghilangkan nyawa orang lain.

Kejahatan pelanggaran berat HAM sebagaimana telah kita lihat dalam berbagai peristiwa sejarah umat manusia telah menimbulkan dampak yang menghancurkan bagi jiwa, raga, martabat, peradaban dan sumberdaya kehidupan manusia. Karena itu siapapun pelakunya dan di manapun ia berada tidak bisa dibiarkan (impunity) tanpa pertanggungjawaban dan penghukuman.

Oleh karena era impunity yang dinikmati oleh para penguasa buas dan kejam yang telah berjalan beberapa dasa warsa setelah pengadilan Nuremberg harus diakhiri. Untuk itulah pada tanggal 17 Juli l998 di Roma, 120 (seratus duapuluh) negara hadir dalam suatu konferensi guna mengadopsi suatu Undang-undang internasional (statuta) tentang Pengadilan Kejahatan Internasional.

Pembukaan Statuta Roma tersebut menegaskan, antara lain hal-hal sebagai berikut:

  1. Menyadari, bahwa selama abad ini, jutaan anak, pria dan wanita telah menjadi korban kejahatan-kejahatan yang tidak dapat dibayangkan yang sangat mengguncang kesadaran manusia.
  2. Mengakui bahwa tindakan-tindakan kejahatan ini mengancam perdamaian, keamanan dan keselamatan dunia.
  3. Menegaskan bahwa kejahatan yang paling serius yang perlu diperhatikan masyarakat internasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan dan bahwa pidana yang efektif harus ditegakkan atau dijamin dengan mengambil tindakan-tindakan pada tingkat nasional dan dengan mengupayakan kerjasama internasional. (Baca: “Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional” Elsam tahun 2000).

Statuta Roma memunyai yurisdiksi atas kejahatan- kejahatan yang merupakan pelanggaran berat HAM, yaitu: kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Katagori tindak pidana yang dirumuskan dalam Statuta Roma itu sebenarnya sudah dikenal sebelumnya, misalnya dalam Piagam Pembentukan Pengadilan Militer Internasional, di Nuremberg dan di Tokyo, serta pengadilan-pengadilan adhoc internasional untuk bekas wilayah Yugoslavia dan Rwanda. Statuta Roma mendifinisikan tindak pidana genosida sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau untuk sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan, seperti misalnya: (a) membunuh anggota kelompok tersebut; (b) menyebabkan luka-luka fisik atau mental yang sangat serius terhadap para anggota kelompok; (c)secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau untuk sebagian; (d) memaksakan tindakan- tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut; (e) memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok lain.

Sementara tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, Statuta Roma mengatur, “Kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti salah satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui serangan itu (a) pembunuhan; (b) pemusnahan; (c) perbudakan; (d) deportasi atau pemindahan paksa penduduk; (e) memenjarakan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional; (f) penyiksaan; (g) perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat; (h) penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didifinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam Jurisdiksi Pengadilan; (i) penghilangan paksa; (j) kejahatan apartheid; (k) perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik (Elsam, supra halaman 6-7).

Kategori tindak pidana pelanggaran berat HAM, khususnya kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang tertuang dalam Statuta Roma, kemudian diadopsi oleh UU No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. (Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU No.26 Tahun 2000).

Sebagaimana diuraikan di atas, kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik. Apakah yang dimaksud dengan serangan yang meluas atau sistematik itu? hal ini tidak dijelaskan oleh Statuta Roma maupun UU Pengadilan HAM. Pengertian serangan meluas atau sistematik itu berkembang dalam praktek pengadilan yang tertuang dalam putusan-putusan Hakim. Hakim Pengadilan HAM Ad hoc di Jakarta Pusat, dalam kasus atas nama terdakwa Abilio Jose Osorio Soares berpendapat bahwa:

  1. Yang dimaksud dengan serangan adalah bahwa serangan tersebut tidak harus selalu merupakan serangan militer, seperti yang diartikan oleh International Humanitarian Law dalam arti bahwa serangan tersebut tidak perlu harus mengikut sertakan kekuatan militer atau penggunaan senjata, dengan perkataan lain apabila terjadi pembunuhan sebagai hasil dari suatu pengerahan kekuatan atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil.

 Keadaan bentrokan semacam ini dapat masuk ke dalam terminologi serangan (attack);

  1. Bahwa yang dimaksud dengan serangan terhadap penduduk sipil tidak berarti bahwa serangan harus ditujukan terhadap penduduk (population) secara keseluruhan, tetapi cukup kepada sekelompok penduduk sipil tertentu yang mempunyai keyakinan politik tertentu;
  2. Yang dimaksud “meluas” karena pada peristiwa- peristiwa yang didakwakan terbukti terjadi pembunuhan secara besar-besaran, berulang-ulang, dalam skala yang besar (massive, frequent, large scale), yang dilakukan secara kolektif dengan akibat yang sangat serius berupa jumlah korban nyawa yang besar;
  3. Yang dimaksud dengan sistematik adalah terbentuknya sebuah ide atau prinsip berdasarkan penelitian atau observasi yang terencana dengan prosedur yang sudah umum. Dalam kaitannya dengan pelanggaran berat ham, definisi sistematik dapat berarti kegiatan yang berpola sama dan konsisten (berulang-ulang). Pola disini berarti struktur atau design yang saling berhubungan. Sedangkan konsisten di sini berarti sebuah gagasan yang ditandai dengan tidak berubahnya posisi atau saling berhubungan, bisa juga karakter tertentu yang sudah terbentuk dan ditunjukan secara berulang-ulang.

Bahwa pengertian sistematik memiliki 4 (empat) elemen yakni (1) adanya tujuan politik, rencana dilakukannya penyerangan, suatu ideology, dalam arti luas menghancurkan atau melemahkan suatu komunitas; (2) melakukan tindak pidana dengan skala yang besar terhadap suatu kelompok penduduk sipil, atau berulang-ulang dan terus-menerusnya tindakan tidak manusiawi yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya; (3) adanya persiapan dan penggunaan yang signifikan dari milik atau fasilitas publik atau perorangan; dan (4) adanya implikasi politik tingkat tinggi atau otoritas militer dalam mengartikan atau mewujudkan rencana yang metodologis.

Berkenaan dengan pertanggungjawaban komandan atau pimpinan UU Pengadilan HAM mengatur:

  1. Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukannya pengendalian pasukan secara patut. Yaitu, (a) komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran ham yang berat ; dan (b) komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
  2. Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran ham yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni (1) atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran ham yang berat; dan (2) atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, (Pasal 42 UU No.26 Tahun 2000).

Menurut ketentuan UU Pengadilan HAM, pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU tersebut dapat diselesaikan melalui Pengadilan HAM Ad hoc yang dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul DPR atau melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Berkenaan dengan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, Jose Zalaquett berpendapat, bahwa negara pada dasarnya mempunyai diskresi untuk menetapkan substansi kebijakan untuk menangani pelanggaran HAM masa lalu. Namun di dalam semua kasus substansi kebijakan itu harus memenuhi syarat-syarat legitimasi tertentu sebagai berikut:

  1. Kebenaran harus diketahui atau diungkapkan secara lengkap, dan diekspos serta diumumkan kepada publik;
  2. Kebijakan HAM tersebut harus mewakili kehendak rakyat, misalnya kebijakan nasional itu harus memperoleh persetujuan rakyat melalui referendum;
  3. Kebijakan HAM tersebut tidak melanggar hukum hak asasi manusia internasional. Yang berarti pada satu sisi menjadi kewajiban setiap negara untuk bertindak sesuai dengan hukum internasional. Bila negara mengambil langkah untuk memberikan pengampunan bagi pelanggar ham, kebijakan tersebut harus tunduk pada batas-batas yang diatur oleh hukum internasional. Pada sisi yang lain, jika kebijakan HAM itu mengarah pada penghukuman, standar-standar internasional yang berkenaan dengan penyelenggaraan pengadilan yang fair, perlakuan terhadap para tersangka dan penghukuman wajib dihormati;
  4. Kebijakan ham tersebut mengandung tujuan-tujuan untuk mereparasi kerugian yang diderita korban dan pencegahan berulangnya pelanggaran HAM di kemudian hari.

Bila perspektif Jose Zalaquett digunakan untuk mengkaji kebijakan nasional HAM Indonesia, khususnya berkenaan dengan penanganan pelanggaran berat HAM masa lalu sebagaimana tertuang dalam Tap MPR No.V/ MPR / 2000 dan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dapatlah dikatakan rezim pemerintahan Transisi di Indonesia menganut kebijakan moderat dalam menangani pelanggaran berat HAM masa lalu, yaitu disediakannya dua Avenue yaitu, Forum Pengadilan HAM Ad Hoc atau Forum Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Sudah menjadi hukum sejarah bahwa setiap terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia, genosida, kejahatan perang, pergantian rezim kekuasaan otoriter menjadi pemerintahan yang demokratis melalui revolusi atau reformasi selalu muncul permasalahan krisis kemanusiaan dan keadilan.

Koeksistensi kekuasaan otoriter dengan korupsi politik menuntut adanya tindakan apa saja yang dapat memproteksi kelangsungan kekuasaan politik yang korup dan konglomerasi ekonomi yang mendukungnya. Segala upaya untuk mempertahankan kekuasaan otoritarian berkelanjutan senantiasa berkorelasi dengan harga diri penguasa, loyalitas para pendukung, dan aset sosial ekonominya sehingga tindakan melanggar hak asasi manusia (HAM) oleh penguasa otoriter dengan berbagai corak dan variasinya akan menjadi jalan yang tidak bisa dielakkan.

Konsekuensi logisnya, turbulensi kejahatan HAM yang terjadi menjadi masalah hukum dan kemanusiaan yang kompleks. Kejahatan berat HAM merupakan musuh seluruh umat manusia (hostis hominis generis) sehingga menjadi tanggung jawab bersama (erga omnes obligation) bagi rakyat, negara, dan masyarakat beradab internasional.

Kejahatan berat HAM merupakan krisis martabat kemanusiaan yang merobek nurani kemanusiaan bangsa manusia, bukan hanya bangsa Jerman, Jepang, Amerika Latin, Serbia, Afrika Selatan, Indonesia, Kamboja, dan lainnya. 

 

Respon (1)

  1. Hey there just wanted to give you a brief heads up and letyou know a few of the pictures aren’t loadingcorrectly I’m not sure why but I think its a linking issueI’ve tried it in two different web browsers and both show the same results

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *