BAHASA JIWA

Khazanah

 

 

Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh 

 

Suatu saat Umar Tilmisani, diundang menghadiri acara ifthar (buka puasa) di daerah Iskandaria oleh para Ikhwan. Mereka telah menyiapkan hidangan berbuka. Di dalamnya dihidangkan jus mangga. Salah seorang ikhwan membawakan segelas jus mangga kepada Umar Tilmisani. 

Tiba-tiba saja wajah Umar Tilmisani berubah pucat. Ia pun menolak pemberian jus mangga itu. “Apakah ada alasan kesehata, sehingga Ustadz dilarang meminum jus mangga?” Tanya salah seorang ikhwan. 

 

“Oh, tidak. Jazakallahu khairan katsira. Tidak ada larangan minum jus mangga untukku,” kata Umar Tilmisani sambil tetap menyimpan kesedihannya. 

 

Usai acara, salah seorang Ikhwan kembali bertanya, kenapa ia menolak meminum jus mangga tadi. Dengan menahan kesedihan, Umar Tilmisani bertutur. Kata-katanya pelan dan menyimpan kesenduan. “Saya biasa pulang kerja agak terlambat dan saya dapati istri saya telah lama menanti. Biasanya, meja di hadapannya telah tersedia dua gelas jus mangga. Kami lalu menikmati bersamasama,” Umar terdiam sejenak. Lalu, ia kembali bertutur, “Setelah istriku meninggal, berat sekali bagiku minum jus mangga tanpa dia.” 

 

Ya, demikianlah kisah tentang cinta. Dalam kehidupan para kekasih ternyata ada hal yang tidak bisa tergantikan. Ada potongan hidup yang tidak bisa terbelikan. Mungkin sebuah peristiwa dengan mudah dapat direkonstruksi ulang, tetapi tanpa kehadiran sang kekasih, seakan seluruh peristiwa itu menjadi kering keadaannya. 

 

Cinta adalah bahasa jiwa. Jiwalah yang berbicara. Jiwalah yang melahirkan nuansa dalam pertemuan antar sang kekasih. Itulah sebabnya ia tidak bisa tergantikan oleh apapun. Dan, sepotong kenangan akan kembali dihadirkan oleh sang kekasih sambil memutar ulang gerak jiwa yang melahirkan nuansa kecintaan, tanpa bisa dihadirkan secara utuh. Jiwa terasa berat untuk memaksa menghadirkan nuansa itu, sebab akal rasional berkata lain: kekasih teramat mustahil dihadirkan. Cinta bukan sekedar sentuhan fisik. Ia merupakan penyatuan jiwa para kekasih. Dalam hal ini kita menemukan makna ungkapan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, “Cinta bukan karena keindahan dan tampak di mata, tetapi karena yang menyatukan jiwa dan hati.” 

 

Kebersamaan kita dengan sang kekasih, akhirnya harus diikuti oleh kebersamaan jiwa. Keduanya menciptakan lukisan yang satu tentang panorama keindahan cinta. Mereka menikmati pertemuan dan kebersamaan yang diciptakannya secara bersama. Mungkin momentum yang dilalui bersama biasa saja; ia juga dinikmati orang lain. Namun, bagi para kekasih yang menghiasinya dengan kesatuan jiwa, momentum itu akan diubahnya menjadi kenangan terindah. Kenangan yang tak terbelikan. 

 

Minum jus mangga berdua dengan istri adalah momentum biasa bagi orang lain. Sebagian orang mungkin pernah mengalaminya. Namun, di mata Umar Tilmisani meminum jus mangga dengan istrinya ternyata tidak sesederhana yang dianggapkan. Umar Tilmisani telah mengubah aktivitas minum jus mangga menjadi sepotong kenangan telaga cintanya. 

 

Rasulullah sering menyembelih kambing dan memotongnya menjadi beberapa bagian, lalu dibagikan kepada kenalan-kenalan Khadijah. Alasannya sederhana, sebab dahulu semasa Khadijah masih membersamainya, ia selalu melakukan itu. Tidak jarang pula Rasulullah saw. menyediakan piring dan gelas kosong ketika sedang makan. Ketika ditanyakan, “Untuk apa, ya Rasulullah?” Lagi-lagi jawabannya karena Khadijah sering makan bersamanya. Piring dan gelas kosong itu mengembalikan kenangannya bersama istri tercinta, Khadijah. 

 

Perilaku inilah yang menyebabkan Aisyah senantiasa cemburu dengan Khadijah. Namun, Rasulullah memiliki alasan sendiri tentang Khadijah. “Sesungguhnya Khadijah itu begini dan begitu, dan hanya dengan dialah aku dikaruniai anak.” 

 

Menciptakan nuansa kasih sayang yang sanggup mengisi ruang kosong dari kebutuhan jiwa kita. Perlu kita luangkan sepenggal waktu yang kita miliki untuk bersama dengan sang kekasih, istri kita tercinta, mengurai jenak-jenak keletihan setelah beraktivitas seharian: menyatukan jiwa dan menempatkan kita dan istri kita sebagai telaga yang membasuh jiwa masing-masing. Melepaskan kerinduan sambil menyeka kelelahan. 

 

Berbagai dalam suasana yang kita ciptakan sendiri. Dengan jalan ini, kita tengah mengubah peristiwa-peristiwa yang dihadapi bersama sebagai mozaik kehidupan yang berharga. Sangat berharga. Keberhargaan itu, mungkin, baru akan terasa ketika suatu peristiwa memisahkan sang kekasih dari diri kita. Sebagaimana yang dialami Umar Tilmisani, kita akan menemukan kekosongan dari potongan waktu yang kita lewati tanpa sang kekasih. Dalam situasi inilah, kerinduan tiba-tiba hadir. Sebuah slide kenangan diputar kembali. 

 

Potongan kenangan yang tercipta itu hanya membutuhkan satu jawaban: kebersamaan kembali. Situasi seperti itulah yang semakin memperjelas keadaan bahwa para kekasih teramat berat hidup dalam keterpisahan. Mereka yang mengabdikan hidupnya untuk kebaikan sosial sekalipun, ternyata sering berdiri di depan cermin sambil mengharapkan sang kekasih berdiri bersamanya. Menemaninya menyusuri jalan setapak kehidupan. 

 

Itulah alasannya kenapa Umar Tilmisani, mengharapkan kebersamaan dengan istrinya tercinta kembali. Kebersamaan untuk mengulangi kenangan-kenangan terindahnya. Dengan suara lirih Umar Tilmisani berdoa, “Ya Allah, kumpulkan aku dengannya di surga agar kami bisa minum bersama-sama lagi.” 

#Syaiful_Anwar

#Fakultas_Ekonomi

#Universitas_Andalas

#Kampus2_Payakumbuh

#Energi_Cinta

#Bahasa_Jiwa

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *