Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Orang bijak berkata, “Seseorang belum dapat dikatakan mencintai bila ia masih suka memperhitungkan atau mempertanyakan yang dicintainya.” Orang Perancis menyatakan, “L’amour n’est pas parce que mais malgre. Cinta itu bukan ‘karena, tapi ‘walaupun’. “Kalau kita masih mempertanyakan untuk apa kita mencintai Tuhan, berarti kita masih dalam tahap parce que, ‘karena’ kita belum sampai tahap ‘walaupun’.
Ada satu cerita Hindu yang menunjukkan bahwa cinta itu ‘walaupun’, bukan ‘karena’. Alkisah, seorang raja diminta untuk membawa mayat dari tempat penggantungan ke tempat pendeta. Di tengah jalan, mayat itu berkata, “Hai Raja, kasihan sekali Anda ini, jauh-jauh membawa saya. Supaya kau tidak lelah, bagaimana kalau aku becerita”. Dan mayat itu pun berkisah, “Suatu ketika, hidup seorang pendeta bersama putrinya yang amat cantik. Suatu hari dating tiga orang pendeta yang semuanya berwajah tampan. Ketiganya berkata, “Kalau perempuan itu sampai kepada orang lain, tidak kepada saya, saya akan bunuh diri.”
Calon mertua itu kebingungan. Bila ia memberikan putrinya kepada salah satu dari pendeta itu, maka akan terjadi dua pembunuhan. Dalam keadaan bingung, tiba-tiba si gadis meninggal. Dibawalah si gadis itu ke tempat pembakaran mayat. Masing-masing pendeta tampan yang mencintai gadis itu menunjukkan perilaku yang berbeda.
Pendeta yang pertama duduk di atas bekas pembakaran mayat. Ia membuat gubuk dan menetap di sana terus menerus. Ia tidak mau meninggalkan tempat itu. Tak berhenti ia melantunkan doa pujian untuknya.
Pendeta yang kedua pergi ke sungai Gangga untuk melaburkan tulang belulang dalam rangka menyempurnakan kematiannya. Sesuai tradisi Hindu, seseorang melaburkan tulang belulang orang tuanya yang meninggal sebagai tanda kecintaannya.
Adapun pendeta yang ketiga, ia pergi berkelana ke mana-mana sampai akhirnya ia bertamu ke rumah keluarga seorang pendeta tua itu. Ketika ia dijamu makan oleh keluarga itu, anak si tuan rumah menangis keras. Ibunya marah. Dijewernya telinga anak itu dan dilemparkannya ke dalam api. Anak itu meninggal dan langsung menjadi debu. Pendeta pengelana itu berkata, “Aku tidak mau makan di sini. Kalian bukan pendeta. Kalian durjana. Manusia raksasa yang menyamar menjadi pendeta!” Orang tua itu berkata, “Jangan terburu nafsu.” Lalu ia masuk ke kamarnya untuk membawa kitab suci. Begitu kitab dibacakan, anak itu hidup lagi seperti sedia kala. Barulah pendeta pengelana itu mau melanjutkan makannya. Pada malam hari, pendeta ketiga ini mencuri kitab suci untuk menghidupkan kembali kekasihnya.
Singkat cerita, ia sampai ke tempat pembakaran mayat gadis tersebut. Ia dating bersamaan dengan pecinta kedua yang melaburkan tulang ke sungai Gangga. Pendeta ketiga meminta pendeta pertama mendirikan gubuk itu untuk memindahkan gubuk itu dengan alas an bila gadis itu hidup kembali, ia tidak ingin gadis itu menabrak gubuk. Lalu, dibacakanlah doa dari kitab suci. Ndilalang kersaning Allah, putri itu muncul kembali dan ia lebih cantik dari sebelumnya. Tak ubahnya sepotong emas yang baru disepuh dari pembakaran, lebih cemerlang dan indah.
Tentu saja ketiga pendeta itu berbahagia. Tapi semua lalu merasa dirinyalah yang paling berhak untuk menikahi gadis itu. Pendeta pertama berkata, “Sayalah yang menungguinya siang malam seraya melantunkan doa pujian untuknya.” Pendeta kedua berujar, “Sayalah yang melaburkan tulang belulangnya di Gangga,” Sementara pendeta ketiga berdalih, “Sayalah yang membacakan doa sehingga dia hidup kembali.”
Barangkali kita ingin bertanya, “Siapakah di antara ketiga pendeta itu yang berhak menikahi gadis cantik itu?” jawabannya adalah: pendeta pertamalah yang berhak menjadi suaminya karena ia terus menerus berada di tempat pembakaran mayatnya. Ia tetap mencintai gadis itu walaupun si gadis sudah menjadi debu; walaupun ia tidak bisa melihat lagi senyumannya; walaupun ia tidak bisa mendengar lagi suaranya. Ia tetap setia menunggu di tempat itu sampai kapanpun,
Adapun pendeta ketiga yang menghidupkan kembali berada dalam posisi sebagai bapak. Pendeta kedua, yang melaburkan tulang di Gangga, telah melakukan suatu pengabdian. Karena itu, dia lebih pantas menjadi anaknya.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Energi_Cinta
#Cinta_Itu_Walaupun_Bukan_Karena
Heya i’m for the first time here I found thisboard and I find It truly useful & it helped meout a lot I hope to give something back and help others like you aided me
I truly appreciate this article post Will read on…