UKURAN KEBAHAGIAAN

Khazanah

 

Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh 

 

Ukuran kebahagiaan itu ada dalam Kitab Allah yang  agung itu, dan takaran dari segala sesuatu itu adalah dalam kualitas zikir kepada Yang Maha Bijaksana. Dialah yang menetapkan segala sesuatu, nilai dan balasannya kepada hamba baik ketika masih di dunia maupun ketika di akhirat kelak. 

  

”Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya. Dan (kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka dan (begitu pula) dipan-dipan yang mereka bertelekan atasnya. Dan (kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka). Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 33-35) 

 

Ayat ini menggambarkan dengan jelas kesementaraan, tentang nilai-nilai materi, dan tentang status sosial: kehidupan, istana-istana, rumah-rumah mewah, emas, perak, dan kedudukan sosial. 

 

Dengan memberikan segala sesuatu kepada orangorang kafir secara sekaligus dan, sebaliknya, tidak memberikannya kepada kaum mukmin dimaksudkan untuk menjelaskan seberapa besar nilai kehidupan dunia ini kepada umat manusia. Dengan kata lain, itulah ketidakberhargaan dunia. 

 

Uthbah bin Ghazwan, seorang sahabat Rasulullah yang terkenal itu, heran ketika sesekali berkhutbah Jum‘at. Ia bernostalgia: bagaimana getirnya saat itu ketika bersama Rasulullah, ketika hanya bisa makan daun baik pada saat-saat jihad, pada saat-saat senggang, dan pada saat-saat bahagia. Kemudian bagaimana ia meninggalkan Rasulullah untuk menjadi seorang penguasa dan seorang hakim. Menurutnya, kehidupan yang harus dihadapi sepeninggal Rasulullah adalah kehidupan yang sangat tidak berharga. 

 

Saad bin Waqqash merasa kebingungan saat diangkat menjadi penguasa di Kufah sepeninggal Rasulullah. Ia melihat kenyataan yang sangat berbeda dibandingkan saat bersama Rasulullah, yang cukup hanya dengan makan tetumbuhan, dan hanya makan kulit kambing yang sudah kering, dipanggang, ditumbuk dan direbus dengan air. Ia melihat betapa tidak berharganya istana-istana dan rumah-rumah yang indah. 

 

”Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).” (QS. Adh-Dhuha [93]: 4) 

 

Itu artinya ada sesuatu dalam hal ini, dan ada sesuatu yang tersembunyi di balik masalah ini kehidupan dunia yang tidak berharga. 

 

”Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al-Mu`minun [23]: 55-56) 

 

Rasulullah bersabda, Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian.” 

Ketika Umar memasuki rumah Rasulullah, dia sedang berada di tempat minumnya. Dilihatnya guratan-guratan bekas tikar di punggung Rasulullah dan hanya gantangan gandum yang tergantung di rumahnya. Tanpa terasa air mata Umar mengalir di pipinya. Sebuah pemandangan yang sangat menyentuh tentunya, karena saat itu ia adalah seorang teladan dan pemimpin bagi seluruh umat manusia. 

 

”Dan mereka berkata: “Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?” (QS. Al-Furqan [25]: 7) 

 

Tercetus ucapan dari bibirnya, Wahai Rasulullah, engkau telah mengetahui pola hidup Kisra dan Kaisar. Rasulullah menjawab, Wahai Bin Al-Khaththab, relakah engkau jika akhirat menjadi milik kita dan dunia menjadi milik mereka? 

 

Sebuah perbandingan yang sangat jelas, dan pembagian yang sangat adil tentunya. Biarkanlah orang yang menerima itu akan mendapatkannya, dan biarkan pula orang yang tidak suka akan membencinya. Biarkanlah orang yang menginginkan kebahagiaan itu mencarinya di dalam dirham, dinar, istana, dan mobil, dan biarkan pula ia berusaha untuk itu saja. Demi Zat yang tiada Ilah selain Allah, mereka tidak akan mendapatkannya. 

 

”Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memeroleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud [11]: 15-16) 

 

#Syaiful_Anwar

#Fakultas_Ekonomi

#Universitas_Andalas

#Kampus2_Payakumbuh

#Pil_Anti_Sedih

#Ukuran_Kebahagiaan

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *