TUHAN TIDAK PERNAH BUTA

Khazanah

 

 

Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh 

 

“Tuhan tidak pernah buta. Dia Maha Mengawasi setiap laku manusia. Bahkan, dalam kondisi serbasulit Dia selalu hadir dan tidak pernah membiarkan kita..” (Syaiful Anwar) 

 

Adalah Riyadi, salah seorang karyawan bagian pergudangan. Ia sudah lima belas tahun bekerja, hampir tidak ada cacat berarti yang dilakukan olehnya. Semua berjalan normal, semuanya berjalan apa adanya. Hingga kemudian muncul kejadian yang sangat mengganggu ketenangan Riyadi. 

 

Awalnya, Agus, anak tertua Riyadi, sudah empat bulan tidak bayaran sekolah. Bulan ini memasuki bulan ke lima. Kalau tidak kunjung dibayar, maka Agus akan dikeluarkan dari sekolah. Ultimatum ini tidak bisa diganggu gugat lagi, begitu kata pengurus sekolahnya. 

 

Riyadi, hanya pegawai rendahan. Meski kerja sudah belasan tahun, tapi status serta penghasilannya selalu tidak imbang dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Walaupun ia dan keluarganya sudah merasa hidup hemat. Mereka sudah sangat begitu berusaha meredam keinginan dan nafsu. Keinginan untuk begini, keinginan untuk begitu, nafsu untuk memiliki ini, nafsu untuk memiliki itu, mereka redam. Dan mereka ‘cukup berhasil’. Selama dua puluh tahun kehidupan rumah tangga jauh dari ketidakharmonisan, jauh dari kegelisahan. Keadaan mereka, mereka terima dengan lapang dada. Kesulitan tidak memaksa mereka mengambil jalan pintas yang tidak disenangi Tuhan. 

 

Untuk hal yang satu ini tampaknya kita harus banyak belajar dari keluarga Riyadi ini. Betapa sering kita lihat lahirnya manusia-manusia bermasalah, sebagai akibat tidak bisa mengendalikan keinginan dan nafsu. Dan betapa sering juga kita rasakan, bahwa ketika kekayaan ada, sementara hati tetap miskin, maka kekayaan itu tidak akan mempunyai arti apa-apa. Sama halnya tidak akan berfungsinya keindahan, manakala dilihat oleh hati yang kotor. 

 

Tapi Riyadi juga manusia biasa. Sesekali juga ia punya letupan perasaan tidak terima. Ia suka bilang dalam hatinya, bahwa kehidupannya ini dirampok oleh negara. Penghasilannya dirampok oleh begitu tingginya harga-harga kebutuhan hidup, bahkan menyentuh hingga ke barang-barang pokok. 

 

Dalam kehidupannya, sering juga ia mengalami keputusasaan. Utamanya kalau melihat ketidakberdayaanya membeli obat untuk anaknya yang sakit panas, dan tak turunturun panasnya selama tiga atau empat hari. Atau ketika melihat anaknya yang sedang termangu memandangi kawankawannya yang sedang jajan. 

 

Ia juga hampir mengorbankan kejujurannya. Ia berkali-kali hampir terpedaya ucapan yang terlanjur memasyarakat, bahwa untuk apa jujur. Jujur itu pahit. Jujur itu miskin. Jujur berarti hidup susah. Orang lain juga curang kok, orang lain juga culas, kok. Jadi buat apa kita jujur. 

 

Ya, ia juga manusia biasa, kalau sedang datang kesulitan, iman dan kejujuran bisa juga menghilang darinya. Apalagi kalau ia ingat, bahwa ia bekerja tanpa penghargaan yang memadai. Tapi segera ia memberikannya harapan hidup di negeri akhirat. Kalaulah ia miskin di dunia ini, ia masih berharap kelak ia bisa hidup bahagia di negeri kemudian. Begitu yang sering ia dengar dari para ustadz, bahwa keberadaan akhirat itu adalah sebagai penyempurna segala kejadian yang dianggap oleh manusia sebagai ketidakadilan. 

 

Ya, Riyadi juga masih manusia. Kali ini ia tersudut oleh kenyataan hidup, bahwa ia hidup di negeri yang manusianya sudah nafsi-nafsi, sendiri-sendiri. Ia juga harus menerima kenyataan, bahwa saat ini, hidup enak di negerinya ini, hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja. Ia juga berubah putus asa, bahwa pendidikan yang digelar oleh begitu banyak lembaga pendidikan di tanah air ini, hampir semuanya omong kosong, bahwa kehadiran mereka itu untuk mencerdaskan bangsa, untuk membantu sesama. Omong kosong! Pendidikan di tanah air ini sudah menjadi sebuah komoditas bisnis, yang tak menaruh hati untuk kehadiran orang-orang seperti Riyadi. Ia juga tahu kini, bahwa kepedulian hampir menghilang dari hati dan pikiran bangsanya. 

 

Keputusasaan dan kebutuhan Riyadi untuk membayar sekolah anaknya yang sudah lima bulan belum terbayarkan, akhirnya menyeret dia untuk melakukan satu dua perbuatan nekat. Riyadi akhirnya mencuri satu dua barang dari gudang di kantornya. Riyadi tidak mencuri lebih, meski ia punya kesempatan untuk mencurinya lebih dari kebutuhan dia. Riyadi hanya mencuri seukuran kebutuhannya. Itu saja. 

 

Sekali lagi, nampaknya kita memang harus belajar dari Riyadi ini. Ketika kesempatan tidak ada, kita selalu menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran. Tapi ketika kesempatan ada, biasanya kita yang terdepan dalam urusan ketidakjujuran dan ketidakbenaran. Bahkan ketika ada kesempatan untuk korupsi, untuk mencuri, untuk berbuat aniaya, kita lakukan sampai pol, tidak ada lagi yang tersisa, kecuali hanya untuk diri kita saja. Lihatlah Riyadi ini, lima belas tahun ia punya peluang untuk korupsi, untuk mencuri, tapi itu tidak dilakukannya. Dia berprinsip, dia boleh miskin di dunia, maka jangan sampai nanti di akhirat juga miskin. Begitu katanya. Sekarang, ketika ia putuskan untuk mencuri, ia pun tidak mencurinya lebih dari ukuran bayaran anaknya. Perusahaan Riyadi adalah perusahaan yang menjual barang-barang elektronik. Dari mulai radio kecil, hingga TV ukuran setengah kamarnya diproduksi dijual di sini. Tapi Riyadi hanya mengambil mini compo saja yang ia uangkan. 

 

Ketika ada pemeriksaan, Riyadi ini luput diperiksa oleh kantornya. Tapi Riyadi tidak termasuk dalam daftar orangorang yang dicurigai. Semua ini terjadi lantaran kejujuran Riyadi tidak ada yang meragukan. Termasuk atasannya. Masalah pencurian ini akhirnya di-peti-esk-kan. Lagipun, barang yang ‘hilang’ ini tidak besar, menurut bos-nya. Kejadian ini hanya dijadikan pelajaran, bahwa kewaspadaan harus lebih ditingkatkan. Maka sang waktu pun kembali berjalan sebagaimana biasanya. 

 

Masalah anaknya selesai. Bayaran sekolah Agus, anaknya, akhirnya terbayarkan. Terbayarkan oleh hasil jual barang curian. Riyadi bernafas lega. Satu masalah selesai. Paling tidak ia sudah tidak diuber-uber tagihan SPP sekolahnya si Agus. 

 

Tapi kemudian masalah lain hadir, bahkan kali ini lebih menyiksa perasaannya. Yaitu masalah perasaannya. Riyadi kemudian diburu perasaan bersalah. Sejak SPP si Agus ini ini terbayarkan, bahgkan sejak ia memutuskan akan mengambil mini compo perusahaannya, ia sudah mengalami apa yang dinamakan ketidatenangan, kegelisahan. 

 

Kini kegelisahan dan ketidaktenangan itu nampaknya semakin menjadi-jadi. Ia khawatir, Allah begitu marah padaNya, dan akan menghadirkan kesulitan-kesulitan yang lebih besar lagi. Ia khawatir ajalnya kemudian sampai, sementara ia sedang melakukan kesalahan yang anggap begitu fatal. Ia kemudian merasa bahwa upayanya untuk berjalan lurus akan sia-sia. Di usianya yang akan memasuki usia paruh baya, ia malah menghanguskan kebanggaan dirinya. Bahwa dirinya dulu susah, tapi ia dan keluarganya tidak makan makananan yang haram. Bahwa dirinya memang susah, tapi ia dan keluarganya tidak pernah menyusahkan orang lain. Setelah ia mencuri, semua prinsip ini terasa terlanggar. Ia seakan melihat Allah sedang marah padanya dan setan justru sedang menertawakan dirinya yang goyah juga oleh kebutuhan hidup. Bahkan ketika masalah pencurian ini diputihkan oleh atasannya, ia justru melihatnya sebagai kemarahan Allah yang tertunda. 

 

Akhirnya, hari-hari ia lalui dengan penuh stres. Mukanya selalu kusut. Hatinya tidak karuan. Batinnya tersiksa. Kasus boleh diputihkan, tapi Riyadi lebih menganggapnya ia sedang duduk di kursi mewah, tapi berduri. 

 

Dalam situasi inilah istrinya mencoba memberi saran agar sang suami (Riyadi) berterus terang saja kepada atasannya bahwa ia telah mencuri. Kalau memang karena kejujurannya ini ia dipecat, ia serahkan semua saja kepada Allah. Siapa tahu dengan kejujuran, Allah akan mendatangkan kehidupan yang lebih baik. 

 

Semua keluarganya mendukung nasihat istrinya ini. Tidak terkecuali Agus, anaknya. Si Agus bahkan bilang, kalau bapaknya membayar SPP-nya dari uang haram, lebih baik ia berhenti sekolah. Ia khawatir, kalau ia disekolahkan lewat uang haram, maka kepintarannya kelak akan menjadi bumerang buat dirinya dan keluarganya. Ia khawatir bila melanjutkan sekolah dengan uang haram, maka ia akan dekat dekat apa-apa yang diharamkan Allah. Luar biasa! 

 

Mantap sudah niatan Riyadi untuk segera berterus terang. Apapun yang terjadi terjadilah. Ia hanya berharap Allah mengampuninya. Itu saja. Ia tidak berharap bosnya akan justru mengagumi keberaniannya berterus terang. Ia justru siap dengan risiko yang paling pahit sekalipun. Daripada nanti ditunda hukumannya di akhirat, begitu tekadnya. Lagian, dia punya keyakinan, bahwa bila kebusukan lama disimpan, maka baunya akan jauh lebih busuk. 

 

Akhirnya, memang dipecat. Begitu Riyadi bicara keadaan yang sebenarnya. Alasan bosnya ia tidak pernah mentolerir satu kejahatan pun di kantornya. 

 

Sampai di sini, tidak ada ending cerita happy ending. Riyadi yang selama ini dibayar murah, Riyadi yang selama ini tidak ditunjang kesehatan dan keperluan-keperluan mendadaknya, Riyadi yang lima belas tahun menjaga kejujuran dan loyalitasnya kepada perusaahaan harus menelan ludah, pahit, bahwa akhirnya ia dipecat. Tidak ada pertimbangan kemanusiaan dalam keputusasaannya ini, tidak ada pertimbangan bahwa Riyadi bekerja selama lima belas tahun, tanpa cacat. Tidak ada! Keputusannya lahir dengan sangat cepat. Begitu Riyadi berterus terang, Riyadi dipecat. Riyadi sadar bahwa ia hanya orang kecil, ketiadaannya tidak akan berpengaruh bagi kelancaran hidup perusahaaan. Untung sebelumnya ia sudah mempersiapkan diri untuk tidak membayangkan bosnya kelak justru akan mengaguminya. Sehingga ia tidak sakit hati. 

 

Tapi Allah tidak buta. Ketika Dia melihat ‘perjuangan’ Riyadi yang luar biasa, ditambah dengan keikhlasan Riyadi dalam menjalani kehidupan ini, saat itu pula keputusan terbaikNya Dia turunkan untuk Riyadi. Allah kemudian menunjukkan kebenaran perkataan-Nya, bahwa ujung kehidupan antara yang baik dan yang jahat itu berbeda. Tidak akan sama riwayat kehidupan di kemudian hari antara orang yang menjaga imannya dengan orang yang menukarnya dengan dunia yang memperdayakan. Allah menunjukkan kebesaran-Nya pada keluarga Riyadi ini. 

 

Dengan dasar pesangonnya yang hanya dua juta rupiah, ia kemudian membuka bengkel motor. Rupanya inilah jalan hadiah dari Allah. Bengkelnya ini kemudian maju, lebih maju dari yang ia bayangkan sebelumnya.  

 

Atas kuasa Allah, usahanya Riyadi semakin berkembang pesat. Beberapa tahun setelah itu, Riyadi dan istrinya serta ibunya Riyadi bisa menunaikan ibadah haji.  

 

Sahabat, Allah tidak pernah buta. Dalam kondisi yang serba sulit, bukan berarti Allah hendak membiarkan kita, namun Allah hendak melihat bagaimana usaha hamba-Nya dalam berjuang dengan tetap menjunjung tinggi kejujuran, walaupun mungkin tampak pahit. Karena, sesungguhnya tidak ada kepahitan pada pribadi-pribadi yang senantiasa menghadirkan Allah dalam kehidupan. 

Terkadang, ada jenis manusia yang tanpa merasa berdosa selalu menyalahkan Tuhan, dan mempermasalahkan keadilanNya, hingga ia pun berkesimpulan bahwa Tuhan itu tidak adil memperlakukan dirinya. Padahal, yang sesungguhnya tidak adil adalah dirinya sendiri dalam menangkap keadilan Allah Azza wa Jalla. 

#Syaiful_Anwar

#Fakultas_Ekonomi

#Universitas_Andalas

#Kampus2_Payakumbuh

#Tuhan_Tidak_Pernah_Buta

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *