Jendelakaba.com – Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Babel, anjloknya nilai ekspor Babel diakibatnya tidak adanya ekspor timah selama Januari 2024. Timah sendiri merupakan komiditas utama ekspor Babel selama ini.
Perekonomian Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terancam anjlok. Salah satu indikasi utama dapat dilihat dari merosotnya nilai ekspor Januari 2024 hingga 82,55% atau hanya US$ 29,79 juta dolar dibanding bulan sebelumnya Desember 2023 sebesar US$ 170,64 juta.
Merosotnya ekspor timah ini bisa berdampak serius pada tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauan Babel, pasalnya pada pertumbuhan ekonomi Babel 2023 mengalami perlambatan yakni hanya 4,38% dari sebelumnya 4,40%. Sementara sektor pertambangan pada 2023 mengalami perlambatan laju pertumbuhan yakni -1,20%.
Salah satu penyebabnya karena proses hukum yang sedang dijalani para pelaku industri timah di Bangka Belitung. Kejaksaan Agung RI menyimpulkan terjadi kerugian negara sebesar Rp 271 trilyun akibat kerusakan lingkungan. Nilai tersebut berdasarkan hitungan Guru Besar IPB, Prof Bambang Hero Saharjo yang disampaikan saat jumpa pers di Kejagung (19/2/2024) lalu.
Guru besar IPB itu mengungkapkan total kerugian akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan pada perkara dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk tahun 2015 hingga 2022 mencapai Rp271,06 triliun.
Pakar forensik kehutanan itu menjelaskan dalam penghitungan kerugian ekologi atau lingkungan itu, pihaknya melakukan verifikasi di lapangan serta pengamatan dengan citra satelit dari tahun 2015 sampai 2022.
Dalam 1 bulan terakhir, Kejagung telah menahan 13 tersangka. 2 mantan Direksi PT Timah, 11 lainnya berasal dari jajaran manajemen perusahaan smelter timah.
Industri tutup, timah terpuruk
Dari hasil pantauan lapangan, 4 perusahaan smelter total berhenti beroperasi menyusul ditahannya wakil manajemen dari perusahaan tersebut. Sisanya beroperasi secara terbatas.
Saat dilakukan kunjungan lapangan ke PT Tinindo Inter Nusa (TIN), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), dan PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), dan PT Refined Bangka Tin (RBT), kondisinya dalam keadaan tertutup. Seorang petugas sekuriti PT SBS menjawab singkat, “saatnya sedanag wfh. Maaf pimpinan tidak ada di tempat,” jelasnya sambal meminta awak media untuk pulang.
Proses hukum yang dilakukan Kejagung langsung berdampak serius, bukan hanya pada anjloknya perekonomian Babel, tapi juga penurunan kepercayaan dunia terhadap pasokan timah Indonesia. Mayoritas Penjualan timah adalah ekspor. Seluruh perusahaan timah saatnya terikat kontrak dengan buyer asing. Ancaman penalti buyer mengincar pelaku timah Babel. Bak pepatah. Sudah jatuh, tertimpa tangga.
Ragukan kerugian negara
Berbeda dengan pandangan Prof Bambang Hero Saharjo, Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Prof Andri Gunawan Wibisana berpendapat bahwa kerusakan lingkungan di suatu daerah tambang tidak bisa otomatis disimpulkan sebagai kerugian negara, dan terjadi tindak pidana korupsi (29/2/2024).
Hal itu disampaikan Andri menanggapi penggunaan metode kerusakan lingkungan untuk menilai adanya kerugian negara, dalam kasus tindak pidana korupsi tata niaga timah, yang ditangani Kejaksaan Agung RI.
“Buktikan dulu tindak pidana korupsinya. Kerusakan lingkungan itu biasanya merupakan dampak. Dalam kasus pencemaran atau kebakaran hutan misalnya, tidak otomatis terjadi korupsi, tapi kesalahan dalam tata kelola lingkungan,” tandas Andri.
Penggunaan kerusakan ekologi untuk menghitung kerugiaan negara juga mendapat respon Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda.
“Untuk membuktikan adanya kerugian perekonomian negara itu termasuk kerugian karena kerusakan ekologis kan itu harus berdasarkan audit BPK,” ujar Chairul dalam keterangannya, Sabtu (24/2/2024).
Menurut Chairul, kerusakan lingkungan karena bekas tambang dianggap sebagai kerugian negara dalam bentuk kerugian ekologis belum ada dalilnya. Jadi belum ada dalil yang cukup kuat untuk mengkonstruksi secara demikian.(BJP)***