Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
A. Waktu Shalat Duha
Saudaraku yang ingin menyedekahi 360 sendi, kami telah berjanji kepada Anda ingin mengenalkan tentang shalat Duha…Baiklah akan kami coba jelaskan!
Shalat Duha atau disebut juga shalat shalat al-Awwabin merupakan salah satu ibadah shalat sunah yang dilakukan pada waktu Duha. Waktu Duha dimulai saat terbit matahari, lalu terus meninggi sampai mendekati waktu Zuhur tiba. Syaikh Utsaimin memperkirakan bahwa waktu shalat Duha setelah matahari terbit adalah empat jam sampai sepuluh menit menjelang waktu Zuhur tiba.
Yang lebih utama dikerjakan setelah panas matahari mulai menyengat, sebagaimana sabda Rasulullah :
صَلاَةُُالَُْبوايِنََْذِنََُْدرَْمَُ ُاهصِْصَةلُُ
“Waktu mengerjakan shalat ‘awwâbîn (duha) adalah ketika anak-anak unta bangkit karena merasakan panasnya matahari.” (HR. Muslim)
Imam al-Nawawi di dalam kitab al-Majmu berkata: “Waktunya ketika matahari meninggi (condong). Sebagian ulama lagi mengatakan bahwa waktu yang paling afdhal adalah ketika matahari meninggi dan panasnya mulai terik.
Dengan adanya penjelasan seperti ini, maka kita memiliki waktu yang luas untuk mengerjakan shalat Duha meskipun kita tidak sempat melaksanakannya di awal. Kita bisa melaksanakan shalat pada jam sembilan, sepuluh, sebelas dan intinya adalah sebelum masuknya waktu Zuhur.
B. Rakaat Shalat Duha
Jumlah rakaatnya minimal dua rakaat, dan paling afdhal adalah delapan rakaat. Abu Hurairah berkata:
أوَصَْةنُُِْخَوِيلُُِْْْصَ بلُُّاللُُُؼَويَُْ ُِ وشََوبىَُ ثصِِيةَمُِ ثلَاَثحَُُِأَيبةمٍُ يِ ٌُْ لكُُُشَ ْرٍُ،ُ
وَرَكْؽَتَُُِ ال لضحَ، وَأنَُْ أوُدرَُِ قَجنَُُْ أنَُُْ أرَْقُدَُ
“Kekasihku Rasulullah berwasiat kepadaku dengan tiga perkara, puasa selama tiga hari setiap bulannya, dua rakaat shalat Duha dan mengerjakan shalat witir sebelum aku tidur” (Muttafaq „Alaih).
Adapun jumlah empat rakaat, disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah :
وَخٌَُُْعََئِشَحَُُُقةَهخَُْ:ُكََنَُُرشَُْْلُُُا ِللُُُيصَُلُلُْْاللضحَُُأ رَْبَؽًة،ُوَيَزِيدُُُْيَةشَةءَُُاللُُ.
“Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah biasa mengerjakan shalat Duha empat rakaat, atau terkadang lebih dari itu.” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa jumlahnya delapan rakaat,“Dari Ummui Hani Fakhitah binti Abu Thalib ia berkata, “Aku pergi menemui Rasulullah pada tahun penaklukan Mekah. Ternyata pada saat itu beliau sedang mandi. Setelah selesai mandi, beliau shalat delapan rakaat. Itulah shalat Duha.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa hadis-hadis tersebut seluruhnya disepakati kesahihannya dan tidak ada perselisihan di dalamnya menurut para muhaqqiq (ahl altahqiq) . Dan kesimpulannya, menurut beliau, shalat Dhuha adalah sunah mu’akkadah. Minimal adalah dua rakaat, dan paling sempurna adalah delapan rakaat. Dan di antaranya empat atau enam, keduanya (empat atau enam rakaat) adalah lebih sempurna dari dua rakaat dan kesempurnaannya berada di bawah delapan rakaat (Muslim Syarh alNawawi: 5: 322).
Selain maksimal delapan rakaat, ada juga yang berpendapat bahwa shalat Duha bisa dilaksanakan maksimal dua belas rakaat, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Darda‟ , ia berkata:
“Barangsiapa mengerjakan shalat Duha dua rakaat, maka dia tidak ditetapkan termasuk orang-orang yang lengah. Barangsiapa shalat empat rakaat, maka dia tetapkan termasuk orang-orang yang ahli ibadah. Barangsiapa mengerjakan delapan rakaat, maka Allah menetapkannya termasuk orang-orang yang tunduk dan patuh. Dan barangsiapa mengerjakan shalat dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga. Dan tidaklah satu hari dan tidak juga satu malam, melainkan Allah memiliki karunia yang dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya sebagai sedekah. Dan tidaklah Allah memberi karunia kepada seseorang lebih baik daripada mengilhaminya untuk selalu ingat kepada-Nya.” (HR. Thabrani)
Hadis di atas, sebagaimana disebutkan dalam kitab Dha‟if at-Targhîb wa at-Tarhîb yang dikategorikan hadis yang dha‟if atau lemah. Secara umum hadis lemah tidak bisa dijadikan hujjah. Namun, ada yang berpendapat hadis lemah dapat dijadikan hujjah atau sandaran karena isinya mencakup keutamaan amal perbuatan. Menurut para ulama, hadis yang lemah tetap bisa dijadikan rujukan jika hadis tersebut menjelaskan keutamaan amal, bukan menyangkut hukum. Kalau hadis palsu tidak bisa dijadikan rujukan dengan alasan apa pun.
Imam An-Nawawi berpendapat, “Dalam hadis yang menjelaskan tentang opsi jumlah rakaat shalat Duha ini sebenarnya terdapat kelemahan. Namun jika digabungkan dengan hadis lain yang memiliki pesan yang sama, maka ia menjadi kuat dan layak dijadikan sebagai argumentasi.” Berkaitan dengan perbedaan pendapat ini, penulis lebih memilih kehati-hatian dengan merujuk kepada hadis sahih, yaitu dengan batasan maksimal shalat duha delapan rakaat. Adapun jika Anda ingin melakukan dua belas rakaat dengan merujuk kepada pendapat Imam al-Nawawi, penulis kembalikan lagi kepada Anda. Wallahu „alam!
C. Kenapa Harus Shalat Duha?
Terlepas dari perbedaan pendapat ini, namun ada kesepakatan tentang anjuran shalat duha. Anjuran pelaksanaan shalat duha pada dasarnya dimaksudkan untuk beberapa hal, antara lain:
- Sebagai Rasa Syukur kepada Allah
Renungkanlah firman Allah:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7)
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa hendaklah kita selalu mengingat dan memerhatikan akan peringatan yang telah dimaklumkan oleh Allah kepada kita, yakni kita harus senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya. Dijelaskan, bahwa jika kita mampu bersyukur maka Allah akan menambahkan lagi nikmat yang telah diberikan-Nya dan sebaliknya jika kita mengkufuri nikmat-Nya maka bersiap-siaplah merasakan azab yang kelewat pedih.
Syukur, menurut salah satu definisi yang cukup dikenal di kalangan umat Islam, adalah ucapan, sikap, dan perbuatan terima kasih kepada Allah dan pengakuan yang tulus atas nikmat dan karunia yang diberikan-Nya.
Tentu saja semua itu harus selaras dengan apa yang telah ditentukan Allah. bukan disebut syukur jika ekspresi yang dikeluarkan tak sesuai dengan syariat yang ditetapkan oleh Allah. Oleh sebab itu, seseorang disebut bersyukur jika apa yang dilakukannya sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh Allah.
Agar kita dapat memaknai rasa syukur, maka hendaknya kita memahami pula bahwa bersyukur ini bukanlah bagi kepentingan Allah saja tetapi justru untuk kepentingan kita sendiri. Sebab pada hakikatnya kita yang membutuhkan Allah bukan sebaliknya. Allah tidak membutuhkan syukur kita, dengan tetap bersyukurnya kita atau tidak, Allah tak akan pernah mengurangi kekuasaanNya. Dia tetap Tuhan Yang Maha, tidak tercederai sedikit pun, walau tidak adanya makhluk yang tidak bersyukur di muka bumi ini.
“Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Luqman [31]: 12)
Ada banyak ragam bentuk syukur yang bisa kita lakukan sebagai ekspresi rasa syukur kita kepada Allah. Beberapa di antaranya misalnya dengan memperbanyak sedekah, memperbanyak berbuat baik terhadap sesama, memperbanyak shalat sunah dan sebagainya. Mungkin, kita masih ingat suatu riwayat yang mengisahkan bahwa Rasulullah adalah orang yang sangat banyak melakukan shalat sunah, sehingga kedua kakinya menjadi bengkak. Padahal, beliau adalah orang yang dijamin masuk surga; orang yang terjaga dari perbuatan dosa. Dan, saat ditanya tentang apa yang menyebabkan beliau melakukan hal tersebut, maka dengan ringan beliau menjawab, “Tidak bolehkan jika aku menjadi hamba yang pandai bersyukur.”
Inilah jawaban dari sang pemimpin dunia; seseorang yang telah dijamin masuk surga; orang yang menurut logika kita, sudah tak harus lagi repot-repot beribadah. Tetapi, beliau masih ingin menunjukkan bahwa beliau adalah hamba yang bersyukur.
Lalu, apa hubungannya shalat duha dengan bersyukur? Untuk menjawabnya, mari kita simak hadis berikut ini:
ِيَفُصُْاصَِلْْننٍُُصَْيَِةُِْنَُةِشلذصَْدَنَُقَُحًوَ،ثقةَلََالُثًُِْاة:اِحَُفًََُيٌَُصُْابصٍَنُُؼَويَُُُِْأنَُُْحَذَصَبدقَُُْخَ ٌُُْلُكُُ
لَِّيُيطُِيقُُُْذَلَكَُُِيةَرشَُلَُُاللِب،ُ
قةَلَُ:ابلجخَةيَحُُ)الََْْصَقُُ(فُِالَْصِْخِدُِيدَْفََُِة،أوُُِالبشيئُُْحَُرِْيُُُِْاهبطرِيُْقُ،فإَِنُُْلىَُْحَقْدِرُْفرََُكْؽَذُةَُاللضحَُتُُزْئُُُِخََُُُُْ.ُ
“Didalam diri setiap manusia terdapat 360 sendi, dan ia wajib menunaikan satu sedekah bagi setiap sendi. Para sahabat bertanya, “Siapa yang sanggup melakukan itu, wahai Nabi Allah?” Beliau menjawab, “Mengubur ludah di dalam masjid (adalah sedekah). Menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah. Jika tidak kau dapati ini, maka dua rakaat shalat duha sudah cukup mencukupi hal ini.” (HR. Abu Daud)
Inilah hubungan erat antara shalat duha dan bentuk syukur kita. Setiap manusia memiliki 360 persendian yang harus disedekahi sebagai bentuk syukur hamba kepada Tuhannya. Dan, dalam hal ini, shalat duha dianggap cukup menggantikannya jika shalat duha dianggap cukup menggantikannya jika si hamba tersebut tidak mampu mengeluarkan sedekah sebanyak itu. Perhatikan pula hadis berikut:
“Bagi masing-masing ruas tulang dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus dikeluarkan sedekahnya. Maka setiap bacaan tasbih (Subhânallâh) adalah sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillâh) sedekah, setiap bacaan tahlil (Lâ ilâha illallâh) sedekah, setiap bacaan takbir (Allâhu Akbar) sedekah, beramar ma‟ruf sedekah, dan mencegah kemungkaran sedekah. Dan itu semua tercukupi dua rakaat shalat shalat Duha.” (HR. Muslim)
Berdasarkan hadis tersebut, kita bisa membayangkan betapa dahsyatnya pahala shalat Duha. Ya, keharusan untuk bersedekah bagi 360 ruas tulang belulang kita yang bisa diterjemahkan dengan melakukan tahlil, tasbih, tahmid, serta amar ma‟ruf nahi munkar dapat diganti dengan dua rakaat shalat Duha. Subhânallâh, alangkah Mahakasih dan Mahasayang Allah terhadap kita sebagai hamba-Nya.
Dalam segala kesibukan kita dalam kehidupan dunia, dalam persaingan yang semakin ketat, kita hanya dituntut untuk melakukan dua rakaat saja shalat duha dengan pahala yang sedemikian besar. Padahal, dua rakaat ini rasanya tak akan menyita waktu sampai berjam-jam. Paling lama pun hanya lima belas menit, dimulai sejak kita berwudu sampai kita siap kembali untuk beraktivitas.
Akan tetapi, memang yang hanya sebentar ini memerlukan perjuangan yang cukup berat. Sulit sekali rasanya kita untuk memulai melakukan shalat Duha ini. Kita lebih sering mengutamakan panggilan dari majikan daripada panggilan Allah.
Sungguh lucu memang kita ini. Di satu sisi kita selalu meminta kebaikan di dunia dan akhirat; meminta dibebaskan dari siksa neraka, tetapi di sisi lain, kita malas bahkan hanya sekadar untuk mengorbankan waktu lima belas menit untuk menghadap Allah; mengungkapkan rasa syukur kita kepada-Nya. Padahal, jika kita mampu melakukannya; jika kita mampu menjadi hamba yang bukan hanya beriman, tetapi juga mampu bersyukur. Maka yakinlah bahwa kesuksesan di dunia dan di akhirat akan senantiasa menghampiri kita. Simaklah firman Allah berikut ini dengan penuh kesungguhan:
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (Q.s. An-Nisa [4]: 147)
Sungguh tak ada yang perlu kita takutkan jika mampu menjadi hamba yang beriman dan bersyukur. Inilah janji Allah yang tidak akan diingkari-Nya. Oleh sebab itu, tunggu apa lagi? Mulai dari sekarang, cobalah untuk memulai melakukan shalat duha yang menjanjikan banyak pahala ini, sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada Allah. Dan, setelah itu tunggulah kesuksesan yang akan menghampiri kita.
2. Sebagai Shalat Awwâbîn
Selain sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Subhānahu wa Ta‟āla. dan sekaligus bentuk sedekah, shalat Duha juga disebut-sebut sebagai shalat awwabin (shalatnya orang-orang yang kembali ke jalan Allah. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis: صَلاَةُُُالْبوَايِنََُْذِنََُُْدرَْمَُ ُُاهصِْصَةلُِ
“Shalat awwâbîn (duha) itu dikerjakan saat anak-anak unta bangkit karena merasakan panasnya matahari.” (HR. Muslim)
Manusia, dengan segala warna, sifat dan karakternya yang berbeda-beda dan dalam situasi dan kondisi apapun mempunyai potensi untuk melakukan ke-fujur-an (keburukan). Pada saat seperti itulah Allah memberikan kesempatan kepada hamba-Nya untuk terus meminta ampun kepada-Nya selama nafas belum sampai tenggorokan atau matahari terbit dari sebelah barat. Dan, Rasulullah mengajarkan umatnya untuk beristighfar. Rasulullah adalah orang yang telah dijamin ahli surga, diampuni oleh Allah dosanya, baik yang telah lewat, yang terjadi sekarang, atau yang akan datang. Meski demikian, Rasulullah dalam sehari tidak kurang dari seratus kali beristighfar.
Dengan demikian, shalat duha dilaksanakan bukan hanya untuk menjemput rezeki, namun ia dilaksanakan sebagai sarana untuk memohon ampun kepada Allah.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Ada_Apa_Dengan_Dhuha