MEMBUAT KARTU NAMA, BERIKUT GELAR GILA

Khazanah

 

 

Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh 

 

“Orang-orang yang luar biasa adalah orang-orang  yang sedikit gila.” (Ippho Santosa) 

 

 Membuat Gelar Gila 

Sebelum acara ceramah, simposium, dan pelatihan, panitia seringkali menanyakan gelar saya. Saya  seringkali menolak mereka untuk mencantumkan gelar akademis saya. Saya katakan, “Nggak usahlah, Pak.” Mereka pun menyela, “Penting lho, Pak.” Saya pun tetap bersikukuh dengan pemikiran saya. Alasan saya sederhana, saya khawatir tidak bisa mengimbangi gelar dengan kualitas keilmuan saya. Akhirnya panitia pun menyerah dan berinisiatif untuk menyematkan gelar kepada saya menurut analisanya. Bermunculanlah beberapa gelar, Drs (Doctorandus), S.Pd (Sarjana Pendidikan), S.Pd.I (Sarjana Pendidikan Islam),  Lc. MA, Haji, dan sebagainya. Saya biarkan saja panitia menyebutkan gelar-gelar di atas. Saya jadi tersenyum dan tertawa. Wah, banyak sekali gelar saya, yang sebagian besar tidak saya dapat di bangku perkuliahan.  

 

Cerita saya di atas mengindikasikan bahwa, orang Indonesia secara umum „gila gelar‟. Kalau tidak memiliki gelar, dianggap tidak berkualitas. Padahal, banyak orang yang tidak tamat SD dan tidak memiliki gelar akademis, namun sukses di lapangan, karena memiliki kegigihan dan mampu bertarung dengan segala terpaan. Namun, bagaimana lagi, gejala ini sudah mendemam di masyarakat kita.  

 

Akhirnya, banyak para pengusaha, seniman, dan professional yang kreatif mencantumkan gelar gila (bukan gelar akademis) sebagai branding dirinya. Misalnya, Bagus Adinda, pentolan grup musik CELEBrand telah menyematkan gelar „MMu‟ kepada dirinya. Lengkapnya, Bagus Adinda, MMu. MMu, maksudnya adalah, „Manusia Musik‟. Demikian juga dengan No.1 Creative Marketer in Indonesia, Ippho Santosa, mencantumkan gelar „PhG‟ kepada dirinya sendiri. Lengkapnya, Ippho Santosa, PhG. PhG bukan gelar doktor di luar negeri, tapi kependekan dari „Pengusaha Gila‟, Abuya Mobif, PHD. PHD di sini bukan Ph.D (Doctor of Filosophy), tetapi Paper Hauler Degre (Sarjana Oper Koran). Dan, masih banyak lagi orang-orang yang mewisuda dirinya sendiri untuk menjawab kegilaan masyarakat Indonesia atas gelar. Memang, gelar yang saya dan mereka cantumkan bukanlah gelar akademis. Namun, gelar ini justru akan lebih dahsyat dan greget serta bisa menjadi personal branding. Bukankah membuat gelar sendiri tidak akan menghabiskan biaya?  

 

Jadilah Direktur Utama dan Karyawan Inti! 

Suatu hari, saya menerima sms dari salah seorang teman istri saya yang di-PHK. Dia meminta saya agar mencarikan pekerjaannya sebagai guru Bahasa Inggris. Saya membalas sms-nya, “Saudaraku, Anda punya potensi yang mungkin melebihi potensi saya. Saran saya, buatlah pekerjaan, jangan cari pekerjaan!”  Dan, saran saya ini…‟tidak mempan‟ dan dianggapnya tidak serius. 

 

Cerita singkat di atas menggambarkan, bahwa pendidikan di Indonesia belum mampu mencetak lulusan yang bermental „Direktur‟ atau „Boss‟. Mayoritas sarjana, bahkan master sekalipun masih bermental „Karyawan‟. Mereka suka yang pasti-pasti saja. Kata mereka, “Biar sedikit, tapi pasti per bulannya.” Jika pola pikir ini „sepenuhnya‟ benar, saya akan bertanya, “Apakah yang harus diperbuat, jika sudah melayangkan surat lamaran ke sana ke mari, namun tidak ada satu pun lembaga pendidikan maupun perusahaan pada bulan itu yang sedang membutuhkan karyawan? Haruskah berdiam diri meratapi nasib dan menganggur?” 

 

Saran saya, buatlah pekerjaan atau usaha sendiri. Dengan modal apa adanya atau meminjam kepada orang yang bisa memercayai Anda. Maka, Andalah Direkturnya sekaligus karyawannya. Silakan Anda mencoba, karena Anda bukanlah orang satu-satunya yang telah berbuat. Belajarlah kepada mereka yang telah sukses.  

  • Riyadi, dipecat sebagai karyawan. Ia pun membuka bengkel BERKAH MOTOR. Ia pun mampu meningkatkan income-nya yang tidak pernah ia dapatkan ketika ia menjadi karyawan yang gajinya bisa dibilang pas-pasan bahkan kurang memadai. Ia sukses dan mampu melaksanakan ibadah haji. 
  • Ahmad Suryanto, mampu menjadi pengusaha sukses, yang ia peroleh berkat kegigihannya menjual mobil-mobil baru dan second serta bertani. Hal ini tidak pernah ia dapatkan ketika menjadi salah seorang pengajar dan pembina di sebuah pesantren ternama di Padang Panjang. Menurut penuturannya, ia „setengah‟ di PHK dari tempatnya mengajar dan membina tersebut, tanpa alasan yang jelas.  

 

Cantumkan Gelar dan Jabatan Anda di Kartu Nama! 

Sesudah Anda mencantumkan gelar dan jabatan Anda, bersiaplah untuk membuat kartu nama. Kalau bisa seindah dan sebagus mungkin. Di kartu nama itu Anda buat logo perusahaan atau bisnis pribadi yang Anda pegang. Jika Anda punya bisnis dengan nama “Maman Advertising” dan Anda adalah direkturnya, maka cantumkan nama Anda berikut gelar gila, “Maman Surahman, MAd. Maksudnya, Maman Surahman Makhluk Advertising. Setelah itu sebarkan kartu Anda di setiap kesempatan, agar orang mengenal Anda. Tentu Anda lebih tahu, hal-hal apa yang urgen dicantumkan di kartu nama: nama perusahaan/bisnis, bidang bisnis, nama lengkap, jabatan, nomor HP, dan alamat perusahaan. 

 

O ya, kenapa saya sarankan Anda untuk membuat kartu nama ini?  Saya punya beberapa alasan yang menurut saya penting dan rasional. Inilah di antaranya: 

 

  • Dalam skenario pemasaran, kartu nama ini berfungsi sebagai salah satu alat bantu dalam menjual sesuatu.  
  • Seorang pengusaha pernah mengatakan, andaikata Anda adalah buku, maka kartu nama adalah pengantarnya. Untuk menelusuri intisari buku, kita dapat menjajakinya melalui kata pengantar, meskipun hanya sekilas. 
  • Pembicara kelas dunia, Tom Peters, berpendapat bahwa kartu nama itu tak ubahnya seperti kemasan, yang sedikitsedikit dapat menentukan apakah produk itu layak dipercaya atau tidak.  
  • Roger Konopasek berpesan, pesona kartu nama terletak pada sifatnya yang murah, mudah (maksudnya, mudah dibawa), dan meriah (meriah dalam arti kaya akan informasi). 
  • Efesiensi waktu. Misalnya, jika orang menanyakan berapa no. HP, alamat, dan seabrek pekerjaan Anda, Anda tinggal menyodorkan kartu nama Anda. Jadi, Anda sudah hemat menulis dan berbicara.  

 

Nah, dari alasan-alasan di atas Anda sudah bisa menyimpulkan bahwa kartu nama itu sangat penting. Ibaratnya, kartu nama itu adalah jalan untuk menyampaikan kepada tujuan, atau proposal menuju pembahasan.  

 

Saya ingin memberi contoh beberapa tokoh dan aksi „gila‟ berkaitan dengan kartu nama. 

  • Billi Lim, seorang motivator asal Asia, acapkali memberikan kartu namanya dua atau tiga kali kepada orang yang sama.  
  • Joe Girard, salesman paling besar di dunia yang tercatat di Guiness Book of World Record selama belasan tahun, suatu hari di sebuah stadion sepakbola melemparkan kartu namanya  ke udara setiap kali penonton bersorak dan melompat. Hal ini membuat penonton penasaran. Mereka pun berhamburan mengutip kartu namanya. Walaupun awalnya, banyak orang yang mencap Girard sebagai orang sableng bin gendeng, tapi akhirnya mereka pun tetap tergerak untuk mengetahui, apa yang telah dihamburkannya itu. 

 

Semakin jelas „kan, bahwa kartu nama itu bukan hanya penting, tapi sangat penting. Tentunya, aksi-aksi gila yang mereka lakukan tidak sepenuhnya harus Anda tiru. Anda punya cara sendiri untuk membagikan kartu nama. Misalnya, ketika bertemu dengan orang di kantor, Anda ngobrol santai, lalu berikan kartu nama Anda kepadanya. Atau, dalam seminar yang Anda hadiri, Anda membagikannya kepada peserta seminar setelah selesai acara. Ya, intinya mah terserah Anda saja! 

 

#Syaiful_Anwar

#Fakultas_Ekonomi

#Universitas_Andalas

#Kampus2_Payakumbuh

#Enterpreneur_Mentality

#Membuat_Kartu_Nama_Berikut_Gelar_Gila

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *