Jendelakaba.com-Perkembangan teknologi digital telah menghadirkan kemudahan besar bagi masyarakat Indonesia, terutama dalam hal akses layanan keuangan. Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul pula ancaman serius berupa maraknya praktik pinjaman online ilegal dan investasi bodong yang merugikan masyarakat. Persoalan ini tidak lagi sebatas masalah hukum atau ekonomi, melainkan telah masuk pada ranah sosial, psikologis, bahkan keamanan nasional.
Sebagaimana disampaikan Anggota Komisi I DPR RI, Rachel Maryam Sayyidina, fenomena pinjol ilegal terus berkembang dengan modus yang semakin canggih. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Juli 2025 tercatat lebih dari 7.000 entitas pinjaman online ilegal yang diblokir sejak 2018. Meskipun demikian, entitas-entitas baru terus bermunculan dengan menyamar seolah-olah sebagai platform legal dan terpercaya. Celah ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab untuk menjerat masyarakat, khususnya kalangan rentan seperti pekerja lepas, mahasiswa, ibu rumah tangga, dan pelaku UMKM.
Situasi semakin mengkhawatirkan ketika praktik pinjol ilegal terbukti terhubung dengan jaringan kejahatan siber lintas negara. Banyak aplikasi tidak tersedia di toko aplikasi resmi, melainkan melalui tautan mencurigakan yang memanfaatkan server luar negeri. Hal ini menyulitkan aparat hukum dalam melakukan pelacakan. Di sisi lain, investasi ilegal seperti arisan online, robot trading, hingga cryptocurrency palsu juga semakin marak. Menurut data Satgas Waspada Investasi (SWI), kerugian masyarakat akibat investasi ilegal telah mencapai Rp139 triliun dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.
Rabu, 03 September 2025 menjadi momentum penting bagi penyelenggaraan Forum Diskusi Publik bertema “Penguatan Pemahaman Bahaya Pinjaman Online dari Investasi Ilegal.” Dalam forum ini, sejumlah narasumber menekankan bahwa masalah pinjol dan investasi ilegal tidak cukup hanya dihadapi dengan regulasi atau penindakan hukum. Edukasi dan literasi digital harus menjadi garda terdepan untuk melindungi masyarakat.
Rachel Maryam menegaskan, literasi digital dan literasi keuangan masih menjadi titik lemah masyarakat. Banyak yang belum mampu membedakan mana layanan legal dan mana yang ilegal. Lebih parah lagi, maraknya promosi melalui influencer dan publik figur sering kali memperkuat keyakinan masyarakat terhadap platform yang justru menyesatkan. Oleh karena itu, edukasi publik harus dilakukan dengan pendekatan partisipatif. Tidak hanya melalui media sosial, tetapi juga menyasar komunitas, sekolah, perguruan tinggi, hingga rumah ibadah.
Pemerintah bersama DPR saat ini mendorong revisi UU ITE, UU Perlindungan Data Pribadi, serta pembentukan payung hukum khusus untuk perlindungan konsumen digital. Namun, menurut Rachel Maryam, langkah ini harus dibarengi dengan pemulihan korban serta kerja sama internasional dalam pemberantasan kejahatan siber lintas batas.
Sementara itu, Dr. Rulli Nasrullah, M.Si., pakar kebudayaan digital, menilai persoalan ini tidak hanya soal hukum, tapi juga persoalan budaya digital. Menurutnya, pinjol ilegal ibarat “virus digital” yang terus bermutasi. Setiap kali satu entitas ditutup, muncul dua atau tiga dengan nama baru. Oleh sebab itu, edukasi harus disampaikan dengan cara yang menyentuh, kreatif, dan relevan dengan kehidupan masyarakat, misalnya melalui storytelling, film pendek, micro-influencer, dan kampanye berbasis komunitas.
Pada akhirnya, forum ini menyimpulkan bahwa literasi digital merupakan benteng utama melawan praktik pinjol dan investasi ilegal. Tanpa masyarakat yang kritis dan berdaya, regulasi hanya akan menjadi teks hukum semata. Semua pihak—pemerintah, akademisi, media, dan komunitas—dituntut untuk bersinergi membangun ekosistem digital yang sehat, aman, dan berpihak pada rakyat.***






