KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI

 

Oleh : Syaiful Anwar

 

Keberadaan TRC ditujukan untuk mewujudkan restorative justice atau total justice guna membangun kembali ekuilibrium metafisik dan relasi sosial kehidupan korban kejahatan HAM dan/atau keluarganya, lingkungan masyarakatnya, para pemangku kepentingan, juga pelaku kejahatan. Dengan adanya upaya restoratif tersebut, gairah kehidupan sosial akan berpendar kembali dan dapat membangun peradabannya.

Secara konstitusional dan yuridis negara Indonesia terikat untuk mematuhi ketentuan tentang HAM. Di samping telah dengan tegas jaminan perlindungan HAM dalam Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, dan UUD 1945 dengan amandemennya, juga ada UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengadopsi Statuta Roma, dan konvensi internasional lain.

Negara Indonesia juga telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau kovenan hak-hak sipil dan politik dengan UU No 12 Tahun 2005 yang dalam Pasal 2 Ayat (3) a menentukan: setiap negara pihak kovenan ini berjanji: a) untuk menjamin bahwa setiap orang yang hak-haknya atau kebebasan-kebebasannya yang diakui kovenan ini dilanggar harus memperoleh ganti rugi yang efektif meskipun pelanggaran dilakukan oleh orang-orang yang memegang jabatan resmi.

Penyelesaian perkara HAM melalui jalur prosekutorial menuntut adanya pemenuhan prosedur hukum acara, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan proses di pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Dengan demikian, penyelesaian perkara pidana atau kejahatan HAM melalui KKR merupakan konsekuensi etis dari adanya keterbatasan hukum.

Dari banyak faktor yang memberi kontribusi adanya keterbatasan hukum, terutama dalam penegakan hukum HAM, masalah political will menjadi determinan. Apalagi dalam konteks proses peradilan HAM ad hoc di Indonesia yang menuntut adanya ketersediaan profesionalisme para penegak hukum, baik penyidik, penuntut umum, hakim, maupun penasihat hukum.

Dalam hubungan ini belum ada yang membantah secara resmi buku Prof David Cohen tentang Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia yang menyatakan Intended To Fail yang intinya menyatakan Pengadilan Ad Hoc dalam kasus Timor Timur gagal.

Secara yuridis, pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran berat terhadap HAM. Pelakunya adalah setiap orang yang mencakup pengertian orang perorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual. Dalam praktik sering timbul perbedaan penafsiran terhadap penerapan Pasal 42 UU No 26 Tahun 2000 tentang pertanggungjawaban komando atau atasan.

Dengan demikian, timbul perbedaan tafsir karena ada yang menyatakan, untuk mengadili dan menyatakan bersalah seorang komandan atau atasan, harus ada bawahan dulu yang diadili dan dinyatakan bersalah, sedangkan pendapat lain menyatakan tak perlu harus ada bawahan dulu yang dipidana.

Sebagai orang yang ikut mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di tingkat kasasi dalam kasus Timor Timur dan Tanjung Priok, saya merasakan adanya keterbatasan hukum untuk mencapai keadilan substantif dalam proses pengadilan. Selain faktor keterbatasan bunyi teks pasal aturan hukum, proses pengadilan tak lepas dari ideologi atau sistem nilai yang dimiliki para penegak hukum.

Penegakan hukum kasus HAM sejatinya merupakan pencerahan terhadap sisi gelap perjalanan peradaban bangsa suatu negara dan peradaban bangsa manusia. Untuk itu, diperlukan adanya kesadaran kolektif dari stakeholder agar penegakan hukum melalui Pengadilan Ad Hoc dapat berproses secara independen di samping upaya non-penal demi tegaknya martabat bangsa manusia.

Kata genosida pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1994 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan diAmerika Serikat. Kata ini diambil dari bahasa Yunani genos (ras, bangsa atau rakyat) dan bahasa Latin caedere (pembunuhan). Genosida adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap angggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *