BUKAN NIKMAT TAPI ISTIDRAJ

Khazanah

 

 

Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh 

 

“Jika kamu melihat Allah sedang memberikan karunia kesenangan dunia kepada seseorang, sedang orang tersebut masih saja berbuat kemaksiatan, maka ketahuilah, itulah yang dinamakan istidraj.” (HR. Ahmad) 

 

Alkisah, ada seorang kaya yang menjadi kaya sebab caracara yang tidak dikehendaki Allah. Sekian belas tahun kehidupannya tidak tampak satu hal yang berat yang menjadi buah keburukannya. Semuanya tampak “biasa saja”, menyenangkan, dan indah. 

 

Anak gadisnya, satu-satunya, tumbuh menjadi anak yang manis, cerdas, bersinar di rumah, dan menjadi bintang di mana pun dia berada. Tak tampak akibat buruk perbuatan buruk orang kaya tersebut di sisi ini, padahal cara ia mencari kekayaan adalah dengan cara yang haram. 

 

Sang istri semakin tua semakin “enak dilihat”. Usia tua menjadikannya semakin cantik. Ada kan wanita-wanita Indonesia yang kecantikannya “terpelihara”? Tak tampak akibat buruk perbuatan orang kaya tersebut di sisi lain, padahal cara ia mencari kekayaan adalah dengan cara yang haram. 

 

Kesehatan si orang kaya, istri dan anaknya, oke. Tak ada masalah dengan kesehatannya. Soalnya ‘kan, sebagian dari akibat rezeki haram bisa menjadi sebuah penyakit. Tapi mereka ini sehat hingga belasan tahun…tak tampak akibat buruk perbuatan buruk orang kaya tersebut di sisi lain, padahal cara ia mencari kekayaan adalah dengan cara yang haram. 

 

Rumah tangga mereka harmonis, tak tampak akibat buruk perbuatan orang kaya tersebut di sisi lain. Padahal, cara ia mencari kekayaan adalah dengan cara yang haram. 

 

Usaha si orang kaya ini pun semakin menunjukkan kelasnya. Sekian perusahaan baru dilahirkan sebagai kembang usaha, atau anak perusahaan. Vila, rumah kedua, rumah ketiga, deretan kendaraan, semuanya melambangkan kesuksesan yang sedang digenggamnya. Tak tampak akibat perbuatan buruk orang kaya tersebut di sisi lain, padahal cara ia mencari kekayaan adalah dengan cara yang haram. 

 

Begitulah, seolah-olah ia aman dari kemarahan Allah. Tapi benarkah demikian? Bukankah Allah berfirman dalam AlQuran?  

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintupintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am [6]: 44). 

 

Ya, Allah berjanji. Tidak akan ada pelaku keburukan yang “diloloskan” oleh Allah. Tidak ada! Semua akan kena akibat buruk dari perbuatan buruknya. Besar kecilnya, tergantung dari “nilai” perbuatannya sendiri. 

 

Lanjut cerita, di usia anak gadisnya yang ke-18, dikisahkan si anak gadis satu-satunya ini hendak melanjutkan studinya ke luar negeri. Katakanlah, ke Australia. Di sinilah mulai terjadi “akibat buruk” dari si kaya yang membelakangi Allah. Anak gadis satu-satunya itu tiba-tiba menjelma menjadi anak gadis yang rapuh dan layu, sebab sebuah kejadian kelam. 

 

Di malam menjelang keberangkatannya ke Australia, si anak meminta izin kepada ayahnya untuk pamitan juga ke rumah sahabatnya. Sang ayah, si orang kaya haram tersebut sudah melarangnya pergi. Apa katanya? “Nak, sudahlah istirahat saja. Bukankah besok kamu bakal terbang…?” 

Si gadis menolak, “Tidak ayah. Dia sahabat saya. Dan saya harus pamitan langsung….” 

Si ayah memotong, “Mengapa tidak kamu undang saja dia kemari….?” 

“Ah, saya ‘kan mau pamitan kepada keluarganya juga.” 

 

Si ayah pun mengalah. Dipanggilnyalah sopir pribadinya untuk mengantarkan si gadis kesayangannya ke mana dia suka. Sopir ini sudah bekerja di orang kaya tersebut dua tahun sebelum anak gadisnya lahir ke muka bumi. 

 

Sebelumnya dipesankan kepada si anak, “Jangan pulang kelewat malam. Kamu berangkat ‘kan besok early morning….” 

 

Berangkatlah anak gadisnya ini dengan ditemani sang sopir “setia”. Sekali lagi, di sinilah janji Allah terjadi. “Akibat buruk” bukan terjadi pada diri si orang kaya ini, bukan pula pada istrinya, bukan pula pada kesehatannya, bukan pula pada kekayaannya, tapi justru pada diri anak gadisnya. Satu-satunya lagi. 

 

Ditunggu-tunggu, sang gadis pun belum kunjung kembali. Padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Mulailah si orang kaya ini was-was. Apalagi sang istri, ibu dari gadis tersebut, mencoba menghubungi HP si gadis. Namun mailbox. Bertambahlah kekhawatirannya. 

“Yah, cobalah Ayah telepon rumah kawan anak kita tersebut….” pinta sang istri. 

Deg! Si ayah bergetar hebat. Bagaimana dia bisa lupa untuk meminta nomor telepon rumah sahabat yang dituju oleh anaknya? 

Akhirnya, keduanya hanya bisa menunggu pasrah…. 

 

Sampai pukul 24.00 WIB, sang gadis belum pulang juga! Ibunya mulai menangis. Si ayah pun semakin terduduk lemas. Dalam pikiran mereka, tidak mungkin anak mereka belum pulang, kalau tidak ada apa-apa. Tapi mereka menghibur diri dengan pemikiran-pemikiran yang positif, sampai kemudian mereka melaporkan tentang belum pulangnya anak mereka ke kantor kepolisian terdekat. Buat jaga-jaga. 

 

Tepat pukul 08.00 WIB, si gadis pulang. Tapi pulang dengan wajah yang sudah teramat kusut dan diantar oleh dua orang petugas kepolisian. Bingung dan sedih. Itulah pancaran wajah si orang kaya tadi. 

 

Setelah diberitahu hal ihwal kejadiannya oleh petugas polisi tersebut, kebingungan dan kesedihan itu semakin menjadi-jadi, bahkan bertambah dengan kemarahan dan kegeraman. 

Apa pasal….? 

Anak gadis mereka, direnggut kegadisannya, justru oleh sopir mereka! Yang telah ikut bekerja dengan mereka sejak sebelum anak mereka lahir. Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan, kini terjadi pada putri mereka…. 

Bumi serasa berputar, hingga keduanya pingsan sesaat. 

 

Kegeraman si kaya tersebut semakin bertambah saat sopirnya sudah ditemukan dan tertangkap oleh petugas polisi setelah mendapatkan informasi dari si gadis di TKP (Tempat Kejadian Perkara). Si sopir itu pun “dibon”, sebuah istilah ketika seseorang menjadi tahanan. Si ayah membayar kepala kamar tahanan untuk menyiksa si sopir sampai ampun-ampunan. Dan memang, untuk kasus pemerkosaan, kadang memang seorang tahanan diplonco habis-habisan tanpa usah dibon. Apalagi ini dibon oleh ayah si korban. Habislah si sopir. 

 

Namun kepuasannya membon si sopir sebagai pelaku pemerkosaan anak gadisnya hanya singgah sebentar. Apa pasal…? Malamnya, si ayah bermimpi, bahwa dialah yang sesungguhnya memperkosa anaknya sendiri! Mimpi ini berlangsung tujuh hari berturut-turut. Bingunglah dia. Bagaimana mungkin jadi dia yang memerkosa anaknya sendiri…? Bagaimana mungkin dia yang menghancurkan impian anaknya sendiri untuk bisa sekolah di luar negeri…? Tidak mungkin! Tapi di dalam mimpi itu, dengan sangat jelas ia menemukan dirinyalah yang memerkosa anaknya sendiri dan menghancurkannya! Ia juga melihat dalam mimpinya kesedihan dan kemarahan anaknya terhadap dirinya, bukan terhadap sopirnya! Persis seperti di dalam film-film di mana sang korban menaruh dendam kesumat kepada pelaku dan mengalami trauma perkosaan. Dan si ayah melihat dalam mimpi di tujuh malam berturut-turut, sang anak, tatapannya, adalah tatapan penuh dendam dan trauma, justru kepada dirinya sendiri! 

 

Dalam kebingungannya, si ayah lalu bertambah stres, dan akhirnya, dunianya, satu per satu rontok. Si ayah dan si ibu gadis tidak lagi mengurusi perusahaannya, bahkan tidak lagi mengurusi diri mereka sendiri. Kehidupannya amburadul. 

 

Sahabat, jangan terkecoh dengan yang kemewahannya melimpah, namun ia berlaku maksiat. Anda barangkali kerap kali menyaksikan orang yang tidak shalat, tapi usahanya tampak lancar, bisnisnya tampak tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, orang yang tampak taat, rajin ibadah, namun rezekinya tampak “biasa-biasa” saja, bahkan tampak miskin.  

 

Sekali lagi, jangan terkecoh! Pelaku pertama, bukanlah sedang diberi nikmat, namun sedang d-istiraj-kan Allah. Adapun pelaku kedua, ia sedang diuji oleh Allah karena ketaatannya. 

 

Lalu apa istidraj itu? Istidraj adalah penundaan hukuman. Atau bisa juga kebinasaan yang Allah kenakan secara berangsur-angsur sedang orang yang bersangkutan tidak menyadarinya. Sadar-sadar, ia sudah dalam kondisi pingsan dan tidak punya apa lagi!  

 

Rasulullah Saw memberi pandangan tentang istidraj ini “Kalau kamu melihat Allah sedang memberikan karunia kesenagan dunia kepada seseorang, sedang orang tersebut masih saja berbuat kemaksiatan, maka ketahuilah, itulah yang dinamakan istidraj.” 

 

#Syaiful_Anwar

#Fakultas_Ekonomi

#Universitas_Andalas

#Kampus2_Payakumbuh

#Tuhan_Tidak_Pernah_Buta

#Bukan_Nikmat_Tapi_Istidraj

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *