Jendelakaba.com-Indonesia terus menghadapi tantangan besar di era digital, khususnya terkait perlindungan anak dalam bermedia. Arus informasi yang begitu deras, disertai penetrasi internet yang hampir menyentuh seluruh lapisan masyarakat, menghadirkan peluang sekaligus ancaman serius bagi generasi muda.
Diskusi publik bertajuk “Cerdas Bermedia, Aman di Dunia Digital; Ruang Sehat untuk Anak Indonesia” menghadirkan sejumlah tokoh yang menyoroti fenomena ini, mulai dari Anggota Komisi I DPR RI Elnino M. Husein Mohi, praktisi kehumasan sekaligus pakar budaya digital Dr. Rulli Nasrullah, hingga pegiat literasi digital Ronald S. Bidjuni.
Kamis, 04 September 2025 menjadi momentum penting dalam forum tersebut, di mana para pembicara menegaskan urgensi membangun literasi digital yang kokoh, baik di ranah keluarga, sekolah, maupun komunitas masyarakat.
Elnino M. Husein Mohi memaparkan data yang mencengangkan. Menurutnya, lebih dari 220 juta masyarakat Indonesia sudah terhubung dengan internet, dengan sekitar 30 persen di antaranya adalah anak-anak dan remaja. “Ini berarti hampir sepertiga pengguna internet di Indonesia adalah kelompok rentan. Tanpa perlindungan yang kuat, mereka berisiko terekspos konten berbahaya, mulai dari pornografi, kekerasan, hingga propaganda radikalisme,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa literasi digital tidak boleh hanya dipahami sebagai kemampuan mengoperasikan gawai. Lebih dari itu, literasi digital harus mencakup keterampilan berpikir kritis, menjaga keamanan data pribadi, memahami etika berinternet, hingga kemampuan menyaring hoaks. “Anak-anak harus diarahkan bukan hanya sebagai konsumen, tetapi juga produsen konten positif,” tambah Elnino.
Sejalan dengan itu, Dr. Rulli Nasrullah menyoroti fenomena kecanduan gawai di kalangan anak-anak. Ia menyebut sekitar 19 persen anak di Indonesia pernah mengalami kecanduan internet, baik dalam bentuk game online, media sosial, maupun hiburan digital lainnya. Kondisi ini, menurutnya, bisa mengganggu tumbuh kembang anak jika tidak diawasi.
“Banyak orang tua mengeluh anaknya lebih nyaman dengan ponsel dibanding berinteraksi dengan keluarga. Di sinilah pentingnya pendampingan. Orang tua tidak cukup hanya melarang, tetapi harus berdialog dan memberi contoh penggunaan teknologi yang sehat,” tegas Rulli.
Forum ini juga menyinggung peran sekolah dan platform digital. Kurikulum literasi digital dianggap masih belum merata penerapannya, sementara tanggung jawab platform digital dalam menyediakan filter konten ramah anak dinilai masih kurang maksimal.
Meskipun begitu, optimisme tetap muncul. Banyak anak Indonesia yang mampu memanfaatkan ruang digital untuk berkarya positif, misalnya dengan membuat konten edukasi, aplikasi sederhana, hingga kampanye sosial. Para pembicara sepakat, menciptakan ruang digital sehat adalah tanggung jawab bersama, melibatkan pemerintah, keluarga, pendidik, komunitas, hingga industri digital.***