Literasi Digital Jadi Kunci Wujudkan Akses Makanan Sehat yang Merata

Jendelakaba.com-Akses terhadap makanan sehat ternyata tidak hanya bergantung pada ketersediaan pangan dan logistik, tetapi juga pada komunikasi dan literasi informasi. Hal tersebut ditegaskan dalam Forum Diskusi Publik bertajuk “Kolaborasi Digital Wujudkan Akses Makanan Sehat” yang digelar pada Rabu, 03 September 2025, menghadirkan praktisi komunikasi Usman Kansong dan pegiat literasi digital Tomy Ishak.

Dalam pemaparannya, Usman Kansong mengkritisi lemahnya komunikasi publik terkait pangan sehat. Menurut Riskesdas 2023, lebih dari 65% masyarakat tidak memenuhi pola konsumsi gizi seimbang, sementara sekitar 8,4% penduduk masih mengalami kerawanan pangan kronis, khususnya di wilayah 3T. Menurutnya, masalah ini bukan hanya akibat keterbatasan pasokan, melainkan juga rendahnya akses informasi yang benar dan relevan.

“Kampanye gizi selama ini terlalu elitis, penuh istilah teknis, dan jauh dari keseharian masyarakat,” ujar Usman. Ia menekankan bahwa komunikasi digital seharusnya mampu menyampaikan pesan gizi secara inklusif dan interaktif melalui media sosial, podcast, video pendek, bahkan meme yang akrab dengan budaya lokal.

Ia juga menyoroti peran algoritma media sosial yang justru sering memperbesar ruang bagi tren makanan instan, diet ekstrem, hingga hoaks gizi. Karena itu, menurutnya, negara dan platform digital harus bekerja sama memastikan konten pangan sehat mendapat ruang yang lebih besar.

Sementara itu, pegiat literasi digital Tomy Ishak menekankan pentingnya literasi digital sebagai fondasi kolaborasi. Ia menyebut, meski masyarakat semakin terkoneksi dengan internet, tidak semua orang otomatis mendapat informasi yang benar tentang gizi. “Justru misinformasi soal pangan kerap lebih cepat viral ketimbang informasi ilmiah,” ujarnya.

Mengutip data Global Nutrition Report 2024, ia menyebut Indonesia masih menghadapi beban ganda: stunting 21,5% dan obesitas yang meningkat di kalangan remaja. Menurutnya, hal ini terjadi karena masyarakat tidak memiliki literasi yang cukup untuk memilah informasi. Ia mendorong literasi gizi digital diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah, komunitas lokal, hingga kampanye berbasis media.

Tomy juga menekankan peran sektor swasta. Platform e-commerce dan layanan pesan-antar makanan, misalnya, bisa diberi tanggung jawab menandai menu sehat atau memprioritaskan produk pangan lokal bergizi. Bahkan, ia mengusulkan adanya peta literasi pangan digital berbasis wilayah untuk memastikan intervensi lebih tepat sasaran.

“Literasi digital adalah fondasi agar masyarakat bisa memanfaatkan teknologi secara kritis dan aman. Tanpa itu, inovasi pangan digital hanya dinikmati segelintir orang,” katanya.

Diskusi ini akhirnya menegaskan bahwa akses makanan sehat bukan semata soal ketersediaan bahan pangan, melainkan juga soal akses informasi yang benar, komunikasi yang efektif, dan literasi digital yang inklusif. Dengan kolaborasi lintas sektor, forum ini optimistis Indonesia dapat menuju masa depan pangan yang lebih sehat, merata, dan berkelanjutan.***