Kresna Dewanata Phrosakh (Anggota Komisi 1 DPR RI)hadiri webinar Forum Diskusi Publik yang digelar Kominfo RI dengan tema “Lindungi Anak dari Bahaya Predator Digital”

Jendelakaba.com—Kresna Dewanata Phrosakh (Anggota Komisi 1 DPR RI)hadiri webinar Forum Diskusi Publik yang digelar Kominfo RI dengan tema Lindungi Anak dari Bahaya Predator Digitalvia zoom meeting pada Jumat, 22 Maret 2024.

Kresna menyampaikan bahwa bahaya predator anak melalui media online ini sangat luar biasa sekali. Kita tahu sendiri bahwa anak -anak kita sudah tidak bisa dihindari pasti bermain game online, kemudian bermain media sosial, dan tentunya dalam beberapa kegiatan pasti membutuhkan yang namanya internet, baik itu kegiatan di sekolah maupun kegiatan -kegiatan dalam bersosialisasi yang lainnya.

Sebagai orang tua tentunya sangat wajib sekali. Pertama, wajib untuk melihat digital, tentunya literasi digital kita kita harus tingkatkan agar kita tidak tertinggal dengan kemampuan anak kita dalam mengerti terkait dengan masalah di dunia digital. Jadi jangan sampai kita hanya memberikan gadget saja tanpa ada pengawasan maupun kita tidak tahu sebetulnya apa yang dilakukan oleh anak -anak kita di dunia online.

Beliau menjelaskan ketika seperti game online mungkin anak -anak kita hanya terlihat bermain saja tetapi di situ ada fitur terkait dengan chat, kemudian fitur terkait dengan ngobrol, kemudian ada sekali banyaknya fitur -fitur yang mungkin itu juga menjadi pemicu ketika para predator anak ini bisa melihat kegiatan kita. Kemudian kita harus mengajak terkait dengan bagaimana anak -anak kita tidak memiliki jam yang sama dalam bermedia sosial, kemudian bermain game online, tentunya harus secara aja harus kita batasi, kemudian tidak mungkin harus kita samakan terkait dengan waktunya. Yaitu contohnya jika dia hari Senin biasa bermain mulai pukul 3 sore sampai pukul 4 sebelum mereka berangkat ngaji, tentunya harus diajak, tidak boleh. Kadang -kadang juga harus jam 5 sampai jam 6 sebelum sholat maghrib.

Sehingga kegiatan anak -anak kita tidak bisa dideteksi karena untuk memegang gadget anak -anak kita itu secara aja tidak memiliki waktu yang konsisten. Sehingga biasanya predator -predator anak itu melihat perilaku anak -anak atau calon korbannya itu melalui perilakunya yang secara konsisten dilihat dari media sosialnya, kemudian waktu upload -nya, waktu main di media sosialnya, waktu main game -nya.

Yanto, Ph.D. (Pegiat Literasi Digital) salah satu narasumber dalam webinar memaparkan bahwa predator online ini tidak hanya mengincar anak -anak, tetapi juga sebetulnya orang yang sudah dewasa, bahkan parobaya pun juga banyak yang kena korban dengan predator online ini. Dan tidak hanya perempuan, tetapi juga sekarang banyak juga yang tadi sudah disampaikan Pak Ismail juga, dari laki -laki juga banyak yang menjadi korban. Bahkan pelakunya juga macam -macam, dari anak yang dibawa umur, ada yang sudah dewasa, ada yang parobaya, bahkan juga ada yang sudah kita anggap lanjut usia, termasuk juga lagi heboh juga beberapa bulan yang lalu, kasus lagi dilaporkan ya, pelacian rektor, walaupun ini bukan online, tetapi juga terkait dengan kasus keterasan seksual sebetulnya.

Jika kita lihat berikutnya. ternyata memang media sosial, utamanya adalah Facebook dan Instagram, ini sudah menjadi marketplace bagi pelaku predator online. Marketplace artinya ada yang memang menawarkan, dan ada juga yang memang mengkonsumsi seperti itu.Dan dalam hal ini juga terlibat juga dana, jadi ada uang yang bermain di sini. Jika dilihat dari Instagram sekarang sama Facebook yang paling banyak. Jadi banyak sekali kasus -kasus polanya kenalan di media sosial, Instagram atau Facebook, kemudian lanjut interaksi, kemudian terjadilah apa yang disebut hubungan yang cukup intens. Bisa jadi mulai berpacaran, kemudian ketemu secara offline, dan terjadilah berbagai tindakan kejahatan.

Hal ini menjadi perhatian serius sekali, termasuk juga di institusi saya, sudah menjadi konsen semua. Jadi sekarang malah di kampus kami sudah ada sadgas terkait dengan kekerasan tindak sesual, sadgas yang melibatkan banyak elemen, termasuk juga di sini adalah mahasiswa. Kekerasan yang dimaksud di sini bisa jadi bersifat verbal, bisa juga bersifat fisik, bisa juga bersifat non -fisik, misalnya melalui tatapan mata, dan tentunya juga sekarang yang terkait dengan online.

Predator online ini adalah orang yang individu atau orang yang memang menargetkan anak -anak atau remaja, pengguna internet, untuk memuaskan hasrat seksualnya. Jadi kejahatan ini bisa saat online, bisa juga online itu adalah mulainya begitu. Jadi bisa jadi selama kejahatan itu terjadi, si pelaku dan korban itu enggak pernah ketemu sama sekali. Jadi semuanya memang online, dari interaksinya, dari kejahatan yang dilakukan, semuanya online.Termasuk juga misalnya pemerasan secara online, kemudian pornografi secara online, dan sama sekali enggak pernah ketemu. Tetapi banyak juga yang ujung -ujungnya nanti ketemu secara fisik, sehingga dengan ketemu secara fisik ini terjadi berbagai tindakan lain yang dapat berujung pada kejahatan. Seperti misalnya pemerkosaan secara fisik, kemudian termasuk juga pembunuhan, seperti itu dan itu banyak sekali terjadi dan sepertinya dari tahun ke tahun itu juga tidak ada penurunan, bahkan ada peningkatan dari tahun ke tahun

Narasumber lainnya. Dr. Isail Cawidu, M.Si. (Dosen UIN Syarif)juga menambahkan Orang tua tidak memperhatikan kebebasan menggunakan internet bagi anak -anak. Bagi orang tua yang memiliki anak yang aktif di internet, itu wajib hukumnya menerapkan pola yang namanya dengan pertemanan, kalau dia diberi sosial, kemudian pola pemeriksaan konten -konten yang mereka unduh. Kemudian membuat jadwal pengguna internet bagi anak. Kapan menggunakan internet yang terbaik. Kalau hari Sabtu, Minggu di jam berapa. Memang harus diketatkan, kalau nggak diketatkan ya. Ini resikonya. Menyiapkan sarana gadget yang sederhana, tidak perlu yang berlebih -lebihan canggihnya.

Kemudian memastikan orang tua mengetahui pinnya anaknya. Lalu berteman di media sosial, dan mengaktifkan fitur khusus untuk pementauan anak di internet. Kira -kira ini ada beberapa contoh aplikasi yang dapat mengontrol anak -anak di internet. contoh, ada KidMode. Aplikasi ini bisa diandalkan oleh orang tua untuk mengontrol penggunaan gadget anak -anak. Ada fitur khusus di dalamnya, chat dengan keluarga dan dapat diwaktu secara konstan per minggu dan utubu. Ada Kid Place, aplikasi ini juga membatasi penggunaan gadget pada anak memiliki fitur yang dapat mengecek anak mengunduh dan menelod Ada Screen Time Parental Control juga aplikasi Ada Kaka2 Parental Control Ada beberapa lagi.

Pada platformTikTok juga sudah mencantumkan beberapa ketentuan bahwa keamanan anak di bawah umur tentang anak di bawah umur 16 tahun tidak diperbolehkan mengunggah konten Tapi kan anak -anak tidak bisa kalau tidak diawasi, 16 tahun sudah dewasa Kalau 13 tahun sebenarnya persyaratan dari media sosial bahwa anak yang umur di bawah 13 tahun belum boleh menggunakan media sosial Kegiatan atau konten larnaka yang berbahaya ditiru, TikTok akan hapus Kemudian konten yang dapat memberi info keseksualitas dan ketelanjangan tidak diperbolehkan di TikTok Produk tembakau dan alkohol tidak diperbolehkan, Kekerasan dan mengerikan tidak diperbolehkan Konten spam tidak autentik dan tidak menyesatkan Konten yang tidak orsinil dan berkualitas ini keturunan, ketentuan Problem kita adalah apakah ketentuan ini ditahati oleh anak kita Ini persoalan kita Sehingga dengan demikian, sebagai penutup, perlindungan anak di Platon Digital telah diatur secara ketat. Tadi saya sampaikan aturannya, upaya perlindungan anak di Platon Digital harus diikuti dengan pengawasan orang tua. Jadi tidak bisa mengandalkan aturan yang sudah ada. Harus peran orang tua, peran orang terdekat yang harus lebih didahulukan.

Kemudian peningkatan literasi digital bagi anak -anak dan orang tua harus diperlutaskan. Memang ada persoalan juga karena kadang -kadang anaknya lebih pintar dari orang tuanya. Ya, ini fakta juga.Tapi mau nggak mau kalau misalnya sosialisasi seperti ini digalakkan, ya teman -temanlah yang memberikan motivasi pada orang tua supaya dia juga bisa belajar. Kemudian peran masyarakat diharapkan partisipasinya untuk melapor bila menemukan kasus pelanggaran keusilanaan di internet. Jangan diem saja, jangan membiasakan ada sedikit diumpetin, diumpetin. Kalau itu tidak dilakukan, itu tidak akan pernah kita bisa membasmi atau bisa melawan predator anak di internet.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *