TUJUAN SISTEM PERADILAN PIDANA

 

Oleh : Syaiful Anwar

 

Marjono mengemukakan bahwa tujuan dari sistem peradilan pidana adalah mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah diadili, mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak lagi mengulangi perbuatannya.37

Tujuan diadakannya sistem peradilan pidana adalah:

  1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
  2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidanaMengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak lagi mengulanginya.38

Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana dapat dikategorikan sebagai berikut:

  1. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana.
  2. Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal (Criminal Policy).
  3. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (Social Policy).

Sistem Peradilan Pidana yang Terpadu (SPPT) atau Integrated Criminal Justice System (ICJS) merupakan unsur hukum pidana yang sangat penting dalam kerangka penegakan hukum pidana materil. Philip. P. Purpura menyatakan bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan suatu sistem yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat, mengendalikan kejahatan, melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku kejahatan memberikan batasan bersalah atau tidaknya seseorang, memidana pelaku yang bersalah dan melalui komponen sistem secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa Pada dasarnya, asas peradilan yang paling mendasar dari pelaksanaan dan pelayanan administrasi peradilan mengarah pada prinsip dan asas efektif dan efisien adalah asas sederhana, cepat dan murah. Namun demikian, penyelesaian perkara di Pengadilan sangat bergantung pada beberapa faktor yaitu: faktor substansi perkara, faktor pencari keadilan, faktor kuasa hukum, faktor kesiapan alat-alat bukti, faktor sarana dan prasarana, faktor budaya , hukum, faktor komuni- kasi dalam   persidangan, faktor pengaruh dari  luar, faktor aparat pengadilan, faktor hakim, dan faktor manajeman.40 

Walaupun faktor-faktor diatas mempunyai pengaruh, namun pelaksanaan asas sederhana, cepat, murah, masih merupakan faktor yang menentukan dalam pelaksanaan pelayanan administrasi peradilan yang benar-benar sederhana, cepat dan murah.

Sederhana dimaknai bahwa dalam peradilan pidana diharapkan sebagai proses yang tidak bertele-tele, berbeli- belit, tidak berliku-liku, tidak rumit, jelas, lugas, mudah dipahami, mudah diterapkan, sistematis, baik untuk pencari keadilan maupun aparat penegak hukum. Namun dalam praktek nyata, sering kali asas tersebut dipahami secara beragam oleh aparat penegak hukum disemua tingkatan. Pemahaman oleh aparat penegak hukum lebih dimaksudkan sebagai proses birokrasi yang wajib dilalui oleh pencari keadilan, dan dipihak lain aparat penegak hukum mempunyai kewajiban untuk menerapkannya sesuai dengan pemahaman aparat penegak hukum sendiri.

Kesederhanaan seharusnya dipahami tidak sebatas pada persoalan administrasi saja, namun juga harus menjadi jiwa dan semangat motivasi aparat penegak hukum dalam gaya dan pola kehidupan sehari-hari. Konsistensi dan komitmen aparat penegak hukum dalam menjalankan asas sederhana juga harus dimulai dalam diri sendiri, kemudian pada insitusi dalam semua tingkatan (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advokat).

Cepat, dimaknai sebagai upaya strategis untuk menjadikan sistem peradilan pidana sebagai institusi yang dapat menjamin terwujudnya atau tercapainya keadilan dalam penegakan hukum secara cepat oleh pencari keadilan. Baik cepat dalam proses, cepat dalam hasil, dan cepat dalam evaluasi terhadap kinerja dan tingkat produktifitas institusi peradilan (kepolisian, kejakasaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advokat). Satu saja komponen tidak berfungsi maka unsur cepat tidak akan tercapai.41 Kecepatan proses, hasil, dan evaluasi tersebut menggunakan ukuran parameter dari prinsip tepat dan cermat.

Tepat dalam penerapan ketentuan peraturan perundang- undangan yang dipergunakan sebagai dasar yuridis keputusannya (tidak bertentangan dengan asas-asas hukum umum yang berlaku secara universal seperti lex specialis de rogat lex generalis dan lainnya), tepat dalam memilih dan memilah pasal-pasal yang dipergunakan sebagai dasar dalam pertimbangan keputusannya, tepat dalam mengolah dan memahami secara filosofis (bersandar pada nilai-nilai keadilan yang berkembang di masyarakat maupun yang terkandung dalam hukum positif) terhadap keputusannya, tepat dalam menentukan kerangka sosiologis (menjamin rasa keadilan masyarakat, mengembalikan dan menjaga keseimbangan sosial, mempunyai manfaat). Demikian juga tindakan penegak hukum harus cermat, dalam arti mengandung unsur kehati- hatian, ketelitian, kesungguhan, dalam proses, hasil maupun evaluasinya.

Murah, mengandung makna bahwa mencari keadilan melalui lembaga peradilan adalah tidak sekedar orang mempunyai harapan akan jaminan keadilan di dalamnya, tetapi harus ada jaminan bahwa keadilan tidak mahal, keadilan tidak dapat dimaterialisasikan, keadilan mempunyai sifat mandiri dan bebas dari nilai- nilai lain yang dapat mengaburkan nilai keadilan itu sendiri, keadilan tidak dapat diperjualbelikan, keadilan bukan merupakan komoditas, keadilan bukan merupakan kata dengan sejuta pesimisme, keadilan tidak dapat dikuantifikasikan dalam bentuk dan jenis apapun, keadilan adalah kebutuhan dasar bagi manusia yang hidup di dunia secara universal.

Apabila asas sederhana, cepat, murah sebagaimana telah diuraikan diatas menjadi semangat para penegak hukum, maka sistem peradilan pidana yang efektif dan efisien dapat diwujudkan. Persoalan kualifikasi sumber daya manusia yang menjadi penegak hukum dalam hal ini, memang menjadi kendala yang serius. Pembenahan sistem peradilan pidana akhirnya tidak dapat hanya bergantung dalam pemahaman harfiah dari penegak hukum terhadap asas sederhana, cepat, dan murah saja, namun lebih dari itu semua adalah nurani penegak hukum, pencari keadilan, penguasa, legislatif dan sistem yang membingkai institusi peradilan juga menjadi faktor dominan.

Berbagai kendala dan kelemahan yang terjadi, juga tidak diiringi dengan mekanisme pengawasan yang baik dan transparan. Walaupun ada lembaga pengawas, biasanya juga tidak berjalan dengan efektif. Kehadiran lembaga-lembaga pengawas tidak memberikan arti dan makna yang cukup berarti dalam menjamin terwujudnya penegakan hukum. Banyak pengaduan, laporan, dan desakan baik secara demokratis dan tidak jarang dapat mengundang aksi-aksi kekerasan yang dilakukan masyarakat atas ketidakpuasan kinerja lembaga-lembaga pengawas tersebut.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *