Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Rezeki Berlimpah dengan Hijrah
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa [4]: 100)
Simaklah firman Allah di atas! Di sana Allah menjanjikan rezeki yang banyak bagi kita yang mau berhijrah di jalan-Nya. Lewat ayat di atas, Allah telah menjadikan hijrah di jalan-Nya sebagai “terapi ampuh” untuk mendatangkan rezeki. Kalau Anda ingin rezeki Anda melimpah ruah, kalau Anda ingin sukses-kaya, kalau Anda ingin makmur-sejahtera, dan seterusnya, maka saran Allah, berhijrahlah engkau di jalan Allah dengan sungguh-sungguh. Sebab dengan begitu pasti akan engkau peroleh rezeki yang banyak. Jika Allah sendiri yang sudah berjanji, maka itu tidaklah main-main. Janji itu pasti benarnya. Janji itu sudah pasti ditepati oleh-Nya.
Cermatilah ayat di atas! Bukankah di sana terdapat dua janji Allah bagi siapa saja yang mau berhijrah di jalan-Nya. Yaitu, pertama, tempat hijrah yang luas. Itu artinya, banyak kelapangan di sana. Dan kedua, rezeki yang banyak.
Betapa dahsyatnya janji Allah bagi hamba-hamba-Nya yang mau berhijrah di jalan-Nya. “Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah ke negeri lain, maka ia akan mendapatkan di negeri lain itu kebaikan dan kenikmatan yang melimpah. Di mana hal itu akan membuat orang-orang di negara asal yang rajin memusuhinya akan menjadi hina dan tunduk. Sesungguhnya orang yang pergi ke negeri asing jika dia bernasib mujur di negeri itu, dan kabar tentang kemujurannya itu sampai ke negeri asal, tentu para musuhmusuhnya akan malu atas perilakunya yang buruk dan dengan demikian mereka menjadi hina dan tunduk.” Demikian penjelasan Imam Ar-Razi mengenai ayat di atas dalam Tafsir Al-Kabîr.
Bila kita mengikuti pendapat ulama tentang ayat hijrah di atas, maka kita akan semakin mantap dengan janji Allah yang terkandung di dalamnya. Terutama yang berkaitan dengan “sâ’ah”, yang dalam terjemahan ayat di atas diartikan, “tempat hijrah yang luas”.
Menurut jumhûrul ‘ulamâ` (pendapat sebagian besar para ulama), kata “sâ’ah”, berarti kelapangan dalam rezeki. Artinya, Allah menjanjikan kelapangan rezeki bagi orangorang yang mau berhijrah di jalan-Nya. Pendapat tersebut diamini antara lain oleh Abdullah bin Abbas, Ar-Rabi, AdhDhahak dan Atha’.
Selain pendapat di atas, Imam Al-Qurthûbi dalam kitabnya, Tafsîr Al-Qurthûbi, menyebutkan dua pen-dapat ulama mengenai arti kata, “sa’ah”. Pertama, menurut Imam Qatadah, arti “sa’ah” adalah kelapangan dari tersesat kepada petunjuk, dan dari kemiskinan kepada kekayaan.” Kedua, menurut Imam Malik, arti “sâ’ah” adalah negeri yang luas.
Dari beberapa pendapat di atas, Imam Al-Qurthûbi memberikan catatan, bahwa pendapat Imam Malik-lah yang lebih mendekati. Karena, kata Al-Qurthûbi, dengan luasnya negeri dan banyaknya penghasilan, otomatis akan menyebabkan rezeki berlimpah, hati lapang, dan akan mendatangkan kelapangan-kelapangan lain dalam bentuk pertolongan Allah yang tak terduga.
Dari pendapat manapun yang akan kita ambil, kita akan mendapati kesamaan, bahwa orang yang berhijrah di jalan Allah pasti akan memeroleh janji Allah berupa kemelimpahan rezeki. Entah itu secara langsung maupun tidak langsung. Entah itu secara terduga maupun dalam waktu sedikit lambat. Entah itu di dunia maupun di akhirat. Begitu seterusnya. Gampangnya, orang yang berhijrah di jalan Allah, pasti akan melimpah rezekinya. Itulah janji Allah. Dan ingat, Allah pasti menepati janji-janji-Nya!
Sesungguhnya, secara real Allah telah membuktikan kebenaran janji-Nya bagi orang yang berhijrah di jalan-Nya. Ingatkah Anda bagaimana keadaan para pengikut Rasulullah sebelum dan sesudah beliau hijrah ke Madinah?
Saat di Mekah. Kala pertama kali Islam dibawa
Rasulullah dengan segelintir pemeluk, saat itu pula Rasulullah dan segelintir para pengikutnya dimusuhi habishabisan oleh kaum kafir Quraisy. Mereka diancam akan dibunuh dan dicincang hidup-hidup. Mereka diboikot dalam perniagaan. Logistik mereka diembargo oleh kaum kafir Quraisy. Tak hanya itu, seluruh pengikut Rasulullah saat itu benar-benar dalam kondisi susah tak memiliki apa-apa. Kedudukan, kekuasaan dan kehormatan sudah direbut dan ditelanjangi habis-habisan oleh kaum kafir Quraisy. Mereka tidak bisa berbuat banyak, selain memas-rahkan seluruh nasib dan keberlangsungan hidup mereka hanya kepada Allah .
Hingga akhirnya, Rasulullah mendapat perintah dari Allah untuk hijrah ke Madinah. Maka Rasulullah dan seluruh pengikutnya yang segelintir itu pun menuruti perintah Allah. Mereka tinggalkan rumah dan kampung halaman mereka. Mereka kumpulkan sisa-sisa kekayaan yang mereka miliki untuk diinfakkan dalam jalan Allah. Mereka hijrah tidak hanya secara tempat dari Mekah ke Madinah, tapi juga mereka hijrah secara iman dan mental, dari iman yang biasabiasa menjadi lebih yakin dan mantap dengan jalan Allah. Dari mental sayang terhadap harta ke menyerahkan seluruh sisa-sisa harta yang dimiliki di jalan Allah. Mereka hijrah di jalan Allah dengan sangat total, jiwa, raga, dan harta.
Benarlah janji Allah. Ketika mereka benar-benar hijrah di jalan Allah, maka Allah semakin melimpahkan rezeki kepada mereka. Di Madinah kehidupan dan dakwah mereka semakin membesar. Resonansi dan pengaruh mereka dari hari ke hari semakin tak terbendung. Kesuksesan, kemakmuran, keberhasilan, dan kejayaan mereka tersiar juga akhirnya ke Makkah, ke orang-orang kafir Quraisy yang dulu gemar memusuhi mereka.
Dan sebagaimana kita ketahui, akhirnya orang-orang kafir Quraisy Makkah yang dulu memusuhi mereka, pada akhirnya takluk pada Rasulullah dan para pengikutnya yang dulu hanya segelintir orang, dengan ditandai oleh peristiwa “Fathu Makkah”, terbukanya kota Mekah. Orang-orang kafir Quraisy yang dulu tak mau mengakui eksistensi Rasulullah dan para pengikutnya, sejak itu terpaksa dan dipaksa mengakui eksistensi Rasulullah dan para pengikut-nya. Dan akhirnya mereka benar-benar mengakui eksistensi Rasulullah dan para pengikutnya dengan legawa, tanpa rasa terpaksa atau dipaksa.
Tak hanya itu, sejarah juga mencatat, bahwa Allah telah memberikan yang lebih dahsyat lagi dari itu semua. Allah berikan kepada Rasulullah dan para pengikutnya kunci-kunci kerajaan Romawi dan Persi. Belahan bumi yang ada di Timur dan di Barat dilipat oleh Allah dalam genggaman Rasulullah dan para pengikutnya. Allah telah membukakan untuk mereka pintu-pintu kemenangan.
Inilah kebenaran janji Allah dalam “ayat hijrah” di atas. Oleh karenanya, dalam mengomentari “ayat hijrah” di atas, Imam Ar-Razi dalam Tafsir Al-Kabîr berkata, “Wahai manusia, apakah terbesit dalam hatimu perasaan takut jatuh miskin sewaktu di perjalanan, manakala kamu meninggalkan kampung halamanmu karena berhijrah di jalan Allah, janganlah kamu takut! Sesungguhnya Allah akan memberikan kepadamu kenikmatan yang besar, manakala kamu berhijrah. Dan sesungguhnya hijrah di jalan Allah itu akan menjadi sebab bagi tertunduknya musuh-musuhmu dan menjadi sebab lapangnya rezeki dan kehidupanmu.” Baiklah. Sejak tadi kita menyebut kata-kata “hijrah di jalan Allah”, tapi belum disampaikan apa yang dimaksud dengan hijrah di jalan Allah?
Imam Raghib Al-Isfahani dalam kitab Mufradât fi Gharîbil Qur`an punya jawaban menarik tentang arti hijrah di jalan Allah. Katanya, hijrah di jalan Allah adalah keluar dari kampung kekufuran kepada kampung iman, sebagaimana hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah.
Nyaris senada dengan Al-Isfahani, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, memberikan pengertian yang lebih luas. Menurutnya, yang dimaksud hijrah di jalan Allah adalah usaha keras seseorang untuk mencari ridha Allah dengan menegakkan agama-Nya, sehingga Allah akan menolong orang-orang yang mencari ridha-Nya itu dari segala bahaya yang ditimbulkan oleh orang-orang kafir.
Merujuk pada pengertian di atas, sesungguhnya hijrah di jalan Allah mengandung makna utama: perpindahan kita dari kekufuran menuju keimanan untuk memeroleh ridha
Allah. Dalam pengertian ini, inti hijrah adalah iman. Inti hijrah adalah ridha Allah. Siapapun yang melakukan perjalanan menuju iman, menuju ridha Allah, maka dia sesungguhnya telah melakukan hijrah di jalan Allah.
Karena itu, jika kita tadinya tidak beriman kemudian menjadi beriman, maka kita telah berhijrah di jalan Allah. Jika kita tadinya suka berbuat kemaksiatan kemudian bertaubat dan suka berbuat kesalehan karena mencari ridha Allah, maka kita telah berhijrah di jalan Allah. Jika kita tadinya suka menyakiti orang lain kemudian suka menolong orang lain karena mencari ridha Allah, maka kita telah berhijrah di jalan Allah. Itulah inti hijrah.
Meski demikian, hijrah di jalan Allah akan sempurna dengan lebih baik dibarengi dengan hijrah secara fisik seperti yang dilakukan Rasulullah, yang hijrah fisik dari Mekah menuju Madinah. Sebab, itulah yang dicontohkan Rasulullah kepada kita.
Dan hijrah secara fisik sebagaimana dicontohkan Rasulullah itu bila kita praktikkan, pasti mujarab dan ampuh. Allah pasti menjamin rezeki kita dengan melimpah ruah. Allah pasti menolong kita. Allah menyukseskan kita, mengangkat derajat kita ke tempat yang mulia dan tinggi, begitu seterusnya. Pasti.
Dan Mereka Telah Membuktikan Keampuhannya
Mungkin di antara Anda sekalian masih ada yang bergumam tidak memercayai keampuhan hijrah sebagai pendatang rezeki dan pengubah nasib, meskipun sudah saya paparkan bukti kesuksesan Rasulullah dan para pengikutnya di atas. “Ah, itu kan Rasulullah. Dia itu kan disayang Allah. Lha kita ini siapa?” batin Anda protes. Baiklah kalau begitu akan saya sajikan beberapa kisah nyata tentang keampuhan rezeki.
-
Hijrah “Berteman” Keyakinan
Ini adalah kisah tentang anak muda yang semakin sukses dan berjaya setelah berhijrah di jalan Allah. Kisah tentang anak muda yang hanya bermodal keyakinan pada Allah Swt., keluar dari kampung halamannya menuju daerah transmigrasi untuk mendirikan pesantren karena Allah Swt., dan luar biasanya ia terbukti sukses. Kisah orang-orang yang yakin bahwa siapa yang menolong agama Allah, maka Allah pasti menolongnya, dan siapa yang berhijrah di jalan Allah, Allah pasti menolongnya.
Ustadz Bahari A. Khalil, alumnus Madrasah Aliyah Balikpapan (Kalimantan Timur), beberapa tahun yang lalu merintis cabang baru Pesantren Hidayatullah Parimo, Sulawesi Tengah.
Pria kelahiran Sambas (Kalimantan Barat) ini sebelumnya nyantri di Pesantren Hidayatullah Depok (Jabar). Beberapa tahun di Depok, jiwa petualangan-nya muncul dan semangat dakwahnya bergejolak. Ia ingin mencoba tantangan baru.
Bahari memilih Desa Tinombala, Kabupaten Parimo. Ia sendirian, hanya “berteman” keyakinan kepada Allah. Sementara istrinya, Istifadah–yang dinikahinya tahun 2000 saat pernikahan barakah 47 pasang di Hidayatullah Balikpapan–bersama empat anaknya masih tinggal di Depok.
Mulailah perjuangan Bahari di daerah transmigrasi, yang sebagian penduduknya berkebun dan bertani. Saban hari berjalan dari satu kampung ke kampung lain untuk menyampaikan maksud kedatangannya, yakni membuka cabang Pesantren Hidayatullah.
Sudah menjadi sunatullah, jalan dakwah tak selama-nya mulus. Saat itu seolah tak ada masyarakat yang peduli. Bahkan, Bahari dicurigai membawa ajaran baru. Ia ingat betul ada warga Tinombala yang sempat berkomentar begini, “Kok mau-maunya ke sini. Di Jakarta kan enak, di sini tempatnya jin.”
Bahari tak surut langkah. Ia pegang teguh nasihat Allâhu Yarham, Ustadz Abdullah Said, pendiri Hidayatullah. “Allah yang ada di Kalimantan, sama juga dengan Allah yang ada di Irian (Papua).”
Setiap harinya, ia menetap di mushalla Al-Falah Tinombala. Di tempat ini pula ia mulai mengajar anak-anak mengaji. Tak lupa berdoa setiap waktu agar Allah Swt. menolongnya. Ia yakin dengan janji-Nya, yakni barangsiapa yang menolong agama-Nya, niscaya akan Dia bantu.”
Lambat laun kepercayaan masyarakat mulai tampak. Setelah sebulan berlalu, seorang tokoh masyarakat Desa Tinombala, H. Damanhuri bin Mahrus, mewakaf-kan tanah seluas ½ hektar untuk dijadikan Pesantren Hidayatullah Cabang Tinombala. Allâhu Akbar!
Alhamdulillâh, pada 14 April 2007, Bupati Parimo, Longki Djanggola, sudah meletakkan batu pertama pembangunan Pesantren Hidayatullah Cabang Tinombala. Acara tersebut dihadiri oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (Parimo), Kepala Kantor Kementrian Agama, Kepala Dinas Pendidikan Nasional, pejabat di lingkungan Dinas Sosial, serta tokohtokoh masya-rakat.
Longki Djanggola berpesan kepada para pengurus agar lebih giat dan bekerja keras untuk mewujudkan cita-citanya.” Banyaklah bersilaturahmi, baik dengan dinas terkait maupun masyarakat. Saya mendukung usaha mulia ini,” ujarnya.
“Saya mendukung kehadiran Hidayatullah karena di sini belum ada pesantren,” ujar Thoyib, Kepala Desa Tinombala.
Di Tinombala, Ustadz Bahari dibantu dua alumnus Madrasah Aliyah Hidayatullah Depok, yakni Komarud-din dan Junaidi. Mereka diamanahi mengelola dan mengajar di
TK/TPA Al-Falah, yang saat itu mem-punyai 75 santri. Tempat ini sekaligus menjadi kantor Pesantren Hidayatullah. Ada lagi beberapa ustadz muda yang tinggal di bangunan sederhana 7 x 6 m² di lokasi tanah wakaf.
-
Ikut Transmigrasi, dan Sukses
Ia adalah anak muda dengan tekad membaja. Saat itu usianya baru 20 tahun. Ia tamatan PGA (Pendidikan Guru Agama). Pada usia yang masih sangat muda itu ia berani hijrah dari Garut, Jawa Barat, ke Transmigrasi Koto Bangun, Kapur IX, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Keputusan hijrahnya diawali karena ‘sakit hatinya’disebabkan karena ia tidak bisa kuliah di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung (UIN Bandung), padahal ia satu-satunya di Kecamatan yang lulus tes di perguruan tinggi tersebut. Ia tidak bisa kuliah karena terkendala dari biaya.
Ia sangat terpukul dengan kondisi tersebut. Orangtuanya yang seorang petani, sempat meminjam uang ke keluarga dari pihak ibunya yang terbilang mampu, namun bukan pinjaman uang yang keluar, tapi justru kata-kata yang menyakitkan yang diterimanya, “Ulah ngarawu ku siku.” Peribahasa Sunda yang berarti, kalau tidak mampu (miskin) jangan memaksakan diri untuk kuliah. Ukur bayang-bayang!
Rasa sakit hati bercampur dengan rasa sedih. Kondisi dan kata-kata dari pamannya itu membuat emosi membludak. Ia nyaris stres. Namun, karena dasar agamanya masih ada, ia pun segera menenangkan diri dengan pergi ke rumah bibinya satu lagi yang baik hati. Rumah bibinya itu letaknya bersebelahan dengan kampung kelahirannya. Di kampung inilah ia selama lebih dari satu bulan mengobati jiwanya dengan aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan. Ia ikut Sepmi (Serikat Pelajar Muslim Indonesia), karena ajakan temannya. Rupanya, inilah cara Allah mengubah nasibnya. Saat itu, ia mendengar ada orang kampung tersebut hendak transmigrasi ke Padang, Sumatera Barat. Tanpa berpikir panjang, ia pun ikut transmigrasi bersama rombongan tersebut.
Menjelang keberangkatan ke Sumatera, ia pun me-minta izin kepada orangtuanya. Ayahnya meng-izinkannya, sedangkan ibunya sempat keberatan dengan niat anaknya itu. Bagaimana tidak, ketika itu usia si pemuda ini masih sangat muda, sekitar 20 tahun. Dan sang ibu sangat mengkhawatirkan kondisinya. Namun, dengan keyakinan yang teguh dan meyakinkan ibunya, akhirnya si pemuda ini diizinkan untuk berangkat ke Padang. Berangkatlah si pemuda ini ke Padang bersama rombongan transmigran. Ia berangkat mengikuti paman angkatnya bernama Kondong Sanusi. Setiba-nya di Jakarta, ia dan rombongan transmigran naik kapal laut menuju pantai Padang. Tiga hari tiga malam perjalanan ditempuhnya. Saat itu, gelom-bang laut begitu dahsyat. Ia dan rombongan transmigran serta penumpang lainnya nyaris saja ditenggelamkan oleh ombak tersebut. Namun, gemuruh takbir itu seketika bisa menghentikan arus ombak yang dahsyat. Kapal pun bisa stabil kembali. Dan sampailah kapal laut tersebut di pantai Padang.
Sesampainya di Padang, para transmigran termasuk si pemuda ini naik mobil menuju lokasi transmigrasi, tepatnya Trans. Koto Bangun, Kec. di Kapur IX, Kabupaten Lima Puluh Kota. Perjalanan berjam-jam ditempuh dengan kelelahan yang luar biasa. Akhirnya, sampai jualah di daerah transmigrasi yang dikelilingi oleh kebun yang nyaris sebuah hutan. Si pemuda yang berpendidikan ini hanya betah dua hari di Trans. Koto Bangun itu. Ia memang tidak bisa bertani layaknya para transmigran lain. Ia pun keluar dari daerah Trans menuju kampung sebelah, yaitu di Kampung Baru. Berbekal bahasa Indonesia, ia pun menyambangi sebuah kedai. Sekadar berbasa-basi ia membeli makanan di kedai tersebut. Saat orang lain bertanya dari mana asalnya, ia pun dengan jujur bahwa ia berasal dari Garut, Jawa Barat. Dan saat ditanya pendidikannya, ia pun mengatakan bahwa ia adalah alumni PGA Garut.
Si pemuda ini memang lihai dalam berkomunikasi dan pandai dalam bergaul. Pembicaraannya menarik perhatian. Hingga ada salah seorang tokoh masya-rakat yang mengajaknya ke rumah. Saat itulah, si bapak tersebut menelisik secara total latar belakang si pemuda ini. Ia pun menyimpulkan, bahwa si pemuda ini memiliki kemampuan bicara yang bagus.
“Nak, bisa kan berceramah atau khutbah Jum’at?”
Tanya si bapak itu.
“Insyâ Allâh bisa pak.” Jawab si pemuda tersebut mantap.
“Kalau begitu, Jum’at besok kamu yang menjadi khatib ya.”
“Baik, Pak. Insyâ Allâh siap!”
Jum’at depan tiba. Tibalah saatnya si pemuda ini menjadi khatib di masjid Kampung Baru. Tak diduga, si pemuda ini menyampaikan khutbah dengan lugas, sistematis, dan menarik. Para jamaah yang hadir pun berdecak kagum.
Selepas Jum’at, ia menjadi buah bibir. Banyak yang menyalami dan berkenalan dengannya. Hingga jadilah ia dai muda yang tersohor di kampung itu. Si bapak yang menyuruh khutbah pun berdecak kagum. Ia pun mengangkat si dai muda ini sebagai anak angkatnya, yang diketahui oleh orang sekampung. Kebetulan, si bapak ini belum memiliki keturunan. Sudah puluhan tahun nikah, tapi anak belum juga kunjung tiba.
Ceritanya tidak sampai di sini. Si bapak ini rupanya punya teman di Muara Paiti. Temannya itu adalah seorang Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) yang dikenal baik oleh masyarakat. Temannya ini pernah menjadi KUA Teladan Sumatera Barat, sebuah prestasi yang fantastis. Lalu, si bapak ini berniat mem-perkenalkan si dai muda ini ke temannya tersebut. Ia pun lalu membawa si dai muda ini ke Muara Paiti, barangkali ada peluang kerja sebagai tambahan kegiatan bagi si dai muda ini.
Dipertemukanlah si pemuda ini dengan Kepala KUA tersebut. Ternyata ada lowongan kerja buat si dai muda ini. Luar biasanya, Kepala KUA bukan hanya memberikan peluang kerja, tapi justru menawarkan si dai muda ini agar sekalian tinggal di rumahnya, supaya dekat ke tempat kerjanya. Ia sempat berpikir karena rasa segan terhadap jasa si bapak yang telah banyak jasanya selama di Kampung Baru. Namun, dengan lapang dada dan penuh kegembiraan, si bapak mengizinkan si dai muda ini tinggal bersama temannya, Kepala KUA itu.
Jadilah si dai muda ini tinggal bersama bapak Kepala KUA itu. Kepala KUA itu memiliki tiga orang anak. Kini si dai muda ini menjadi anak tertuanya. Ia jadi anak angkatnya, sebagai pembimbing bagi anak-anaknya yang masih remaja.
Kepiawaian si dai muda dalam bergaul dengan masyarakat banyak disukai tua dan muda. Bahkan tidak sedikit para gadis yang tertambat hatinya. Ia sempat mau menikah, namun gagal karena pihak keluarga si istri tidak setuju dengan alasan bahwa si dai pemuda ini belum PNS. Rasa sedih sempat menghampiri. Namun si dai muda ini sadar bahwa inilah karunia Allah kepada diri-Nya bahwa perempuan itu bukan jodohnya yang terbaik menurut Allah.
Rupanya ‘hinaan’ calon mertuanya yang tidak jadi itu menjadi motivasi bagi dirinya. Setiap kali ada tes CPNS dia ikut. Namun, berkali-kali belum juga ditakdirkan lulus. Hingga suatu ketika saat ia sudah tidak menginginkan lagi jadi pegawai, ada tes CPNS. Ia sudah tidak mau ikut lagi. Namun, ia setengah dipaksa oleh ayah angkatnya. Akhirnya ia pun ikut, dan ternyata ini menjadi rezekinya. Ia lulus sebagai CPNS. Ia pun mengikuti Prajabatan di Padang. Ia pun lulus total, hingga resmilah ia menjadi PNS sebagai Guru Agama SD di Trans. Koto Bangun, tempat pertama kali ia menginjakkan kaki bersama rombongan transmigrasi.
Berita bahagia itu ia sampaikan ke orangtuanya di kampung, terutama ibunya. Ibunya sangat senang mendengar kabar bahagia itu. Kini kecemasan hilang sudah dalam hati sang ibu. Setelah lulus, si dai muda yang kini menjadi guru menyempatkan diri pulang ke Garut menemui orangtuanya. Ia kini menjadi buah bibir di kampungnya. Dulu, orangorang yang menghinanya, termasuk bibinya, sudah malu akan kesuksesannya.
Benarlah kiranya, ketika hijrah dibarengi dengan keyakinan akan jaminan rezeki dari Allah, maka Allah pun akan menyukseskan, mencukupkan, dan bahkan melimpahkan rezekinya. Sejatinya masih panjang kisah sukses si pemuda tersebut, namun di buku ini hanya inti saja yang disampaikan. Kisah sukses dan ujian hidupnya akan diceritakan secara panjang dalam novel yang saya buat yang berjudul From West to West.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#7_Hukum_Kekayaan
#Totalitas_Hijrah