Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
“Manusia menjadi bebas dari suatu harapan yang tak diperolehnya, bersamaan dengan itu ia telah menjadi budak bagi apa saja yang ia begitu rakus dan tamak kepadanya.” (Syaikh Ibnu Athaillah)
Beberapa waktu yang lalu, di Afrika Selatan hidup seorang petani yang memiliki sebidang tanah pertanian. Pada awalnya, lahan tersebut sangat produktif dan menghasilkan. Namun, karena sifat dasar manusia mudah tergiur untuk mendapatkan kekayaaan banyak secara instan, ia pun mulai berpaling. Suatu hari, tersiar kabar bahwa beberapa puluh kilometer dari tempat tinggalnya ditemukan harta karun berupa biji emas. Masyarakat di daerah tersebut berbondong-bondong memburu daerah tersebut, termasuk sang petani. Bijih emas tersebut memang ada, namun tidak banyak. Hal ini cukup membuat sang petani dan beberapa kelompok masyarakat di sana penasaran.
Mengingat perjalanan untuk memburu harta karun membutuhkan biaya maka sang petani untuk menjual ladangnya kepada orang lain. Biaya hasil penjualan ladangnya tersebut digunakan untuk hidup di area penambangan bijih emas. Setelah sekian lama mencoba mendulang emas, ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Bijih emas yang pernah diperolehnya adalah emas muda dan itu pun tidak seberapa. Sang petani mulai kecewa dan putus asa. Tabungan hasil penjualan ladangnya semakin hari semakin menipis. Pada suatu hari, dalam keadaan putus asa, ia “linglung” dan terjatuh ke sungai yang arusnya deras hingga mati tenggelam.
Sementara itu, orang yang membeli ladang si petani awalnya tidak terlalu serius untuk menggarap ladang yang telah dibelinya. Ia berpikir untuk investasi masa depan saja. Hingga pada suatu hari, ketika sedang membersihkan ladang yang baru dibelinya tersebut, ia menemukan sebuah batu yang berkilatkilat. Penemuan ini membuat tanda tanya besar baginya, “Batu apakah ini? Mungkinkah berlian?”
Potongan batu tersebut kemudian dibawa ke tukang perhiasan di kota. Hasil analisis tukang perhiasan tersebut membuat ia tercengang tak percaya. Batu berkilat itu ternyata berlian dengan mutu tinggi. Secara diam-diam, ia mengumpulkan batu-batu yang ada di ladangnya dengan sedikit menggali dan menemukan berlian-berlian yang sangat banyak. Dalam waktu singkat, sang pembeli ladang petani tersebut menjadi kaya raya dan memiliki ratusan potongan berlian bermutu tinggi. Si petani yang menjual ladangya tidak menyadari bahwa selama ini ia telah “tidur dan bekerja” di atas tanah yang banyak berliannya.
Rasa tidak puas dan selalu merasa tidak cukup, apalagi didorong oleh keinginan yang kuat dalam mendapatkan sesuatu secara instan, terkadang membuat tindakan yang dilakukan tidak melalui pertimbangan moral yang kuat. Semua proses yang konsisten dengan memerhatikan aspek moral dalam upaya mengumpulkan sedikit demi sedikit harta, baik harta kekayaan itu digunakan untuk kebahagiaan keluarga maupun untuk berbagi dengan sesama.
Seorang filsuf, dalam ceramah spiritualnya, pernah mengemukakan anekdot dengan cara yang sedikit kocak dan menggelitik tentang seorang pekerja. Waktu sang pekerja baru masuk (mungkin masih calon pegawai/karyawan percobaan), pertanyaan sehari-harinya, “Hari ini kita makan apa, ya?” Ketika ia sudah diangkat menjadi karyawan tetap dan dipercaya memegang beberapa proyek, pertanyaannya berkembang, “Hari ini kita makan di mana, nih?” Lalu, ketika ia sudah menduduki jabatan puncak dan strategis, pertanyaan pun berkembang lagi, “Hari ini dengan siapa kita makan?”
“Cukupkanlah apa yang ada padamu!” Demikian bunyi sebuah tulisan yang indah. Definisi “cukup” ini sangat relatif. Bahkan, dalam perbincangan di kantin kerapkali definisi “cukup” ini diplesetkan atau dijadikan bahan tertawaan. Misalnya, jika ingin mengganti rumah harus cukup uangnya, kalau mau membelikan mobil untuk tiap anak harus cukup pula uangnya, dan kalau mau jalan-jalan ke luar negeri cukup uangnya, dan lain-lain.
Satu definisi yang menyentuh nurani mengenai definisi “cukup” ini adalah ketika ‘tangan terangkat ke atas dan kepala tengadah kepada Sang Pencipta untuk mengucap syukur, serta kaki yang melangkah untuk berbagi kepada sesama’. Di situlah definsi “cukup” memiliki arti yang sesungguhnya.
Melakukan investasi masa depan tidaklah salah. Tidak ada satu kitab suci pun yang melarang untuk menjadi orang kaya. Justru bagaimana cara yang benar dalam memeroleh kekayaan itu harus dijadikan fokus utama. Jika kita memeroleh kekayaan dengan cara-cara yang tidak benar, pada akhirnya akan habis juga dengan cara bagaimana kita memerolehnya. Setelah memilikinya, lebih baik kita berbagi dan memberikan kesempatan pada orang lain untuk bersukacita bersama atas apa yang kita miliki.
Tidaklah mengherankan jika diamati fenomena masyarakat yang ada saat ini. Mereka yang banyak harta, namun sulit sekali untuk membagikan apa yang dimilikinya. Mereka terlihat murung, takut (was-was), dan tidak ceria dengan harta yang dimilikinya. Namun, mereka yang menganggap bahwa apa yang dimilikinya saat ini adalah titipan Ilahi, akan terdorong untuk berbagi kasih dan member sehingga kehidupannya akan terlihat tenang, nyaman, dan penuh suka cita.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Tuhan_Tidak_Pernah_Buta
#Tamak_Itu_Menghancurkan
When do you think this Real Estate market will go back up? Or is it still too early to tell? We are seeing a lot of housing foreclosures in Casselberry Florida What about you? We would love to get your feedback on this