Oleh : Syaiful Anwar
Richard Evelyn Bird adalah seorang ahli ekspedisi Amerika. Ketika masih menjadi siswa, sebelah kakinya cacat akibat bermain sepakbola.
Sesudah menjabat berbagai macam jabatan penting, ia mengorbankan sebagian besar akhir hayatnya untuk pekerjaan-pekerjaan ilmiah ke tempat-tempat yang berbahaya.
Pada tahun 1983 ia mengarang sebuah buku yang berjudul “Alone”„sendirian‟. Dalam buku tersebut dikisahkan pengalamnnya yang getir selama lima bulan hidup seorang diri dalam gubuk yang tertimbun dengan endapan es di daerah Kutub Selatan. Taufan salju mengamuk di atas gubuknya, suhu turun sampai 82 F derajat dibawah 0°.
Segalanya benar-benar gelap di sekitar kami. Sementara itu, jiwanya terancam dan teracuni oleh uap yang keluar dari api batu bara melalui alat pemanas tubuh (sove) yang ia gunakan. Dia sering kehilangan kesadaran selama berjam-jam setelah kehilangan napas.
Kesehatannya memburuk hingga dia tidak bisa makan, tidur, atau bahkan bergerak dari tempat tidurnya. Ia sering membayangkan dirinya terkubur dalam selimut salju tebal setelah meninggal dunia sebelum fajar. Dalam beberapa bulan, mustahil menempuh sisa 123 kilometer untuk mendapatkan bantuan terdekat. dimana pikiran bergerak dalam orbit yang teratur. Saat matahari terbit kembali, ia akan menerangi wilayah Kutub Selatan yang gelap tempat ia menyaksikan matahari terbenam.
Pada saat putus asa, dia berpikir ada kekuatan yang lebih besar dari dirinya yang bisa memberinya bantuan. Dia menulis dalam buku hariannya, “Ada kehidupan di luar Bumi.”
Setiap saat dia memanjatkan doa kepada Tuhan. Tuhan memberikan bantuan karena permohonannya yang terus-menerus. Lambat laun, lingkungan dan iklim kembali seperti semula. sedemikian rupa sehingga dia pada akhirnya dapat menghindari risiko kematian.
Penulisannya atas novel “Alone” terinspirasi oleh pengalaman ini. Dampak dan intensitas doa selalu memberikan manfaat bagi manusia di saat-saat kecemasan, demikian kesimpulan buku tersebut.