Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
“Sadar karena musibah, lebih baik daripada nikmat yang membuat kita tak sadar” (Abdul Hakim El Hamidy)
Musibah itu, entah bernama kematian, sakit, kehilangan harta benda, difitnah, dan sebagainya akan memberikan kesadaran dan bahkan inspirasi untuk bertahan, bekerja keras, dan bersabar, serta menjadi jalan menuju kemapanan dan kehidupan yang lebih baik. Nila, adalah contohnya. Nenek berusia 70 tahun itu, dalam segala keterbatasannya tetap berusaha bertahan hidup bersama putranya yang buta, Feri, 45 tahun, setelah musibah beruntun yang menimpanya 39 tahun silam.
Semula, kehidupan Nila dan suami beserta empat orang anaknya yang tinggal di Kenagarian Guguk, Kabupaten Lima Puluh Kota, memang berkecukupan. Namun, kehidupannya lantas terasa payah ketika pendapatan yang diperolehnya bersama suami dari hasil pertanian, mulai digerogoti untuk biaya pengobatan anak-anaknya yang ditimpa sakit. Akan tetapi, tiga adik Feri justru meninggal satu persatu.
Penderitaan Nila bertambah berat di saat suaminya juga meninggal dunia, kala ia masih berumur 31 tahun. Sejak itu mulailah babak baru dalam kehidupannya. Tapi rasa pilu belum juga hendak beranjak ketika setahun kemudian, Feri, anak satusatunya menderita penyakit campak berat.
Setelah coba diobati, ternyata penyakit campak yang dialami anak itu telah akut. Disela-sela harus mencari kebutuhan sehari-hari, Nila mesti memikirkan biaya berobat Feri. Akibatnya, Feri merasakan penderitaan yang tak hentihentinya. Sampai ia harus mengalami kebutaan. Meskipun pahit, namun kehidupan Nila tetap berjalan terus. Nila mengajari Feri untuk tetap berjuang menghadapi sisa-sisa hidup.
Nila sadar, dengan kondisi itu, bahwa betapapun beratnya ia harus bertahan. Ia pun memulai segalanya dengan membuat sapu lidi, pekerjaan yang dulu hanya sekedar sambilan. Akirnya, Nila sendiri yang mencari pohon-pohon kelapa yang dapat diambil lidinya. Tapi, karena penyakit asam urat yang dideritanya, ia akhirnya lumpuh. Namun ia tidak berhenti, ia dan anaknya tetap terus berjuang dan sabar dengan apa yang terjadi. Keduanya tetap bertawakal, tetap bekerja tanpa menyandarkan nasib kepada orang lain. Berpantang untuk mengemis.
Meski tak dapat melihat, ternyata Feri bisa bekerja untuk menghidupi diri dan ibunya. Sapu lidi tersebut mereka jual berkeliling pasar-pasar, dari satu tempat ke tempat yang lain. Tidak jarang Feri harus menggendong ibunya untuk sampai di pasar. Ibunya yang memandu arah jalan dari gendongan Feri.
Tidak kuat seperti itu, Feri akhirnya membuat gerobak dari kayu. Dia menarik gerobak sementara ibunya duduk di atas gerobak sambil mengendalikan jalannya gerobak. Tidak kurang 40 km jarak yang ditempuh keduanya pulang saban hari untuk menjajakan sapu lidi buatan mereka. Tidak pernah berkata capek.
15 tahun Feri menjalani pekerjaan itu, tidak pernah sepatah kata penyesalan pun keluar dari lisannya, hingga kemudian sebuah media mengangkat kisahnya dan lalu mengubah jalan hidup mereka. Simpati orang-orang pun mengalir kepadanya yang kemudian mengakhiri keserbakekurangan dalam hidupnya. Nila dan Feri kini hidup berkecukupan dari orang-orang kaya yang berbagi rezeki dengan mereka.
Meski mungkin apa yang mereka terima tidak secara langsung dari usaha keras mereka, tetapi memang, anugerah Allah datang dari pintu-pintu yang tidak terduga. Dan walaupun kesulitan mereka telah terganti, kesadaran mereka tetap tidak berakhir.
Kejutan-kejutan hidup yang terkadang tiba-tiba menimpa kita memang tidak seharusnya kita ratapi, apalagi disesali. Sebab, kenikmatan-kenikmatan Allah yang banyak, seringkali baru terasa ketika kejutan-kejutan itu datang. Misalnya, ketika kita selalu berada dalam keadaan sehat, maka kita tidak akan mengetahui derita orang yang tertimpa musibah dan kesusahan, dan kita tidak akan tahu pula besarnya nikmat yang kita peroleh. Kejutan sakit itulah yang akan menyadarkan kita betapa perihnya ditimpa musibah.
Sebab itu, orang yang yang sedang ditimpa penyakit tidak perlu dicekam rasa takut, karena sesungguhnya di balik sakit itu terdapat hikmah dan pelajaran bagi siapa saja yang mau memikirkannya. Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw. bersabda, ”Cobaan senantiasa akan menimpa seorang mukmin, keluarga, harta dan anaknya hingga dia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai dosa.”
Musibah dapat menyebabkan seorang manusia berdoa dengan sungguh-sungguh, tawakal dan ikhlas dalam memohon kepada Allah SWT, sehingga ia akan merasakan manisnya iman lebih nikmat dari lenyapnya penyakit yang diderita, sebagaimana dirasakan Nabi Ayub a.s., ”Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia menyeru Tuhannya (Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang di antara semua yang penyayang.” (QS. Al-Anbiya: 83)
Berapa banyak musibah yang menyebabkan seorang manusia menjadi istiqamah dalam agamanya, berlari mendekat kepada Allah, dan menjauhkan diri dari kesesatan. Amat banyak pula orang yang setelah ditimpa sakit ia mulai bertanya persoalan agamanya, mulai mengerjakan shalat dan berbuat kebaikan, yang kesemuanya tidak pernah ia lakukan sebelum menderita sakit. Sakit yang memunculkan ketaatan-ketaatan seperti itu, pada hakikatnya merupakan kenikmatan baginya.
Apabila manusia selama hidupnya tidak pernah ditimpa musibah, biasanya ia akan bertindak melampaui batas, lupa awal kejadiannya, dan lupa tujuan akhir dari kehidupannya. Namun ketika ia ditimpa musibah, dikejutkan oleh sebuah kejadian, ia akan sadar bahwa ternyata ia tidak mampu memberi manfaat dan menolak bahaya dari dirinya, tak kuasa melakukan suatu pembelaan untuk dirinya. Demikian pula orang lain, tak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya. Maka apakah pantas baginya menyombongkan diri dihadapan Allah dan sesama manusia? Itulah buah dari sebuah kesadaran, meskipun harus bangkit karena kejutan yang mengguncang.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Tuhan_Tidak_Pernah_Buta
#Rahasia_Dibalik_Musibah