PERUSAKAN MASJID MIFTAHUL HUDA DI SINTANG KALIMANTAN BARAT DALAM PARADIGMA HUKUM ISLAM

Oleh : Allen Oktavi Putri, Dewangga Sakti, Mabruroh, M.Iqbal Hibatullah, Richard Zalit, Yolanda, Shinta Lestari Oktarini (Mahasiswa Hukum UBB)

Pangkalpinang, Minggu, 23 Maret 2025 – Peristiwa perusakan masjid Miftahul Huda di sintang, Kalimantan Barat di sebabkan karena miskomunikasi antara masyarakat dan kelompok ahmadiyah. Masyarakat menganggap ajaran mereka adalah ajaran meyimpang. Dimana masyarakat tidak setuju dengan ajaran yang mereka anut, jadi masyarakat mulai resah karena ajaran itu sehingga menyebabkan masyarakat mulai marah kepada kelompok tersebut, lalu masyarakat mulai membuat Keputusan sepihak untuk melakukan tindakan perusakan terhadap masjid kelompok Ahmadiyah tanpa membuat diskusi secara kekeluargaan dengan kelompok ahmadiyah di masjid tersebut, pada akhirnya menyebabkan kerusakan yang sangat parah yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Peristiwa perusakan Masjid Miftahul Huda milik Jamaah Ahmadiyah Indonesia(JAI) di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, terjadi pada Jumat, 3 September 2021. Peristiwa ini dipicu oleh keresahan warga setempat dan penolakan terhadap adanya kelompok Jamaah Ahmadiyah di wilayah mereka. yang seperti kita tahu bahwa Ahmdiyah tidak diakui sebagai bagian dari islam, oleh muslim arus utama (BBC News Indonesia).
Ketua MUI (Ma’ruf Amin) juga memaparkan bahwa ajaran Ahmadiyah sudah menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Hal prinsip yang membedakan antara Islam arus utama dan Ahmadiyah, sebagaimana dikatakan oleh ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), adalah masalah kenabian. Ma,ruf Amin menyampaikan bahwa, Ahmadiyah menganggap ada nabi setelah Nabi Muhammad. Itu suatu pendapat yang tidak boleh dipersoalkan lagi. (BBC Indonesia di kantor pusat MUI, Jakarta.)
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai bahwa tindakan penyerangan dan pengrusakan tersebut selain merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, namun juga sebagai bentuk pengingkaran terhadap prinsip kebhinekaan Indonesia. Situasi ini salah satunya disebabkan, munculnya pihak-pihak (termasuk aktor negara) yang sering menganggap bahwa kelompok lain yang berbeda dengan dirinya adalah musuh yang dibenci. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta Mabes Polri untuk mengambil alih proses hukum terkait perusakan masjid ini serta mengungkap aktor intelektual di baliknya. Komnas HAM menegaskan bahwa polisi harus mencegah eskalasi konflik agar tidak semakin meluas. Selain itu, mereka juga menilai bahwa kasus perusakan masjid di Sintang belum tertangani dengan baik dan mendorong adanya dialog antara berbagai pihak terkait. (Komnas HAM, 2021).

Sejak konflik ini terjadi, eskalasi ketegangan tidak hanya berlangsung di lapangan, namun menjadi polemik di media sosial. Berbagai ujaran kebencian, provokasi, dan ajakan untuk melakukan tindakan kekerasan semakin marak di dunia maya. Oleh karena itu, diharapkan pihak kepolisian tidak hanya menangani proses hukum terhadap para pelaku dilapangan,tetapi juga mengusut aktor intelektual yang mengoordinasikan penyebaran kebencian melalui media sosial. Hingga saat ini, pihak yang berwenang belum sepenuhnya mampu menangani permasalahan di lapangan, apalagi yang terjadi di media sosial, yang banyak berisi komentar provokatif dan ajakan untuk menyebarkan kebencian.

Analisis Dalam Persektif Hukum Islam
Dalam hukum Islam, tindakan perusakan terhadap tempat ibadah atau simbol agama sangat dilarang dan dianggap sebagai perbuatan yang tercela. Beberapa prinsip hukum Islam yang terkait diantaranya ialah:
• Menjaga Perdamaian dan Keharmonisan Sosial
Islam mengajarkan pentingnya hidup damai dengan sesama tanpa memandang perbedaan agama. Perusakan tempat ibadah, terutama dengan tujuan menyinggung atau mengancam kelompok tertentu, bertentangan dengan prinsip dasar Islam yang mendorong umat untuk menjaga perdamaian dan saling menghormati.hal ini dipedomani dalam surat (Surat Al kafirun ayat (6)

لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Artinya:Untukmu agamamu, dan untukku agamaku
• Hukum Pidana dalam Islam
Tindakan perusakan terhadap properti atau fasilitas umum dalam Islam dapat dikenakan hukuman yang setimpal, tergantung pada niat dan akibat dari perbuatan tersebut. Dalam konteks ini, perusakan masjid jelas merupakan pelanggaran serius yang tidak hanya merusak tempat ibadah, tetapi juga dapat memicu ketegangan sosial dan agama. Dalam Qur’an disebutkan qur’an surah Al- A’raf ayat (56) yang berbunyi :

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ ۝٥٦
Artinya: Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.

Dari beberapa hal yang mendasari permasalahan yang penulis angkat. Penulis berpendapat tindakan yang dilakukan oleh masyarakat setempat baik dalam hukum islam maupun hukum negara indonesia, perbuatan tersebut tidak dibenarkan. Karena seharusnya masyarakat tidak langsung menegakkan hukum dengan cara tersendiri (main hakim sendiri) untuk merusak masjid, tetapi sebaiknya dapat dibicarakan dengan cara damai. Karena dalam hukum islam maupun hukum negara Indonesia tindakan tersebut dilarang.

Penulis berpendapat jika kasus tersebut dibiarkan masyarakat sendiri untuk menyelesaikannya, kemungkinan besar akan muncul konflik lainnya yang bisa membuat permasalahan tersebut menjadi semakin buruk. Oleh karena itu peran aparat penegak hukum maupaun pemerintah setempat agar segera untuk mengambil alih proses penyelesaian konflik antara masyarakat dengan kelompok ahmadiyah tersebut.***

Penulis: Oleh : Allen Oktavi Putri, Dewangga Sakti, Mabruroh, M.Iqbal Hibatullah, Richard Zalit, Yolanda, Shinta Lestari Oktarini (Mahasiswa Hukum UBB)Editor: Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *