PERBENDAHARAAN ISTIGHFAR

pERBENDAHARAAN ISTIGHFAR
pERBENDAHARAAN ISTIGHFAR

KHAZANAH

 

 

Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh 

 

Belajar dari Maryam 

Anda tahu, buah yang sudah masak pasti jatuh ke tanah, tetapi cobalah renungkan kenapa Allah memerintahkan Maryam di saat dalam kepayahan hendak melahirkan Isa untuk menggoyang-goyangkan pohon agar korma yang sudah masak itu berjatuhan dan bisa dimakan?2 Padahal sekiranya Maryam berdiam diri, korma itu pun akan berjatuhan, entah kapan. 

Maryam yang sudah tinggi tawakalnya, ketika harus menghindari cacian dan hujatan kaumnya, ketika sedang kepayahan hendak melahirkan putranya, ketika lapar dan tidak mempunyai kekuatan tenaga, dia harus berjuang tidak meninggalkan sebab atau ikhtiar. Begitu juga ketika Maryam mendapat kiriman hidangan dari malaikat, bukan berarti dia tidak melakukan apa-apa, tetapi dia melakukan ibadah dengan sungguh-sungguh. 

“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam [19]: 25) 

Inilah pelajaran dari ibunda Maryam. Tawakal bukan berarti lemah dan menyerah dalam usaha. Tawakal adalah keperkasaan dan kekuatan seseorang dalam menemubuh sebab atau ikhtiar. 

Burung pun Terbang Menjemput Rezeki 

Dalam sebuah hadis yang datang dari Umar bin Khaththab yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Mubarak, Ibnu Hibban, Al Hakim, Al-Qada’i dan Al-Baghawi, sesungguhnya Rasulullah Saw. telah bersabda, 

“Jika saja kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kamu akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki, ia pagi-pagi lapar dan sore hari telah kenyang.” 

Hadis di atas menunjukkan, sesungguhnya orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah, maka ia dijamin akan mendapatkan rezeki sebagaimana burung. Lihatlah burungburung itu, di pagi hari mereka dalam kondisi lapar. Karena lapar mereka terbang entah ke mana mereka terbang mencari makanan, mereka tak tahu sawah mana, kebun mana, dan daerah yang bisa mereka hinggapi yang di situ banyak makanannya. Mereka terus terbang menjemput rezeki Allah. Hasilnya, di tengah perjalanan terbangnya, mereka ternyata menemukan makanan (rezeki) yang mengenyangkan mereka. Setelah kenyang mereka pulang. Begitu seterusnya mereka lakukan saban hari. Dan terbukti mereka tidak pernah mati kelaparan. 

Pelajaran tawakal yang dianalogikan Rasulullah dengan burung sangatlah tepat. Yakni bahwa orang yang bertawakal itu akan dijamin mendapatkan rezeki seperti burung yang pergi mencari rezeki di pagi hari dan pulang di sore hari. Padahal burung ini sama sekali tidak mengetahui di kebun atau di sawah mana akan menuju dan mendapatkan rezeki. Burung itu hanya keluar dengan penuh bersandar dan ber-tawakal kepada Allah, Zat Yang Maha Memberi rezeki. 

Analogi tentang burung itu semakin tepat karena mengandung pelajaran berharga. Bahwa untuk menjemput rezeki Allah kita harus terbang. Terbang ke mana saja, yang penting terbang. Kalau tidak terbang, maka Allah tidak akan mengaruniakan rezeki-Nya kepada kita. Sama halnya dengan burung yang tidak mau terbang, ia tidak akan mendapatkan apa-apa, ia akan terus dalam kondisi lapar. 

Ya, tawakalnya burung adalah dengan meninggalkan sarangnya di pagi buta untuk mencari makanan bagi diri dan anak-anaknya. Dengan upaya seperti itu, terbukti Allah menjamin rezeki burung itu. Untuk menjemput rezeki burung itu tidak tidur-tiduran dan malas-malasan di sarangnya, seraya berharap Allah mengirimkan makanan kepadanya. Dalam hal ini, burung tampaknya lebih tahu persis tentang makna tawakal ketimbang kita, umat manusia. Burung itu seolah paham betul bahwa tidak ada makan siang yang gratis. Bahwa rezeki harus dijemput. Bahwa hidup adalah perjuangan, dan perjuangan adalah saudara kembar pengorbanan. Semakin besar pengorbanan yang diberikan sang burung kepada kehidupan, maka semakin besar pula kehidupan memberikan segala yang dimilikinya kepadanya. 

Ketahuilah wahai Saudaraku, terbang itu kata  lain dari usaha keras (ikhtiar). Kalau kita ingin memeroleh rezeki Allah, maka kita harus ikhtiar (terbang) dengan sungguh-sungguh, seperti burung-burung itu. Dan setelah ikhtiar sungguhsungguh, hasilnya, Allah akan menganugerahi kita rezeki yang melimpah kepada kita, seperti burung yang pulang sore hari dalam kondisi kenyang. Itulah hakikat dan makna tawakal yang sesungguhnya. 

Karena itulah, mengomentari hadis di atas, Imam Ahmad memiliki pendapat yang menarik untuk kita ikuti. Katanya, “Hadis tersebut menunjukkan kepada kita agar rajin berusaha, rajin bekerja. Dan hadis ter-sebut menunjukkan pada kita agar kita tidak mening-galkan pekerjaan. Bahkan sebaliknya, agar kita tetap giat mencari rezeki. Apa maksudnya? Jika kita telah bertawakal kepada Allah di kala kita berangkat men-jemput rezeki sampai kita kembali lagi pulang ke rumah kita, dan kita selalu menyadari sepenuhnya bahwa kebaikan itu hanya ada di tangan Allah, maka kita tidak akan kembali (pulang ke rumah) melainkan dalam keadaan selamat dan mendapatkan hasil rezeki, sebagaimana burung.” 

Suatu hari, Imam Ahmad pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang duduk kongkow-kongkow saja di rumah dan di masjid, yang selalu berkata, “Aku tidak akan bekerja apa-apa sehingga rezeki datang meng-hampiriku dengan sendirinya. Semuanya kuserahkan kepada Allah.” 

 

Apa jawaban Imam Ahmad? Beliau berkata, “Sungguh betapa bodohnya lelaki itu. Ia adalah lelaki yang tidak berpengetahuan. Ia tidak tahu bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah men-jadikan rezekiku di bawah bayangan panahku’.” 

Ya. Rasulullah saja untuk menjemput rezeki Allah masih perlu berburu. Padahal ia adalah kekasih-Nya, Nabi-Nya. Kalimat “rezekiku di bawah bayangan panahku”, menunjukkan sesungguhnya jika beliau tidak berburu (dengan panah), maka rezeki Allah tidak akan turun kepada beliau. Dan tawakal itu, ya seperti apa yang disabdakan dan dilakukan Rasulullah itu. Kita harus terbang dulu. Kita harus berburu dulu. Kita harus ikhtiar dulu. Kita harus berusaha dulu dengan sekeras-kerasnya. Baru setelah itu hasilnya kita pasrahkan pada Allah. 

Setelah mengikuti penjelasan di atas, di antara Anda sekalian barangkali ada yang bertanya, “Apa sih ukuran ikhtiar yang sungguh-sungguh itu? Sehingga setelah ikhtiar kita baru boleh menyerahkan seluruh hasilnya kepada Allah?” Pertanyaan yang cerdas. Dan pertanyaan Anda itu, juga pernah ditanyakan oleh salah satu murid Imam Ahmad kepada Imam Ahmad. Ketika ditanya seperti itu, apa jawaban Imam Ahmad? Beliau lalu mengajak murid-muridnya ke sebuah lapangan, dan mengajak mereka lari berputar mengelilingi lapangan. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam kali putaran dan seterusnya, murid-murid Imam Ahmad berguguran. Mereka kelelahan dan keletihan. Mereka berhenti. Mereka beristirahat. Tinggallah Imam Ahmad yang berlari sendirian mengelilingi lapangan dengan nafas yang tersengal-sengal dan keringat yang bercucuran. Para muridnya merasa kasihan dan meminta Imam Ahmad agar beristirahat dulu. Imam Ahmad diam saja. Ia terus berlari mengelilingi lapangan hingga pingsan. Melihat gurunya pingsan, para murid Imam Ahmad segera menggotongnya ke dalam rumah. 

Tak selang berapa lama, Imam Ahmad pun siuman. Ketika telah siuman dan sadar betul, beliau lalu berkata kepada para muridnya, “Wahai murid-muridku, sesungguhnya aku ingin menunjukkan kepada kalian tentang hakikat ikhtiar. Kira-kira ikhtiar itu seperti ketika aku berlari tadi. Aku lari semampuku hingga aku benar-benar tak mampu lagi lari dan aku pingsan. Itulah ikhtiar yang sungguh-sungguh dan yang benar. Bila kita sudah melakukan ikhtiar seperti itu, lalu hasilnya kita serahkan kepada Allah, maka itulah yang disebut sebenar-benar tawakal. Dan orang yang bertawakal seperti itu, maka Allah akan menjamin rezekinya.” 

Saudaraku, yang dilakukan oleh Imam Ahmad di atas semakin memperjelas kita tentang maksud sabda Rasulullah Saw. yang berbunyi, 

“Jika kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, tentu Dia akan memberimu rezeki sebagaimana Dia telah memberi rezeki kepada burung yang di pagi hari lapar dan di sore hari dia kenyang.” 

Jadi, hadis tersebut menuturkan bahwa burung itu juga berangkat dan kembali dalam rangka mencari rezeki dengan sungguh-sungguh. Kata Imam Ahmad, “Para sahabat itu juga bekerja di kebun-kebun mereka dan seharusnya kita mencontoh mereka.” (Lihat Fathul Bâri) 

Miskin = Tidak Adanya Tawakal 

Tidak banyak orang yang tawakal dengan sungguhsungguh. Buktinya keragu-raguan dalam bertindak. Karena ragu-ragu, maka semangatnya juga setengah-setengah. Karena setengah-setengah, maka hasilnya tidak maksimal, bahkan malah tidak ada hasilnya sama sekali. Kalau toh dipaksakan terus bekerja, pasti tidak akan tahan lama. Dan akhirnya menyerah ketika baru sedikit merasakan kesulitan. Tidak adanya “tawakal” membuat orang menjadi miskin; dimulai dari miskin semangat, miskin tindakan, miskin ide, dan miskin keberanian. Dia menjadi penakut. Dan orang yang takut, pasti tidak mendapatkan apa-apa. Bagaimana Anda bisa mendapatkan jatah kalau Anda takut terjepit saat antri. Bagaimana Anda bisa memeroleh penghasilan kalau Anda takut capek. Bagaimana Anda bisa memetik buah kelapa kalau Anda  takut memanjat. Bagaimana Anda bisa duduk di kursi yang tinggi kalau Anda takut terjatuh. Keraguan itulah sesungguhnya yang menciptakan kemiskinan. Padahal ketika kita sudah punya semangat tinggi, tahu jalan yang ditempuh dan punya tujuan pasti, kita tidak boleh ada ketakutan. Kita tinggal tawakal saja, serahkan kepada Allah. Dialah yang menjadi pengawalnya, pasti kebaikan. 

Sekiranya Anda tawakal sejak berangkat ke tempat usaha, tawakal dalam menjalankan pekerjaan, tawakal dalam kepulangan, dan Anda yakin bahwa seluruh kebaikan ada di tangan Allah dan ada di sisi Allah, pasti Anda akan tiba di rumah dengan selamat dan mendapatkan kekayaan/penghasilan. “Barangsiapa yang benar tawakalnya kepada Allah untuk mendapatkan sesuatu, maka dia akan mendapatkannya,” kata Ibnu Qayyim meyakinkan. 

#Syaiful_Anwar

#Fakultas_Ekonomi

#Universitas_Andalas

#Kampus2_Payakumbuh

#7_Hukum_Kekayaan

#Pakai_Masker

#Jaga_Jarak

#Cuci_Tangan

#Stay_Safe

 

Respon (1)

  1. I picked up a 54X this weekend for the price drop but when I took the face sticker off this residue is stuck on the club and I tried everything to get it off It’s driving my OCD crazy, anyway to get it off?[ATTACH type=”full”]9274639[/ATTACH]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *