Jendelakaba.com, Bengkulu — Seminar Literasi Sejarah Indonesia yang digelar Kementerian Kebudayaan RI pada Jumat (14/11/2025) menyoroti urgensi penguatan literasi sejarah di era digital. Anggota Komisi X DPR RI, Dr. Drs. Hj. Dewi Coryati, M.Si, menegaskan bahwa arus informasi yang kian cepat telah membuat narasi sejarah mudah dipelintir, sehingga penguatan pemahaman sejarah di masyarakat menjadi kebutuhan mendesak.
Dalam pemaparannya, Dewi mengungkap data Kominfo yang menunjukkan bahwa lebih dari 1.700 hoaks bertema sejarah beredar dalam lima tahun terakhir. Sebagian besar hoaks itu beredar melalui media sosial dan terutama menyasar generasi muda.
“Sejarah bukan sekadar hafalan, tetapi fondasi untuk membentuk cara kita berpikir dan bersikap. Ketika sejarah dimanipulasi, maka persepsi publik pun ikut berubah,” ujarnya.
Di Bengkulu sendiri, Dewi memaparkan bahwa literasi sejarah masih belum merata. Survei Universitas Bengkulu tahun 2024 menemukan bahwa 60% pelajar SMA tidak mengetahui peran Bengkulu dalam proses lahirnya Indonesia, termasuk masa pengasingan Bung Karno serta jejak perjuangan Ibu Fatmawati — penjahit Sang Saka Merah Putih.
Ia menegaskan, berbagai situs sejarah seperti Rumah Pengasingan Bung Karno, Benteng Marlborough, hingga tradisi Tabot belum dimanfaatkan maksimal sebagai ruang edukasi generasi muda.
Selain itu, Dewi juga menyoroti keterbatasan infrastruktur digital. Data BAKTI 2024 mencatat masih terdapat 47 titik blank spot di wilayah Bengkulu, menghambat akses masyarakat terhadap arsip sejarah digital.
Meskipun demikian, perkembangan teknologi dinilai mampu membuka ruang baru untuk menghidupkan sejarah melalui museum virtual, arsip interaktif, video pendek edukatif, hingga tur sejarah berbasis augmented reality. Beberapa komunitas lokal bahkan mulai mendokumentasikan sejarah Bengkulu di platform digital dan mendapat respons positif.
“Literasi sejarah adalah benteng menghadapi ekstremisme dan disinformasi. Generasi muda harus diajak membaca sejarah dengan kritis, bukan sekadar menghafal,” tegas Dewi.
Seminar tersebut dihadiri ratusan pegiat literasi, akademisi, dan pelajar se-Indonesia, serta diharapkan mampu menjadi langkah awal membangun ekosistem literasi sejarah yang lebih kuat, inklusif, dan berbasis teknologi.***






