Jendelakaba.com., Pangkalpinang, Sabtu, (26/10/24)- Pada dasarnya memang kemerdekaan berpikir, berucap dan bertindak melekat pada setiap individu tanpa mengecualikan setiap pribadinya. Mereka yang menyampaikan stigma kemerdekaan dan kebebasan berpikir namun melantunkan kalimat perkalimat yang terekam dari mulut orang lain (bukan ahli). Setiap ucapan yang disampaikan seringkali diserap habis, seolah-olah kemampuan mereka menyaring aspek kebenaran dan rasionalitas dari kalimat itu tidak ada. Jangan anggap kepribadian kita tidak dikendalikan (merdeka) ketika masih menghamba pada kebenaran ucapan orang lain. Hingga detik ini atas kesengajaan, saya mencoba melihat kalimat-kalimat yang diucapkan beberapa orang. Namun terlihat dalam isi kalimat itu merupakan penguasaan dari orang lain atas dirinya. Tanpa disadari, itu seni menguasai pemikiran orang lain. Penguasaan itu dimulai dari pembacaan kondisi psikologis seorang individu, kemudian ketika individu itu cenderung pada keyakinan akan kebenaran. Maka yang dikuasai atas dirimu adalah diawali pada logika-logika yang condong pada hal yang sesuai dengan kondisi psikologis dirimu. Kemudian yang menguasai akan masuk pada celah itu, sehingga tanpa kesadaran seseorang akan menyerap habis makna kata dari pengucap dan tidak menyaring karena pola penguasaan melalui pikiranmu itu sudah masuk pada keyakinan setiap hal yang diucapkannya. Ucapan dan gerak gerik seseorang sebenarnya mencerminkan dua hal. Pertama adalah tujuan, dan kedua mencerminkan ketidaksadaran yang dia ucapkan. Maka seringkali saya mencoba membaca ucapan orang-orang yang memang harus saya pahami, namun masih ada latar belakang yang menggerakkan mulut dan tindakannya. Dan itu juga sudah penguasaan yang mencapai pada aspek pikiran dan keyakinan.
Sebenarnya setelah melihat berbagai kondisi tertentu yang hidup dan merambat dalam beberapa wadah (organisasi), ada beberapa aspek yang menjadi kesimpulan sehingga melogikakan skema ini dari segi realitas dan rasionalitas. Terkait kata “Non Regitur Ab Aliquo”/Saya Tidak Dikuasai Oleh Siapapun, merupakan pernyataan yang masih terbungkam oleh beberapa hal tanpa disadari oleh individu. Jika boleh saya jadikan dalam kumpulan dasar berpikir, ingin saya jadikan Trilogi Penguasaan. Kalau Cak Nur dirumuskan pemikiran besarnya yang disebut Trilogi Pemikiran Nurcholis Madjid yaitu Tauhid, Pluralisme dan Indonesia sebagai modern nation state. Maka ingin saya dasari pemikiran ini dalam Trilogi Penguasaan, yaitu cara menguasai diri seorang individu secara rasional melalui tiga jalan yaitu Pikiran (Kepala), Rasa/Kepercayaan (Hati), dan Kebutuhan (Perut). Ini menjadi landasan-landasan yang saya rasa rasional dalam menafsirkan pola penguasaan terhadap diri seorang manusia. Hal yang sering terjadi, dibalik penguasaan seseorang terhadap orang lain tentunya ada tujuan tersendiri. Seringkali orang yang terbawa arus pemikiran orang lain, pasti buta kesadaran terhadap tujuan tersembunyi tersebut.
Dari berbagai dinamika dalam penguasaan yang terjadi didalam suatu wadah, baik organisasi dan sebagainya. Maka dari kacamata Trilogi Penguasaan yang menekankan pada aspek realita dan rasional tersebut, ada beberapa hal yang menjadi perspektif saya terhadap banyak peristiwa yang benar-benar terjadi. Penguasaan pikiran dan rasa/keyakinan, seringkali hal ini rentan dilakukan terhadap orang yang masih belum mendalami dinamika dalam sebuah organisasi (sebut saja polos). Penguasaan terhadap orang seperti ini seringkali dilakukan dengan memberikan pemikiran-pemikiran yang membuat tertariknya seseorang dan seolah-olah dirinya tinggi dalam berbagai bidang. Sehingga ada rasa kagum terhadap yang memberikan asumsi-asumsi tersebut. Namun ada banyak upaya yang dilakukan oleh seseorang dalam menguasai orang lain melalui pikiran, baik itu diawali dengan membaca kondisi dan situasi seseorang. Beberapa hal yang memang saya rasa terjadi bahwa ada bentuk penguasaan terhadap diri orang tersebut, yang dilakukan dengan celah kondisi suasana hati dan kecondongan orang berpikir. Saya berpandangan ada yang memanfaatkan celah itu untuk masuk dengan meniti alur berpikirnya, sehingga seringkali asumsi-asumsi yang sesuai dengan nalar berpikirnya terus diberikan. Jadi yang dirasakan oleh orang tersebut tentunya ada kesamaan pola berpikir serta keyakinan akan kebenaran dalam memandang suatu tindakan. Seringkali ketika sudah menjelma dalam keyakinan, kecil kemungkinan ada kesadaran akan maksud dan tujuan dari yang mencoba menguasai pemikirannya. Namun tidak dapat dipungkiri lagi, ada cikal bakal doktrin-doktrin yang masuk akan menjelma persekongkolan dalam mencapai tujuan tertentu, terlepas itu kepentingan pribadi, golongan atau memang untuk kemajuan bersama. Kemudian tidak terlepasnya manusia sebagai makhluk yang memiliki hawa nafsu, terutama secara materialisme. Maka kasarnya menyampaikan kalimat ini, penguasaan terhadap individu juga dilakukan melalui kebutuhan (perut). Terkadang ada individu yang terbawa arah dengan pola dan sistem orang lain karena kebutuhan perutnya terus dipenuhi. Ini yang saya maksud penguasaan jalur kebutuhan. Rasional berpikirnya adalah lihat kondisi saat ini, ada yang terus mensupport orang lain dengan materialisme/memenuhi kebutuhannya untuk ikut membantu mencapai tujuannya. Dalam dunia organisasi pun terjadi, apalagi dunia politik praktis yang belum kita selami.
Jadi sangat penting untuk setiap individu itu memahami atau menalari suatu hal jangan hanya satu arah. Ketika kita berpatokan pada satu pandangan untuk menalari atau mendefinisikan sesuatu, tumpuan dari hasil pandangannya juga hanya akan dari satu sisi. Namun cobalah memandang sesuatu dari berbagai arah dan kemungkinan. Sehingga tidak menafsirkan sesuatu hanya kebenaran menurut dirimu. Kalau kata Nurcholis Madjid (Cak Nur), bahwa “Seseorang disebut menuhankan keinginan dirinya sendiri jika dia memutlakkan diri dan pandangan atau pikirannya sendiri. Biasanya orang seperti itu akan mudah terseret pada sikap-sikap tertutup dan fanatik, yang amat cepat bereaksi negatif kepada sesuatu yang datang dari luar tanpa sempat bertanya atau mempertanyakan adanya kemungkinan segi kebenaran yang dikandungnya.” Akhir kata saya rasa perlu sebagai individu yang berpikir untuk mampu berpikir terbuka menerima dan menyaring informasi dan tidak serta merta mutlak memandang sesuatu tanpa memandang dari berbagai arah. Karena hakikat kebenaran bukan hanya pemikiran diri sendiri yang dianggap mutlak itu sudah tepat.***