SIJUNJUNG – Suasana siang itu di Nagari Padang Laweh Selatan, Kecamatan Koto VII, Kabupaten Sijunjung, tampak berbeda dari biasanya. Jalanan kecil menuju hamparan sawah yang kering berdebu dilalui rombongan mahasiswa berbaju merah. Mereka adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sijunjung bersama Himpunan Mahasiswa Departemen (HMD) UNP Sijunjung, yang datang membawa 15 karung beras untuk Kelompok Tani Bungo Sepakat.
Tanggal 24 September 2025 bukanlah hari biasa. Di seluruh Indonesia, tanggal itu diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Namun bagi petani Bungo Sepakat, peringatan tahun ini terasa getir. Kekeringan panjang memaksa mereka menunda masa tanam. Sawah-sawah yang biasanya hijau kini merekah kering, tanahnya retak-retak seperti pecahan cermin. Panen yang diharapkan menjadi sumber nafkah justru gagal.

Mahasiswa Menyapa Sawah
Ketua GMNI Sijunjung, Baiki Hakim, memimpin langsung penyaluran bantuan. Dengan penuh kesederhanaan, karung-karung beras diturunkan dari kendaraan, lalu disusun di balai pertemuan nagari. Di hadapan para petani, Baiki menyampaikan pesan sederhana: mahasiswa hadir bukan hanya untuk belajar teori di ruang kelas, tetapi juga untuk memahami denyut nadi rakyat di lapangan.
“Kekeringan yang melanda beberapa hari lalu membuat sebagian petani gagal panen. Bantuan beras ini memang kecil nilainya, tapi semoga bisa bermanfaat bersama. Yang lebih penting, kami belajar langsung dari bapak-ibu semua, tentang bagaimana bertahan di tengah kesulitan,” katanya.
Kalimat itu disambut hangat. Senyum-senyum tipis merekah di wajah para petani. Beberapa di antaranya mengangguk pelan, seakan ingin berkata bahwa sekadar didengarkan saja sudah membuat beban terasa lebih ringan.
Suara dari Ladang
Syahril, Wali Nagari Padang Laweh Selatan, hadir langsung mendampingi. Ia tak menutupi rasa syukurnya. “Bantuan ini sangat berdampak bagi petani yang gagal panen. Semoga hubungan petani dan mahasiswa semakin erat. Kita butuh generasi muda yang peduli, karena pertanian tidak hanya soal lahan, tapi juga soal masa depan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, kekeringan kali ini memang cukup parah. Saluran irigasi tak lagi bisa mengalirkan air ke sawah. Para petani harus menunggu hujan turun agar bisa kembali menanam. “Sawah masih kering. Hanya doa yang bisa kami panjatkan supaya hujan segera datang,” katanya dengan nada lirih.
Lebih dari Sekadar Bantuan
Bagi mahasiswa GMNI dan HMD UNP, kegiatan ini bukan sekadar menyerahkan bantuan lalu pulang. Ada interaksi yang membekas. Mereka duduk bersila bersama petani, mendengarkan cerita tentang sulitnya menjaga pangan di tengah perubahan iklim. Mereka juga berbagi perspektif, bahwa dunia akademik tak boleh jauh dari realita rakyat.
“Di kampus, kita belajar teori tentang pembangunan dan kesejahteraan. Tapi turun langsung ke sawah, kita paham bahwa kesejahteraan itu berawal dari sebutir padi yang tumbuh dengan susah payah,” kata salah seorang mahasiswa yang ikut hadir.
Menyulam Harapan
Peringatan Hari Tani Nasional di Padang Laweh Selatan tahun ini menjadi pengingat bahwa perjuangan petani bukan hanya milik mereka sendiri. Ada tangan-tangan muda yang siap bergandengan. Solidaritas mahasiswa dan petani menciptakan sebuah ruang belajar dua arah: mahasiswa belajar keteguhan, petani mendapatkan semangat baru.
Karung-karung beras itu mungkin hanya bertahan beberapa minggu di dapur-dapur rumah petani. Namun nilai simbolisnya jauh lebih besar: ada kepedulian, ada keberanian untuk hadir, dan ada kesadaran bahwa pangan adalah urusan bersama.
Di tanah yang retak oleh kemarau, benih solidaritas justru mulai tumbuh. Dari kampus ke sawah, GMNI Sijunjung menunjukkan bahwa Hari Tani Nasional bukan sekadar seremonial, melainkan momentum nyata untuk bergerak bersama rakyat.