Lindungi Generasi Digital, Kolaborasi Lintas Sektor Didorong Cegah Kekerasan Siber Anak

Matarakyat24.com, Bekasi — Arus transformasi digital membawa peluang sekaligus ancaman bagi tumbuh kembang anak. Dalam forum edukasi tentang “Ruang Digital Aman dan Sehat untuk Anak”, Anggota Komisi I DPR RI, R.H. Imron Gun Gun, S.H., M.H., bersama praktisi komunikasi Drs. Gun Gun Siswadi, M.Si., dan psikolog klinis Rahma Dwi Putri, M.Psi., menyoroti perlunya sinergi kebijakan publik untuk melindungi generasi muda dari dampak negatif dunia maya.

R.H. Imron Gun Gun mengungkapkan bahwa literasi digital harus menjadi gerakan nasional yang dimulai dari rumah. “Orang tua tidak bisa hanya melarang anak menggunakan gawai. Mereka harus hadir mendampingi dan menjadi panutan digital,” jelasnya. Ia juga menyoroti fenomena child influencer yang tanpa regulasi dapat berpotensi mengeksploitasi anak secara psikologis dan ekonomi.

Imron menegaskan bahwa perlindungan anak di ruang digital adalah tanggung jawab bersama. “Pemerintah, platform digital, sekolah, dan masyarakat harus saling bergandengan tangan. Setiap laporan kekerasan digital harus ditindak cepat agar anak mendapat perlindungan maksimal,” ujarnya.

Senada dengan itu, praktisi komunikasi Gun Gun Siswadi menilai bahwa kemajuan teknologi menuntut adaptasi kebijakan yang lebih progresif. Pemerintah melalui PP Nomor 17 Tahun 2025 (PP TUNAS) telah menetapkan tata kelola penyelenggaraan sistem elektronik untuk perlindungan anak. Aturan ini mewajibkan penyelenggara platform digital menyaring konten berbahaya, menyediakan sistem pelaporan yang transparan, dan memastikan keamanan data pribadi anak.

Namun, Gun Gun menekankan bahwa ekosistem digital yang sehat tidak cukup dibangun dari aspek hukum saja. “Kita perlu membentuk budaya digital yang etis dan beradab. Anak-anak harus diajarkan berpikir kritis, memahami batas privasi, dan menghormati sesama di dunia maya,” katanya.

Sementara itu, psikolog Rahma Dwi Putri mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan digital dan kehidupan nyata. Berdasarkan data APJII 2025, rata-rata anak Indonesia menghabiskan lebih dari 5 jam per hari di depan layar, melebihi batas waktu sehat yang direkomendasikan WHO. “Kecanduan gawai berdampak langsung pada konsentrasi, emosi, dan kesehatan mental anak,” jelasnya.

Rahma mendorong keluarga untuk menciptakan “ritual digital sehat”, seperti waktu tanpa gawai saat makan bersama dan komunikasi terbuka tentang pengalaman anak di internet. Ia juga menegaskan bahwa pendidikan tentang batas pribadi dan keberanian berkata “tidak” terhadap ajakan tidak pantas harus dimulai sejak dini.

Dari sisi kebijakan publik, para narasumber sepakat bahwa literasi digital harus menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah. Pemerintah perlu memperluas akses pendidikan digital ke wilayah 3T dan memperkuat kolaborasi lintas sektor agar seluruh anak Indonesia mendapatkan perlindungan yang setara.

“Ruang digital seharusnya menjadi taman belajar, bukan ladang bahaya. Jika kita membangun ekosistem digital yang empatik dan beretika, kita sedang menyiapkan generasi pemimpin masa depan yang cerdas dan berkarakter,” tutup Rahma.***