Jendelakaba.com-Konferensi HMI Cabang Padang ke-XLI sejatinya bukan sekadar forum formalitas. Ia seharusnya menjadi momentum regenerasi, refleksi arah juang, dan penegasan kembali identitas intelektual kader Himpunan Mahasiswa Islam. Namun, idealitas itu kini tampak jauh panggang dari api. Di tengah waktu yang terus berjalan, forum ini membeku dalam ketidakpastian. Tak ada kepastian siapa yang akan menakhodai organisasi mahasiswa Islam terbesar di kota padang ini. dan lebih tragis lagi, tak tampak pula kesadaran untuk memperjuangkannya.
Kekosongan bukan lagi soal administrasi atau mekanisme internal. Ini adalah gejala yang lebih dalam: kematian kesadaran kolektif.
HMI Cabang Padang kini seakan kehilangan denyut intelektualnya. Laboratorium ide dan moral yang dulu menjadi rumah bagi dialektika dan pergerakan kini berubah menjadi ruang sunyi tanpa gairah berpikir. Diskursus berhenti di meja wacana, idealisme terjebak dalam romantisme masa lalu, dan aktivitas organisasi menjelma ritual rutin tanpa ruh perjuangan.
Yang paling menyesakkan bukanlah kebuntuannya, tetapi diamnya.
Tak ada gelombang keresahan, tak ada kritik, tak ada perlawanan terhadap stagnasi. Para kader yang seharusnya menjadi motor perubahan justru larut dalam apatisme. Mereka membiarkan kevakuman menjadi kebiasaan baru, seolah ketidakpedulian adalah bentuk kematangan organisasi. Dalam kacamata sosiologi organisasi, inilah apathetic drift: ketika komunitas kehilangan daya kritis terhadap realitasnya sendiri, dan memilih diam karena takut mengguncang kenyamanan semu.
Padahal, HMI tidak lahir dari keheningan. Ia lahir dari kegelisahan. Sejarahnya ditempa oleh keberanian untuk berpikir, menentang arus, dan menggugat ketidakadilan. HMI berdiri untuk melahirkan insan-insan akademis yang bebas dan berani, bukan generasi penonton yang menunggu arah datang dari luar. Maka ketika Konfercab ke-XLI terjebak dalam kebekuan, sesungguhnya yang diuji bukan sekadar mekanisme organisasi, melainkan jiwa kader dan kesadaran moral mereka terhadap makna perjuangan itu sendiri.
Michel Foucault pernah mengingatkan: kekuasaan tidak hanya soal siapa yang memegang kendali, tetapi bagaimana relasi kuasa itu melahirkan pengetahuan dan makna. Dalam konteks HMI, kekuasaan seharusnya menjadi ruang produktif untuk melahirkan gagasan dan energi perubahan bukan kuburan tempat terkuburnya idealisme kader.
Sementara Jürgen Habermas menegaskan, ketika rasionalitas komunikatif lenyap dari sebuah organisasi, yang tersisa hanyalah distorsi: ruang musyawarah digantikan oleh kepentingan pribadi, dan semangat perjuangan tergantikan oleh perebutan posisi.
Konfercab HMI Cabang Padang ke-XLI seharusnya menjadi titik balik kebangkitan, bukan monumen kejumudan. Sebab HMI tidak pernah didirikan untuk menunggu arah, tetapi untuk menciptakan arah. Diam di tengah krisis berarti menormalisasi kemunduran, dan membiarkan apatisme tumbuh adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita luhur perjuangan.
Kini, pertanyaannya bukan lagi siapa yang akan memimpin,
melainkan siapa yang masih peduli.
Karena yang menghidupkan organisasi bukanlah struktur, melainkan kesadaran.
Dan ketika kesadaran itu mati ketika kader lebih memilih diam ketimbang menggugat kebekuan maka sesungguhnya yang dikubur bukan hanya semangat HMI, melainkan warisan intelektual yang pernah diperjuangkan dengan darah dan pikiran.
HMI Cabang Padang hari ini tidak butuh sekadar pemimpin baru. Ia butuh kesadaran baru, kesadaran untuk kembali berpikir, bergerak, dan berjuang. Sebab di bawah bayang-bayang kematian kesadaran kolektif, hanya keberanian moral yang mampu menghidupkan kembali jiwa organisasi ini.***