Jendelakaba.com-KOMDIGI RI Berkolaborasi dengan DPR RI giat diskusi Publik dengan tema “Saring Sebelum Sharing: Budaya Baru Warga Digital”. Kegiatan ini dilakukan secara online via platform zoom meeting pada Jum’at (09/05/25).
Okta Kumala Dewi (Anggota Komisi 1 DPR RI) mengatakan bahwa, di era digital saat ini, internet telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Kita menggunakannya untuk berbagai keperluan, mulai dari mencari informasi, berkomunikasi, hingga berbisnis. Namun, seiring dengan kemudahan yang diberikan oleh teknologi, ada juga tantangan besar yang harus kita hadapi, salah satunya adalah penyebaran informasi yang tidak terverifikasi atau bahkan hoaks. Masyarakat kini memiliki akses yang sangat mudah untuk menyebarkan informasi kepada khalayak luas melalui berbagai platform media sosial. Ini tentu saja membawa dampak positif, tetapi juga menimbulkan masalah jika informasi yang dibagikan tidak melalui proses verifikasi yang tepat.
Selain itu, kita juga perlu memahami bahwa media sosial bukan hanya tempat untuk berbagi informasi, tetapi juga tempat untuk berinteraksi dan membentuk opini publik. Oleh karena itu, kita perlu lebih bijak dalam menyampaikan pendapat, komentar, atau opini kita di dunia maya. Hindari untuk langsung membagikan pendapat yang berpotensi menyinggung pihak lain atau menyebarkan kebencian. Ingat, di dunia digital, kata-kata kita bisa dengan mudah dilihat oleh banyak orang, bahkan lebih banyak dari yang kita bayangkan.
Namun, peran pemerintah dan lembaga tersebut tidak bisa berjalan sendiri. Dibutuhkan kerjasama antara masyarakat, industri teknologi, dan lembaga pemerintahan untuk menciptakan lingkungan digital yang positif. Pemerintah dapat menyediakan regulasi yang jelas tentang penyebaran informasi, tetapi masyarakat juga harus berperan aktif untuk memverifikasi dan tidak mudah terprovokasi dengan informasi yang belum jelas kebenarannya.
Di samping itu, industri teknologi juga harus berperan dalam menciptakan platform yang mendukung budaya digital yang sehat. Ini termasuk memberikan fitur yang mempermudah pengguna untuk melaporkan konten yang tidak sesuai, serta meningkatkan algoritma yang dapat mendeteksi berita palsu atau konten yang berpotensi merugikan. Namun, tentu saja, masyarakat juga harus diberdayakan dengan literasi digital agar mereka tahu cara menggunakan teknologi dengan bijak.
Tentu saja, upaya untuk membangun budaya digital yang sehat juga harus dimulai dari pendidikan. Literasi digital harus ditanamkan sejak dini, baik di sekolah maupun di rumah. Anak-anak dan remaja kita harus diajarkan untuk bijak dalam menggunakan internet dan media sosial, serta diberikan pemahaman tentang bahaya penyebaran informasi yang salah.
Sebagai warga negara yang baik, kita harus mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Oleh karena itu, jika kita melihat atau menerima informasi yang mencurigakan, sebaiknya kita tidak terburu-buru untuk membagikannya. Sebaliknya, lakukanlah pengecekan terlebih dahulu dan sebarkan informasi yang bermanfaat dan benar adanya. Ini adalah langkah kecil yang dapat memberikan dampak besar bagi terciptanya ekosistem digital yang lebih baik.
Menurut Usman Kansong (Praktisi Komunikasi) Kita semua sadar, revolusi digital telah mengubah cara kita hidup, bekerja, bahkan berpikir. Dulu informasi hanya bisa kita dapatkan dari media seperti koran, televisi, atau radio, yang pengelolaannya terpusat dan dikurasi oleh editor. Tapi sekarang? Siapa pun bisa membuat konten, menyebarkannya ke jutaan orang hanya dalam hitungan detik. Demokratisasi informasi ini tentu punya sisi positif, tapi juga membawa tantangan besar, terutama dalam membedakan mana informasi yang benar dan mana yang menyesatkan.
Salah satu tantangan terbesarnya adalah information overload atau banjir informasi. Setiap hari, kita menerima puluhan hingga ratusan informasi dari berbagai sumber—grup WhatsApp keluarga, feed media sosial, hingga notifikasi berita. Dalam kondisi seperti ini, sangat mudah bagi kita untuk tersesat di antara fakta dan fiksi. Dan sayangnya, justru informasi yang salah sering kali menyebar lebih cepat daripada kebenaran.
Menyaring informasi tidak sulit, asal kita mau sedikit meluangkan waktu. Pertama, cek siapa sumber informasinya. Apakah berasal dari lembaga resmi, media terpercaya, atau hanya dari akun anonim yang tidak bisa diverifikasi? Kedua, cek ke platform pengecekan fakta seperti cekfakta.com atau turnbackhoax.id. Ketiga, gunakan logika sehat—kalau isi pesannya terlalu heboh, aneh, atau tidak masuk akal, bisa jadi itu hoaks.
Langkah berikutnya, biasakan berpikir kritis. Jangan hanya karena informasi itu sejalan dengan opini kita, lalu langsung kita anggap benar. Informasi yang sehat tidak hanya berdasarkan emosi, tapi juga berdasarkan data dan akal sehat. Tahan jari sebentar sebelum membagikan, karena sekali kita bagikan, kita ikut bertanggung jawab atas dampaknya.
Selain menyaring, kita juga perlu membangun budaya berbagi yang bertanggung jawab. Apa yang kita bagikan seharusnya membawa manfaat, bukan mudarat. Mari kita biasakan menyebarkan konten yang positif, inspiratif, dan faktual. Hindari menyebar gosip, fitnah, atau konten yang bisa menyakiti perasaan orang lain. Dunia digital sudah cukup bising, jangan kita tambah dengan hal yang tidak perlu. Penting juga untuk menjaga etika digital. Di ruang maya, kita tetap berinteraksi dengan manusia. Gunakan empati, jaga sopan santun, dan hargai privasi. Jangan asal mengunggah foto atau informasi pribadi orang lain tanpa izin. Ingat, apa yang kita anggap sepele bisa berdampak besar bagi orang lain.
Wisnu Nugrah (Pegiat Literasi Digital) menyampaikan bahwa, Kita sedang hidup di era digital, di mana informasi datang tanpa henti, dari berbagai arah, melalui beragam platform. Jika dulu kita mengandalkan media cetak atau televisi sebagai sumber informasi, kini siapa saja bisa menjadi penyebar berita hanya lewat satu klik. Inilah wajah baru dari revolusi digital—informasi menjadi sangat terbuka, cepat, dan demokratis. Tapi, kemudahan ini datang dengan tantangan besar, salah satunya adalah banjir informasi atau yang dikenal dengan istilah information overload.
Information overload membuat kita kewalahan. Kita tidak lagi punya cukup waktu untuk mengecek satu per satu informasi yang masuk. Akibatnya, kita cenderung menerima semua informasi mentah-mentah, tanpa sempat berpikir apakah itu benar atau tidak. Di sinilah celah bagi hoaks dan disinformasi untuk menyelinap masuk, bahkan sering kali menyebar lebih cepat dari fakta itu sendiri.
Mengapa hoaks mudah menyebar? Salah satu jawabannya adalah karena ia bermain dengan emosi. Hoaks biasanya dibumbui dengan isu-isu yang mengundang kemarahan, ketakutan, atau simpati yang kuat. Dan ketika emosi sudah terpicu, logika sering kali dikesampingkan. Ditambah lagi dengan algoritma media sosial yang menyukai konten viral, hoaks pun melesat tanpa hambatan.
Ada beberapa langkah praktis yang bisa kita lakukan sebelum membagikan sesuatu. Pertama, cek sumber informasi—apakah berasal dari lembaga yang kredibel? Kedua, manfaatkan situs atau platform pengecekan fakta. Ketiga, analisis isi—jika terasa aneh atau terlalu bombastis, besar kemungkinan itu tidak benar. Dan yang keempat, gunakan pikiran kritis—jangan telan informasi mentah-mentah, apalagi jika isinya memancing emosi.
Sebagai masyarakat digital yang baik, kita bisa mengambil peran penting. Jadilah konsumen cerdas—tidak langsung percaya dengan informasi yang datang. Jadilah produsen konten yang bertanggung jawab—verifikasi dulu sebelum membagikan. Dukung literasi digital—ajak orang sekitar untuk melek informasi. Jangan lupa, laporkan konten hoaks jika menemukannya. Dan bangun komunitas positif—tempat kita bisa berdiskusi dengan sehat dan terbuka.
Pada akhirnya, menyaring informasi adalah investasi. Ini adalah tanggung jawab bersama yang akan menentukan seperti apa masa depan digital kita. Mari mulai dari diri sendiri—verifikasi informasi sebelum dibagikan, edukasi lingkungan kita, laporkan konten negatif, dan sebarkan kebaikan melalui informasi yang benar dan bermanfaat.
Mari kita wujudkan ekosistem digital yang lebih sehat, di mana budaya saring sebelum sharing menjadi kebiasaan, bukan paksaan. Terima kasih atas perhatiannya, semoga kita semua bisa menjadi pelopor warga digital yang cerdas, santun, dan bertanggung jawab. Salam literasi digital***