Jendelakaba.com-KOMDIGI RI berkolaborasi dengan DPR RI giat diskusi publik dengan tema “Peran Komunikasi Digital Dalam Mewujudkan Indonesia Emas 2045”. Kegiatan ini dilakukan secara online via platform zoom meeting pada Kamis (08/05/25) siang.
Okta Kumala Dewi (Anggota Komisi 1 DPR RI) menyampaikan bahwa Seperti kita ketahui bersama, visi Indonesia Emas 2045 bukan sekadar slogan. Ini adalah harapan besar yang dititipkan pada pundak generasi muda kita hari ini.
Indonesia diperkirakan akan mendapatkan apa yang disebut sebagai bonus demografi, di mana mayoritas penduduk kita berada pada usia produktif. Tapi, bonus ini bisa menjadi anugerah atau justru bumerang, tergantung pada bagaimana kita membekali generasi muda dengan pengetahuan dan keterampilan digital, serta nilai-nilai kebangsaan yang kuat.
Komunikasi digital bukan hanya berbicara soal media sosial atau konten viral. Lebih dari itu, komunikasi digital adalah ekosistem—melibatkan platform, infrastruktur, kebijakan, dan tentu saja manusianya. Kalau kita ingin Indonesia Emas 2045 benar-benar terwujud, maka komunikasi digital harus diarahkan pada misi strategis bangsa: membentuk masyarakat yang berpikir kritis, berwawasan global namun tetap berakar pada nilai-nilai lokal dan budaya.
Kita sudah melihat bagaimana media digital dapat membentuk opini publik, mempengaruhi perilaku sosial, bahkan memengaruhi arah kebijakan publik.
Itulah mengapa literasi digital menjadi agenda nasional yang tidak bisa ditawar.
Literasi digital bukan sekadar kemampuan mengoperasikan gawai, tetapi lebih jauh: memahami etika digital, berpikir kritis terhadap informasi, serta mampu menciptakan dan menyebarkan konten yang positif dan produktif.
Di bidang pemerintahan, komunikasi digital berperan penting dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas. Melalui kanal digital, masyarakat bisa lebih terlibat dalam proses pengambilan keputusan, menyampaikan aspirasi, dan mengawasi jalannya pemerintahan. Hal ini akan memperkuat demokrasi kita, sekaligus membangun kepercayaan publik terhadap negara.
Namun kita juga harus waspada terhadap tantangan keamanan digital. Di era ini, ancaman tidak hanya datang dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam bentuk serangan siber, pencurian data, hingga infiltrasi opini publik melalui algoritma yang tidak kita kendalikan. Oleh karena itu, kami di Komisi I juga terus mendorong penguatan kapasitas keamanan siber nasional—melalui dukungan kepada BSSN, Kominfo, dan kerja sama internasional di bidang pertahanan digital.
Kita perlu menyiapkan ekosistem digital yang inklusif. Jangan sampai kesenjangan digital justru menciptakan ketimpangan baru di tengah masyarakat. Akses internet cepat dan terjangkau, infrastruktur TIK yang merata, serta pelatihan keterampilan digital bagi masyarakat adalah bagian penting dari strategi menuju Indonesia Emas.
Komunikasi digital juga sangat potensial untuk membangkitkan ekonomi nasional, khususnya ekonomi kreatif dan UMKM. Melalui platform digital, pelaku usaha kecil bisa menjangkau pasar yang lebih luas, bahkan hingga mancanegara.
Semua ini tentu tidak bisa dicapai dalam semalam. Tapi dengan kerja sama yang solid antar lembaga pemerintah, DPR, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil, saya yakin Indonesia bisa menjadi bangsa besar yang memimpin secara digital, bukan hanya ikut-ikutan. Kita punya potensi, punya sumber daya, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya secara bijak dan terarah.
Menurut Usman kansong (Praktisi Komunikasi), Kita sedang hidup di tengah gelombang besar transformasi digital, di mana komunikasi tak lagi bergantung pada ruang fisik. Setiap hari, jutaan orang di Indonesia berbicara, berdiskusi, dan bahkan berdebat melalui layar. Komunikasi digital telah menjadi nadi kehidupan kita. Tapi yang sering dilupakan, komunikasi digital bukan hanya soal alat atau platform, melainkan soal cara membangun pemahaman dan relasi antarmanusia dalam lanskap baru yang serba cepat dan terbuka.
Sebagai praktisi komunikasi, saya melihat bahwa media digital memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan sosial, ekonomi, bahkan politik. Tapi, kekuatan ini bersifat netral. Ia bisa jadi alat yang membangun, tapi juga bisa menjadi senjata yang merusak, tergantung pada siapa yang menggunakannya dan untuk apa. Maka, yang kita butuhkan bukan hanya koneksi internet yang cepat, tetapi juga ekosistem digital yang sehat—tempat di mana orang bisa belajar, bertukar ide, dan tumbuh bersama secara positif.
Komunikasi digital dapat menjadi tulang punggung dalam mewujudkan mimpi besar Indonesia Emas 2045. Tapi itu hanya akan terjadi jika kita mampu menjadikan ruang digital sebagai sarana untuk mendidik, mempersatukan, dan membangun kesadaran kolektif sebagai bangsa. Di tengah polarisasi dan banjir informasi, komunikasi digital harus berperan sebagai jangkar—penyeimbang yang memperkuat logika, etika, dan empati dalam kehidupan bermasyarakat.
Kita juga tidak bisa mengabaikan soal etika digital. Dunia maya sering diperlakukan seperti ruang pribadi padahal sebenarnya ia adalah ruang publik yang sangat terbuka. Kita perlu mengedukasi masyarakat bahwa setiap pesan, komentar, dan konten yang kita bagikan akan membentuk persepsi publik, bahkan bisa berdampak hukum. Etika digital harus ditanamkan sejak dini, sama pentingnya dengan sopan santun di dunia nyata.
Kekuatan komunikasi digital juga bisa dimanfaatkan untuk memperkuat nilai-nilai kebangsaan. Peran ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau lembaga pendidikan saja. Kita semua punya andil.
Sebagai praktisi, saya percaya bahwa dari komunikasi kecil yang terjadi di WhatsApp, TikTok, atau Twitter, bisa lahir perubahan besar jika diarahkan dengan benar. Gerakan sosial, solidaritas antarwilayah, hingga kolaborasi antarprofesi bisa dimulai dari percakapan sederhana di ruang digital. Maka dari itu, penting bagi kita semua untuk tidak meremehkan kekuatan satu pesan, satu unggahan, satu percakapan.
Bagus Muhammad Rizal (Pegiat Literasi Digital) menyampaikan bahwa, kita hidup di era di mana komunikasi tidak lagi terbatas pada ruang dan waktu. Dengan satu sentuhan jari, pesan bisa menjangkau jutaan orang dalam hitungan detik. Inilah kekuatan komunikasi digital—ia tak kasat mata, tapi menggerakkan bangsa. Dan jika digunakan secara bijak, komunikasi digital bisa menjadi jalan menuju cita-cita besar kita: Indonesia Emas 2045.
Namun, jujur saja. Di tengah derasnya arus informasi, kita justru menghadapi tantangan besar. Banyak yang bicara, sedikit yang benar-benar mendengar. Banyak yang menyampaikan pesan, tapi minim pemahaman. Maka, sudah saatnya kita menata ulang cara kita berkomunikasi—bukan hanya cepat, tapi juga berkualitas dan beretika. Karena kualitas komunikasi menentukan kualitas peradaban bangsa.
Literasi berarti mampu menyaring informasi, memahami konteks, dan menciptakan konten yang membangun. Ini menjadi penting agar generasi muda kita tidak hanya jadi pengguna, tapi juga pemimpin di ruang digital.
Kita semua punya peran. Pemuda bisa jadi kreator konten inspiratif. Aktivis bisa menjaga nalar publik. Akademisi bisa menyebarkan pencerahan berbasis data. Dan masyarakat umum bisa jadi pengguna cerdas yang sadar etika dan berdampak positif. Komunikasi digital bukan monopoli elite—ia adalah kekuatan sosial milik semua.***