HARUSKAH BERDAKWAH DENGAN MENGHINA?

Oleh: Rozi, Dosen Agama Islam Universitas Bangka Belitung

PANGKALPINANG, jendelakaba.com -Belakangan ini, kasus Gus Miftah, seorang ulama dan pendakwah ternama, yang mengolok-olok tukang es teh dalam sebuah ceramahnya, menjadi bahan perbincangan hangat. Dalam ceramah tersebut, Gus Miftah terlihat menertawakan seorang tukang es teh dengan menggunakan kata-kata yang bersifat merendahkan. Meskipun Gus Miftah kemudian meminta maaf atas tindakannya tersebut, peristiwa ini mengingatkan kita tentang pentingnya cara berdakwah yang penuh rasa hormat dan kasih sayang, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Dakwah yang sejati, seperti yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW, adalah dakwah yang mengedepankan kelembutan, penghormatan, dan hikmah. Nabi tidak pernah berdakwah dengan cara mengejek atau merendahkan orang, apalagi mempermalukan mereka di hadapan umum. Sebagai seorang rasul, beliau selalu menjaga martabat orang lain dan menyampaikan ajaran Islam dengan penuh kasih sayang.

Tindakannya yang penuh kelembutan dan kesabaran menjadikan dakwah Nabi selalu diterima dengan baik, bahkan oleh mereka yang awalnya menentang Islam. Nabi mengajarkan kita bahwa menghina atau merendahkan seseorang, terutama dalam konteks dakwah, justru akan menghalangi tujuan utama penyebaran Islam: mengajak orang kepada kebaikan dan kedamaian.
Gus Miftah dikenal sebagai pendakwah yang aktif dan berani menyampaikan pesan-pesan agama dengan cara yang blak-blakan, namun juga terkadang mengundang kontroversi. Dalam kasus ini, meski mungkin tidak ada niat jahat dalam perkataan Gus Miftah, tetapi mengolok-olok atau mengejek seseorang, apalagi di hadapan publik, bisa berpotensi merusak hubungan sosial dan menghina martabat orang lain.

Salah satu inti dari dakwah adalah menjaga perasaan dan martabat orang lain. Menggunakan kata-kata yang menyakitkan atau merendahkan, bahkan jika itu hanya untuk bersenang-senang atau sebagai guyonan, bisa membuat orang merasa dihina dan tersinggung. Dalam konteks dakwah, ini justru berisiko menjauhkan orang dari pesan yang ingin disampaikan. Bukannya menumbuhkan rasa keinginan untuk belajar, tindakan seperti ini bisa membuat orang merasa malu, terhina, dan bahkan menutup diri dari agama.
Dalam Islam, dakwah bukan hanya soal menyampaikan pesan agama, tetapi juga tentang menjaga keharmonisan dan rasa saling menghargai antar sesama. Seperti yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadis, dakwah harus dilakukan dengan cara yang penuh kelembutan dan hikmah. Al-Qur’an dalam Surah An-Nahl ayat 125 menyatakan,

“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”

Ayat ini menegaskan pentingnya mengajak orang lain dengan cara yang baik dan bijaksana. Mengejek atau merendahkan orang, apalagi dalam konteks dakwah, bertentangan dengan nilai-nilai ini.
Nabi Muhammad SAW adalah contoh sempurna dalam hal ini. Beliau tidak pernah mengejek atau merendahkan orang yang berbeda pandangan atau keyakinan dengan beliau. Sebaliknya, beliau selalu menyampaikan pesan Islam dengan cara yang penuh rasa hormat dan penghargaan terhadap martabat setiap orang, meskipun mereka adalah musuh Islam sekalipun. Seharusnya, sebagai pendakwah, kita meniru sifat Nabi yang sabar dan lembut dalam menghadapi setiap tantangan, termasuk perbedaan pendapat.

Tindakannya Gus Miftah yang mengolok-olok tukang es teh tidak hanya menimbulkan kontroversi, tetapi juga mengundang pertanyaan tentang bagaimana seharusnya seorang pendakwah bertindak di hadapan publik. Seorang ulama atau pendakwah seharusnya menjadi teladan dalam tutur kata dan perbuatan. Apa yang disampaikan bisa mempengaruhi banyak orang, apalagi jika ceramah atau pernyataan tersebut disampaikan di depan banyak orang atau bahkan disebarkan secara luas di media sosial.

Publik yang menyaksikan kejadian tersebut juga memberikan respons yang beragam. Sebagian besar mengkritik keras sikap yang merendahkan orang lain, sementara yang lainnya mungkin mencoba memaklumi dengan alasan niat baik. Namun, ini menunjukkan bahwa dalam berdakwah, sangat penting untuk selalu menjaga adab dan tidak merendahkan orang lain, apalagi mereka yang mungkin kurang beruntung secara ekonomi atau sosial. Jika seorang pendakwah merasa perlu untuk memberi contoh, maka ia harus memilih kata-kata yang bisa membangkitkan semangat dan motivasi, bukan malah membuat orang merasa hina atau tidak dihargai.

Salah satu pesan yang dapat diambil dari kasus ini adalah pentingnya menghargai setiap profesi dan pekerjaan, sekecil apapun itu. Dalam Islam, setiap pekerjaan yang dilakukan dengan niat yang baik, tidak ada yang rendah atau hina. Bahkan, Nabi Muhammad SAW pernah mengajarkan untuk menghargai orang yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tanpa menghakimi atau merendahkan mereka.

Mengolok-olok profesi seseorang, seperti yang terjadi dalam kasus ini, bisa merusak rasa hormat terhadap pekerjaan mereka. Sebagai pendakwah, seharusnya kita memahami bahwa setiap orang memiliki peran penting dalam masyarakat, dan pekerjaan apapun, jika dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasan, adalah mulia di sisi Allah. Maka, menghargai profesi orang lain adalah bagian dari adab yang harus kita pelihara dalam setiap interaksi sosial, termasuk dalam dakwah.

Dakwah yang sesungguhnya adalah dakwah yang mengajak orang dengan penuh kelembutan, penghormatan, dan kasih sayang. Sebagaimana Rasulullah SAW menunjukkan kepada kita, dakwah yang baik adalah yang dilakukan dengan hikmah dan dengan menjaga perasaan orang lain, bukan dengan mengejek atau merendahkan. Dalam hal ini, meskipun niat Gus Miftah mungkin baik, tindakan mengejek seseorang, apalagi dalam konteks ceramah publik, bisa menjadi pelajaran penting untuk lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata.

Sebagai umat Islam, kita semua harus berusaha meneladani Nabi Muhammad SAW dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam berdakwah. Menghargai orang lain, menjaga martabat mereka, dan menyampaikan kebaikan dengan cara yang penuh kasih sayang adalah prinsip utama dalam menyebarkan Islam. Dengan demikian, dakwah kita akan lebih diterima dan membawa manfaat yang besar bagi orang lain.***

Respon (3)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *