FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KDRT

 

Oleh : Syaiful Anwar

 

Kekerasan di dalam rumah tangga timbul dan terjadi karena berbagai faktor, baik dalam dalam rumah maupun di luar rumah. Satu kekerasan akan berbuntut pada kekerasan lainnya. Kekerasan terhadap istri biasanya akan berlanjut pada kekerasan lain; terhadap anak dan anggota keluarga lainnya. Kekerasan yang terjadi, yang dilakukan anak-anak, remaja maupun orang dewasa, jika ditelusuri dengan saksama, banyak sekali yang justru berakar dari proses pembelajaran dalam rumah tangga. Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan menjadi orang yang kejam. Penelitian yang pernah dilakukan untuk hal ini membuktikan bahwa 50 persen sampai 80 persen laki-laki yang memukul istrinya dan atau anak-anaknya, ternyata dibesarkan dalam rumah tangga yang orang tuanya suka memukul dan melakukan kekerasan dalam rumah.60

Secara keseluruhan, budaya patriarki yang berkembang di masyarakat dan kemudian memengaruhi pemahaman masyarakat baik perempuan maupun laki-laki dalam menyikapi dan memandang relasi keluarga yang terjadi sehingga menimbulkan ketimpangan relasi bahwa suami mempunyai kuasa terhadap perempuan dan anak, dan juga dalam memutuskan kebijakan keluarga. Hal ini akan memengaruhi anggota keluarga yang lain.61 Hal senada juga disampaikan oleh salah seorang Wakil Ketua Komnas HAM, bahwa faktor dominan antara lain budaya partiarki, budaya yang dipengaruhi agama yang meletakkan perempuan sebagai warga kelas dua, adat dan tata nilai, hukum yang mendiskriminasikan perempuan dengan laki-laki dan tak menghukum lelaki yang melakukan kekerasan terhadap istrinya, kebiasaan seperti melihat KDRT lebih sebagai urusan rumah tangga yang tak boleh dicampuri.62

Berdasarkan hasil kajian, analisis dan pengamatan lapangan serta hasil diskusi dengan stakeholders yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia di beberapa daerah yang dikunjungi baik unsur pemerintah, perguruan tinggi maupun organisasi kemasyarakatan yang terlibat dalam program Penghapusan KDRT, disimpulkan bahwa sekurang-kurangnya terdapat 5 (lima) faktor yang sangat berpengaruh, yakni :63

1.Faktor budaya dan adat istiadat masyarakat. Budaya patriarki selalu memosisikan perempuan berada di bawah kekuasaan dan kendali kaum laki-laki. Sebelum menikah oleh ayah atau saudara laki-laki, setelah menikah oleh suami.

2.Rendahnya pengetahuan, pemahaman dan kesadaran terhadap kesetaraan dan keadilan gender. Kesetaraan gender banyak diartikan identik dengan emansipasi

dalam arti sempit atau radikal, sehingga dalam persepsi masyarakat, gender dianggap sebagai budaya barat yang akan merusak budaya lokal dan kaidah agama.

  1. Lemahnya pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia. Kelemahan itu bukan hanya dari aparat penegak hukum tapi juga dari sikap dan budaya masyarakat yang kurang taat hukum.
  2. Penafsiran atau interpretasi ajaran agama yang kurang tepat. Agama sering dipahami melalui pendekatan tekstual, dan kurang dikaji dalam perubahan zaman (kontekstual) atau secara parsial, tidak dipahami secara menyeluruh. Secara kodrat memang ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan tetapi seharusnya tidak menyebabkan timbulnya sikap diskriminatif. Laki-laki dan perempuan adalah sama di hadapan Allah dan sama pula di hadapan manusia sebagai makhluk ciptaan- Nya.

Di samping itu, secara mikro (keluarga-kelompok masyarakat), sejumlah faktor diidentifikasikan dapat menjadi pendorong (pemicu dan pemacu) meningkatnya tindak kekerasan terhadap perempuan termasuk KDRT, antara lain:

  1. Kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan keterbelakangan;
  2. Semakin langkanya tokoh panutan yang menjadi teladan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
  3. Banyaknya tayangan di media massa (terutama televisi) yang menampilkan berita atau video (film dan sinetron) tentang tindakan kekerasan;
  4. Sikap dan penampilan perempuan yang semakin berani. Berjalan di malam hari, di tempat rawan, dan berpenampilan berani, baik di tempat umum maupum media massa.
  5. Pemberitaan tindak kekerasan yang dipublikasikan terlalu vulgar (bebas) di media massa yang dapat memacu perilaku publik bahwa tidak kekerasan terhadap perempuan sudah terjadi di mana-mana.

Selain itu, teridentifikasi juga beberapa faktor lain yang turut memengaruhi, teristimewa untuk daerah Maluku dan Papua seperti pembayaran mahar dan kebiasaan minum minuman keras. Banyak faktor yang melestarikan adanya KDRT dan menyulitkan korban memperoleh dukungan dan pendampingan dari masyarakat. 

  1. Ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan, baik dalam rumah tangga maupun dalam kehidupan publik. Ketimpangan ini yang memaksa perempuan dan laki-laki untuk mengambil peran gender tertentu, yang pada akhirnya berujung pada perilaku kekerasan.
  2. Ketergantungan istri terhadap suami secara penuh, terutama dalam masalah ekonomi, yang membuat istri benar-benar berada di bawah kekuasaan suami. Suami akan menggunakan ketergantungan ekonomi istri untuk mengancamnya jika tidak mengikuti apa yang diinginkan dan memenuhi apa yang dibutuhkannya, seperti ancaman tidak memberi nafkah bahkan sampai ancaman perceraian.
  3. Sikap kebanyakan masyarakat terhadap KDRT yang cenderung abai. KDRT dianggap sebagai urusan internal dan hanya menyangkut pihak suami dan istri saja. Masyarakat pasti akan bertindak jika melihat perempuan yang       diserang oleh orang yang dikenal, tetapi jika yang menyerang adalah suaminya sendiri, justru mereka mendiamkannya. Jika kekerasan terjadi di luar rumah, masyarakat cenderung akan menasihati untuk diselesaikan di rumah saja.
  4. Keyakinan yang berkembang di masyarakat termasuk yang bersumber pada tafsir agama, bahwa perempuan harus mengalah, bersabar atas segala persoalan keluarga, keyakinan tentang pentingnya keluarga yang ideal, tentang   istri soleha, juga kekhawatiran terhadap proses perceraian dan akibat perceraian. Keyakinan dan kepercayaan yang tumbuh dalam masyarakat ini, pada awalnya adalah untuk kebaikan dan keberlangsungan keluarga. Tetapi dalam konstruksi relasi yang timpang, seringkali digunakan untuk melanggengkan KDRT.
  5. Mitos tentang KDRT. Sebagian masyarakat masih mempercayai berbagai mitos seputar terjadinya KDRT. Mitos itu muncul di dalam masyarakat yang pada akhirnya memojokkan korban dan menjauhkannya untuk mendapat bantuan secara sosial.

Uraian di atas menegaskan bahwa KDRT bukan hanya sebatas tindakan kekerasan terhadap perempuan, melainkan kejahatan yang   menodai   harkat   dan   martabat kemanusiaan. Meskipun rumah tangga adalah wilayah privat yang merupakan otoritas dan urusan keluarga itu sendiri, namun sebagai bagian dari masyarakat, rumah tangga merupakan bagian dari masyarakat, sehingga apabila terjadi kekerasan di ranah mana pun, termasuk domestik, maka hal tersebut telah masuk ke ranah publik karena merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan.

Menghadapi kasus KDRT yang meningkat dari waktu ke waktu, maka berbagai usaha dan cara mesti dilakukan oleh semua pihak sebagai wujud pekedulian terhadap persoalan sosial bersama. Semua langkah menuju ke arah penghapusan tindak KDRT itu dapat dimulai dari usaha-usaha untuk memutus mata rantai penyebab dan pemicunya melalui penguatan jaringan sosial, pemahaman kembali nilai-nilai positif yang terdapat dalam kearifan budaya lokal (local wisdom), di atas semua itu. adalah menjadikan ajaran agama sebagai sumber nilai yang utama melalui langkah-langkah pendalaman dan pelaksanaan ajaran agama yang baik dan benar.