DISKUSI TERBUKA WALHI DAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG: EKOSIDA SEBAGAI PELANGGARAN HAM BERAT

Pangkalpinang. Jum’at, (25/10/24)-Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kota Pangkalpinang mengadakan diskusi terbuka dengan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai ekosida dan posisinya sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

Diskusi dibuka oleh Bapak Shintong Hutapia, dosen Fakultas Hukum, yang mewadahi mahasiswa untuk melakukan diskusi ini dalam program metode kasus untuk mata kuliah Hukum Humaniter Internasional. Kegiatan ini bertujuan untuk mengeksplorasi apakah ekosida termasuk pelanggaran HAM berat dalam konteks hukum humaniter. Hal ini menjadi fokus utama dalam pembicaraan bersama pihak WALHI.

Regi, Manajer WALHI Kota Pangkalpinang, menjelaskan bahwa ekosida merujuk pada tindakan penghancuran lingkungan hidup yang dilakukan secara sistematis oleh individu, korporasi, atau negara. Ia menekankan bahwa kerusakan lingkungan yang parah tidak hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga langsung mengancam hak hidup dan kesehatan masyarakat. “Ekosida adalah kejahatan serius yang harus diakui sebagai pelanggaran HAM berat dan perlu dikaji dari berbagai aspek, terutama aspek lingkungan yang perlu diperhatikan,” ujarnya.

Dalam diskusi tersebut, mahasiswa Fakultas Hukum menunjukkan antusiasme yang tinggi dengan mengajukan berbagai pertanyaan terkait aspek hukum dari ekosida dan bagaimana hukum nasional dapat mengakomodasi isu ini. Salah satu mahasiswa, Aldi, menyatakan bahwa “Pemahaman tentang ekosida sangat penting bagi kita semua, terutama generasi muda, untuk melestarikan lingkungan agar kelak anak dan cucu kita dapat menikmatinya juga.”

Salah satu poin penting yang dibahas adalah tantangan hukum dalam menangani kasus-kasus ekosida di Indonesia. Terdapat dua kelompok dalam diskusi tim pro dan tim kontra. Tim kontra menjelaskan bahwa kasus Lumpur Lapindo tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Tya dari tim kontra menyebutkan bahwa “Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mencakup pelanggaran HAM berat dan dalam aturan tersebut tidak menyebutkan Lumpur Lapindo sebagai pelanggaran HAM berat.” Sebaliknya, Aldi dari tim pro berpendapat bahwa “Hukum tidak harus dipandang normatif dan harus berubah seiring perkembangan zaman.”

Regi, Manaje, menambahkan bahwa “Cara ekosida dapat dimasukkan ke dalam kategori pelanggaran HAM berat sudah diupayakan saat perang ekologis. Di Bangka Belitung sendiri tercatat jumlah kolong yang tidak direklamasi tersebar di semua wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebanyak 12.607 kolong dengan total luasan 15.578.747 hektar. Praktik eksploitasi sumber daya alam ini merugikan masyarakat.” Ia menegaskan perlunya revisi undang-undang untuk memasukkan ekosida sebagai kategori pelanggaran HAM berat.

Diskusi ditutup dengan kesepakatan untuk terus memperjuangkan pengakuan ekosida dalam konteks hukum di Indonesia. Mahasiswa Fakultas Hukum berkomitmen untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan menyebarluaskan informasi tentang pentingnya perlindungan lingkungan sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam membangun kesadaran hukum di kalangan generasi muda mengenai isu-isu lingkungan dan keadilan sosial. Dengan demikian, diharapkan akan ada lebih banyak advokasi dan tindakan nyata untuk melindungi lingkungan hidup di Indonesia dari praktik-praktik yang merugikan.***

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *