Oleh : Muhammad Syafii, S.H.
( Kabid kajian keilmuan Keluarga Mahasiswa Jakarta Raya.
Kasus Pdt. Yanuardi Koto yang menampilkan diri dengan atribut budaya Minangkabau dalam proses dakwah lintas agama menuai kontroversi besar. Bukan hanya karena perbedaan keyakinan, tetapi lebih pada bagaimana simbol-simbol adat yang sakral dijadikan medium ekspresi agama yang berbeda dari akar budaya itu sendiri.
Bagi sebagian besar masyarakat Minang, kasus ini bukan sekadar soal perpindahan agama secara personal. Melainkan, tindakan itu menyentuh aspek kolektif yang lebih dalam: kehormatan identitas kultural dan kesakralan nilai-nilai adat.
Etika Kultural Minangkabau: Adat Basandi SyarakMinangkabau adalah salah satu etnis di Indonesia yang memiliki falsafah hidup khas: “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.” Dalam prinsip ini, adat dan agama (dalam konteks Islam) berjalan selaras. Artinya, nilai-nilai budaya lokal tidak dapat dipisahkan dari spirit Islam sebagai landasan moral dan sosial masyarakat.
Dalam kerangka ini, simbol adat seperti pakaian penghulu, prosesi adat, gelar, dan cara penyampaian diri di ruang publik bukan sekadar kostum atau gaya. Ia adalah identitas kolektif yang diwariskan turun-temurun, dijaga dengan martabat, dan dibingkai dalam kerangka religius yang telah terintegrasi.
Kebebasan beragama adalah hak setiap individu yang dijamin konstitusi. Namun dalam konteks dakwah lintas agama, apalagi yang menggunakan simbol-simbol budaya komunitas lain, perlu ada etika komunikasi lintas budaya.
Saat seorang tokoh agama tampil dengan simbol budaya komunitas yang secara historis dan sosiologis melekat pada agama tertentu (dalam hal ini Islam di Minang), maka publik berhak merasa terganggu jika simbol itu dimaknai atau dikaitkan dengan pesan keagamaan yang bertentangan dengan nilai lokal. Hal ini memperlihatkan bahwa dakwah tidak hanya butuh kebebasan berekspresi, tapi juga pemahaman terhadap sensitivitas sosial dan kultural komunitas lokal.
Sumpah Sati Marapalam adalah perjanjian antara pemuka adat dan ulama Minangkabau untuk menyatukan adat dengan Islam. Intinya adalah:
“Adat Minangkabau tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam.”
(ADAT BASANDI SYARA’, SYARAK’ BASANDI KITABULLAH)
saya mencoba menghubungkan kasus ini dengan perjanjian sakral orang Minangkabau yaitu Sumpah Sati Perjanjian Bukik Marapalam, yang dimana perjanjian ini adalah perjanjian adat yang sangat penting dalam sejarah Minangkabau. Perjanjian ini terjadi antara dua elemen penting masyarakat Minangkabau, yaitu:
– Kaum adat (dalam hal ini para penghulu atau pemuka adat)
– Kaum ulama (yang merepresentasikan nilai-nilai Islam)
Sumpah ini diyakini terjadi di Bukit Marapalam (Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat) dan menjadi tonggak penyatuan adat dan agama Islam dalam filosofi Minangkabau.
Ketika Pdt. Yanuardi mengenakan pakaian adat Minangkabau dalam upacara Kristiani, itu melanggar makna dan kesepakatan budaya yang terkandung dalam Sumpah Sati Marapalam. Sebab:
Pakaian adat Minang bukan sekadar budaya visual, tapi simbol kesepakatan sakral antara adat dan Islam.
Menggunakannya dalam konteks agama non-Islam menyalahi nilai asalnya dan dianggap mengganggu harmoni kultural-religius masyarakat Minangkabau.
Menggunakan simbol adat Minang di luar kerangka Islam berarti mencederai kesepakatan adat dan nilai leluhur yang telah dijaga sejak Sumpah Sati Marapalam.
Dalam konteks Minangkabau, adat bukan netral budaya, melainkan identitas religio-kultural yang tidak bisa dipisahkan dari Islam.
Kesimpulan penulis.
Kasus Pdt. Yanuardi bukan hanya bicara soal keyakinan pribadi, tapi tentang bagaimana kepekaan budaya dan etika komunikasi harus menjadi dasar dalam setiap aktivitas keagamaan di ruang publik. Dakwah yang mengabaikan etika kultural hanya akan menciptakan kegaduhan dan memperdalam jurang prasangka antarumat.
Dalam masyarakat seperti Minangkabau, identitas budaya bukan hanya warisan—melainkan benteng nilai, martabat, dan harga diri kolektif. Maka, siapapun yang melintasi garis budaya itu—dengan maksud apapun—wajib menghormati pagar etika dan makna di baliknya. Dan bertentangan dengan falsafah Minangkabau ( Adat Basandi Syara’, Syarak’ Basandi Kitabullah).