Penulis melihat fenomena bullying yang terdokumentasi di Sumatera Barat—daerah yang dikenal menjunjung tinggi falsafah Minangkabau Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Falsafah ini mengajarkan bahwa adat harus berlandaskan syariat Islam dan Al Qur’an, menuntut sikap saling menghormati, keadilan, dan kasih sayang. Namun kenyataannya, masih ada warganya yang melakukan tindakan menyimpang terhadap sesama, baik di lingkungan masyarakat ataupun Pendidikan.
Penulis mencoba mengkorelasikan nilai-nilai keminangan atau falsafah dengan kehiudpan sehari-hari, agar pembeca bisa memahami bahwa semua yang ada dalam defenisi ABS-SBK memkanai kehidupan.
Falsafah ABS SBK menuntut masyarakat untuk hidup harmonis, mengedepankan musyawarah, keadilan, dan akhlak Islami. Namun ironisnya, kasus bullying mengindikasikan ada pihak—khususnya pelajar—yang justru melupakan nilai-nilai tersebut. Hal ini bisa jadi tanda bahwa implementasi falsafah sejak dini, misalnya melalui pendidikan muatan lokal, belum cukup kuat atau efektif dalam membentuk karakter.
Beberapa daerah seperti Bukittinggi telah memasukkan budaya dan ajaran agama dari ABS SBK ke dalam kurikulum muatan lokal SD–SMP Namun momentum ini belum sepenuhnya mencegah praktik bullying. Ini menandakan bahwa redaksi di atas kertas harus disertai dengan penguatan implementasi:
1. Pelatihan guru dan orang tua untuk menjadi teladan etika.
2. Pendampingan konsisten pada siswa, termasuk bimbingan religius dan adat dari tokoh masyarakat dan agama.
3. Peningkatan literasi mental dan emosional siswa, agar mereka mampu mengontrol emosi dan memahami empati.
Tradisi surau di nagari Minangkabau kerap disebut sebagai pusat pendidikan moral dan agama. Idealnya, mereka bukan hanya menjadi tempat pengajian, tapi juga ruang edukasi karakter. Ketika surau dan ninik mamak aktif, mereka dapat mendeteksi lebih cepat gejala bullying, dan melakukan pendekatan personal kepada pelaku maupun korban.
Kasus bullying di Sumatera Barat adalah cermin kegagalan bersama—antara sistem pendidikan, pengamalan adat, serta pengawasan sosial. Falsafah ABS SBK bukan sekadar ritus seremonial, melainkan harus diwujudkan dalam relasi antar individu, khususnya di lingkungan pelajar.
Jika akar masalah tidak segera diatasi—melalui pendidikan karakter, penguatan fungsi surau dan nagari—nilai luhur Minangkabau akan rentan terkikis. Padahal, falsafah ini memiliki kekayaan moral luar biasa: untuk menciptakan generasi yang beriman, berbudaya, dan berperikemanusiaan.
Tulisan ini penulis buat karna merasa orang-orang terdekat ternyata tanpa penulis sadari banyak merasakan perundungan dan bullying sudah meraja lela di tanah ranah minang dan mirisnya tidak ada sedikitpun pihak yang berwajib yang seharusnya menyelesaikan kasus-kasus bullying yang ada di Sumatera barat, baik pemerintah, Pendidikan dan keluarga.
Oleh : Muhammad Syafii. S.H. (Pengurus Keluarga Mahasiswa Minang Jakarta Raya)