Dari Kesucian ke Komersialisasi: Menggugat Hancurnya Agama

Oleh: Rozi, Dosen Agama Universitas Bangka Belitung

Agama telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan manusia sepanjang sejarah. Ia berfungsi sebagai pedoman moral, sumber inspirasi, dan sarana untuk mencapai makna hidup. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, kita menyaksikan fenomena yang memprihatinkan: agama, yang seharusnya menjadi pilar kesucian, kini semakin terjebak dalam komersialisasi. Fenomena ini bukan hanya mengubah cara orang memandang agama, tetapi juga berpotensi menghancurkan esensi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Agama, yang semestinya dipahami sebagai sistem kepercayaan yang dalam, sering kali diperlakukan sebagai produk yang dapat dipasarkan. Berbagai ritual keagamaan yang dulunya dianggap sakral kini sering kali dijadikan atraksi komersial. Misalnya, festival-festival keagamaan, yang seharusnya menjadi momen untuk refleksi dan kedekatan spiritual, sering kali dipadukan dengan elemen hiburan yang lebih menarik perhatian daripada makna spiritualnya. Kegiatan ini, meskipun dapat menarik banyak orang, sering kali mengalihkan fokus dari tujuan utama ibadah itu sendiri.

Penggunaan media sosial juga berperan besar dalam mempromosikan komodifikasi agama. Banyak orang berlomba-lomba menunjukkan praktik keagamaan mereka dengan harapan mendapatkan likes atau followers. Praktik keagamaan yang sebenarnya seharusnya dilakukan dengan khusyuk, kini menjadi ajang unjuk diri. Ketika ibadah lebih banyak dipertontonkan daripada dihayati, makna mendalam dari setiap ritual pun hilang.

Agama seharusnya memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas di antara umat. Namun, ketika agama diperdagangkan, fokus mulai beralih dari penguatan komunitas menjadi kompetisi. Munculnya berbagai lembaga keagamaan yang bersaing untuk menarik perhatian dan donasi sering kali menciptakan ketidakpuasan di kalangan umat. Mereka yang tidak mampu membayar atau yang tidak mengikuti tren tertentu merasa terpinggirkan.

Perasaan terasing ini dapat menciptakan jurang pemisah antarumat beragama. Dalam konteks yang lebih luas, hal ini dapat memperparah konflik sosial dan menciptakan ketegangan antara kelompok yang berbeda. Ketika keberadaan orang lain dianggap sebagai pesaing, semangat saling mendukung yang seharusnya menjadi inti dari ajaran agama pun hilang. Komunitas yang seharusnya bersatu dalam kasih sayang kini terpecah oleh kepentingan pribadi dan komersial.
Ketika agama dijadikan komoditas, individu sering kali terjebak dalam identitas keagamaan yang dangkal. Mereka lebih memprioritaskan simbol dan penampilan luar dibandingkan memahami ajaran inti yang terkandung di dalam agama. Dalam banyak kasus, orang cenderung mengikuti tren keagamaan tanpa memahami makna di balik praktik tersebut.

Fenomena ini menyebabkan munculnya identitas keagamaan yang hanya berfokus pada aspek permukaan. Banyak orang mengenakan simbol agama atau mengikuti praktik tertentu hanya untuk terlihat “beragama” di mata masyarakat, tanpa memahami substansi dari apa yang mereka lakukan. Identitas semacam ini menghilangkan kedalaman dan kerendahan hati yang seharusnya menjadi karakteristik utama seorang penganut agama. Ketika pemahaman ini hilang, konflik antar kelompok beragama pun mudah terjadi, karena masing-masing merasa bahwa mereka adalah yang paling benar.
Fenomena komersialisasi agama juga membuka peluang bagi eksploitasi dan penipuan. Oknum-oknum tertentu sering kali memanfaatkan kepercayaan umat untuk meraup keuntungan pribadi. Mereka mungkin menjanjikan kesuksesan, kesehatan, atau keselamatan dengan imbalan sumbangan yang tinggi. Janji-janji ini sering kali tidak lebih dari taktik untuk menarik perhatian dan mengumpulkan dana.

Akibatnya, banyak umat merasa tertipu atau dieksploitasi, yang pada gilirannya mengikis kepercayaan terhadap institusi keagamaan. Ketika orang merasa dikhianati oleh pemimpin spiritual mereka, dampaknya bisa sangat merusak. Kepercayaan yang seharusnya menjadi fondasi bagi komunitas agama kini bisa berubah menjadi skeptisisme dan kekecewaan.

Dampak jangka panjang dari komodifikasi agama tidak bisa diabaikan. Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap agama, hal ini dapat mengakibatkan keruntuhan nilai-nilai moral dan etika. Banyak orang yang mulai meragukan kebenaran ajaran agama dan bahkan beralih ke pandangan materialistik yang sempit. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menciptakan masyarakat yang kehilangan arah dan makna hidup.
Lebih jauh lagi, hilangnya makna dalam agama dapat mengakibatkan penurunan kualitas hubungan antarindividu. Ketika agama tidak lagi berfungsi sebagai pengikat sosial, kita bisa menyaksikan meningkatnya individualisme dan isolasi. Hal ini berpotensi menciptakan lingkungan yang tidak mendukung, di mana empati dan solidaritas semakin memudar.
Akhirnya, dari kesucian ke komersialisasi, perjalanan agama di era modern menghadapi tantangan serius. Ketika agama dijadikan komoditas, kita kehilangan makna spiritual, nilai-nilai kebersamaan, dan integritas identitas keagamaan. Komodifikasi ini tidak hanya merusak citra agama, tetapi juga menciptakan ketidakpercayaan dan konflik di dalam masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk kembali menempatkan nilai-nilai spiritual di atas kepentingan ekonomi. Mari kita jaga agar agama tetap menjadi sumber inspirasi dan bimbingan, bukan sekadar barang dagangan. Dengan demikian, kita bisa mengembalikan esensi agama sebagai pemandu moral yang membawa kedamaian dan kebersamaan dalam hidup kita. Kembali kepada esensi spiritual akan membantu kita menemukan tujuan yang lebih dalam dan menyatukan kita sebagai umat manusia, di atas segala perbedaan yang ada.***

Respon (15)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *