WARA ITU MEMULIAKAN

Khazanah

 

 

Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh 

 

“Manusia menjadi bebas dari suatu harapan yang tak diperolehnya, bersamaan dengan itu ia telah menjadi budak bagi apa saja yang ia begitu rakus dan tamak kepadanya.” (Syaikh Ibnu Athaillah)   

 

Ibnu Sirin adalah seorang ulama yang saleh. Namun, ia bukan tipe yang mengurung diri dan menjauhkan dari hiruk pikuk keduniaan. Ia pun tipe seorang kepala keluarga yang sangat tahu kewajiban terhadap istri dan anak-anaknya. Karena itu, untuk membiayai kehidupan sehari-hari, ia aktif berdagang.  

 

Suatu ketika ia membeli minyak untuk dijualnya kembali. Harga yang disepakati adalah 40.000 dirham dengan cara bayar di belakang. Setelah ia dan penjual minyak sepakat, ia pun pulang membawa minyak itu ke rumahnya. 

 

Lain yang kita kehendaki, lain pula yang ditakdirkan Allah. Demikianlah yang terjadi pada Ibnu Sirin. Ketika ia membuka tempat minyak itu, ia terkejut. Seekor tikus telah menjadi bangkai. Bagian tubuhnya telah bercerai berai. Saat melihat itu hanya satu yang terpikir dalam benak Ibnu Sirin, ”Minyak ini berasal dari satu tempat yang sama. Berarti najis ini tidak hanya mengenai minyak yang ada di tempat ini. Semuanya pasti telah terkena najis. Jika saja aku mengembalikannya, ia mungkin akan menjualnya kepada orang lain…” 

 

Memikirkan itu semua, Ibnu Sirin tidak punya pilihan lain. Ia menuang dan menumpahkan semua minyak yang belum ia lunasi harganya. Bisa dibayangkan betapa besar hutang yang harus ia tunaikan. Entah dari mana ia harus mengambil uang sebanyak itu untuk melunasi hutangnya. Dan ketika waktu yang disepakati untuk pembayaran utang itu telah tiba, ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Si penjual minyak itu melaporkannya pada gubernur. Perintah untuk memenjarakannya pun keluar. Ia pun ditahan dalam penjara hingga hutangnya lunas. 

 

Ia tidak punya apa-apa untuk membayar semua itu. Hal ini menyebabkan ia melewati waktu yang cukup lama dipenjara. Para penghuni yang menyaksikan pedagang sekaligus syekh yang saleh itu pun merasa kasihan dan iba padanya. Namun Ibnu Sirin benar-benar menikmati masa-masa itu. ia lebih banyak beribadah. 

 

Seorang penjaga penjara yang simpati padanya berkata, ”Wahai Syekh, aku sangat kasihan pada Anda. Bila tuan mau, tuan bisa kembali ke rumah tuan di malam hari dan bermalam bersama keluarga Anda. Dan bila pagi tiba, segeralah kembali ke sini…Anda bisa melakukan ini hingga saat pembebasan tuan tiba….” 

Ibnu Sirin terdiam sejenak. Hati nuraninya tidak menyukai hal itu. 

”Maafkan aku, tuan penjaga. Demi Allah, aku tidak mungkin melakukan itu…” ujarnya. 

”Mengapa, wahai Syekh? Bukankah ini kesempatan yang jarang ada??!” tanya penjaga penuh keheranan. 

”Karena aku tidak ingin membantumu mengkhianati pemimpin kaum muslimin…” jawabnya. 

Demikianlah Ibnu Sirin. 

 

Akhirnya, ajal tiba juga pada sahabat Rasulullah Saw., Anas bin Malik r.a. Berita itu segera sjaa tersebar ke penjuru wilayah kaum muslimin. Dan ternyata menjelang kematiannya, sahabat yang mulia ini telah menuliskan wasiatnya. Salah satu bunyi wasiatnya adalah bahwa yang memimpin kaum muslimin untuk menyalatkan jenazahnya adalah Ibnu Sirin. Dan ketika itu Ibnu Sirin masih tertahan di penjara… 

Orang-orang yang mengetahui wasiat Anas bin Malik r.a. segera saja mendatangi gubernur. Mereka meminta padanya agar mengizinkan Ibnu Sirin keluar sebentar dari penjara itu agar dapat menjalankan wasiat Anas bin Malik itu. Gubernur sangat menghormati Anas bin Malik. Ia pun mengizinkan Ibnu Sirin untuk keluar sebentar dari penjara.  

 

Namun ia terlalu wara’ untuk segera menerima izin sang gubernur itu. Ketika dengan sangat suka cita orang-orang yang memintakan izin untuk datang menemuinya, Ibnu Sirin hanya mengatakan, ”Aku tidak akan keluar dari tempat ini hingga kalian meminta izin kepada sang pemilik piutang yang menyebabkan aku dipenjara. Sebab aku dipenjara disebabkan aku tidak bisa memenuhi haknya…” Dan sang pemilik piutang pun mengizinkannya. 

 

Ibnu Sirin pun hari itu keluar dari penjaranya. Setibanya di rumah Anas bin Malik, ia pun segera memandikan dan mengafani jenazah sahabat Anas bin Malik r.a., lalu menyalatkannya… 

 

Dan sesudah itu ia tidak membuang waktu sedikitpun. Ia kembali ke tempat ia selama ini di penjara. Tanpa berpikir sedikit pun untuk menjenguk keluarganya. Tidak sedikit pun… Ia benar-benar kembali ke penjaranya. Demikianlah Ibnu Sirin. Sikap wara’nya entah bagaimana menjelaskannya. Ia sadar bahwa kelak di akhirat Allah akan menanyakan setiap detail kecurangannya di dunia ini. 

 

Kemuliaan itu akan diperoleh ketika berani meninggalkan yang syubhat, apalagi haram. Sikap penuh hati-hati, inilah yang dinamakan Wara. Ibrahim bin Adham seorang sufi pernah berkata, “Wara itu meninggalkan semua syubhat dan meninggalkan apa-apa yang tidak berarti baginya, yaitu semua hal yang tidak berguna dan sia-sia.” 

 

Keberanian meninggalkan sesuatu yang ‘dianggap’ berarti apalagi ada kesempatan, memiliki banyak godaan. Orang yang wara’ memang akan diuji. Namun, disaat ujian tersebut mampu dilalui, disaat berbagai rintangan sanggup dihadapi, niscaya Tuhan akan mengangkat martabat kendati orang berusaha menghinakannya.  

 

Orang yang dipenjara sesungguhnya yang dipenjara oleh hawa napsunya. Orang yang bebas sesungguhnya adalah orang yang tidak diperbudak oleh hawa napsunya. Betapa tidak sedikit orang-orang saleh dipenjara, namun jiwanya tetap merdeka, bahkan ia bisa bertambah kedekatannya kepada Sang Pencipta. 

 

#Syaiful_Anwar

#Fakultas_Ekonomi

#Universitas_Andalas

#Kampus2_Payakumbuh

#Tuhan_Tidak_Pernah_Buta

#Wara_Itu_Memuliakan

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *