Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabut: 2)
Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.”
Namun, setiap pagi Muhammad Saw., mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun beliau menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah Saw. Rasulullah Saw melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.
Setelah Rasulullah wafat, praktis tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta. Hingga suatu hari Abu Bakar berkunjung ke rumah anaknya, Aisyah yang tidak lain merupakan istri Rasulullah Saw. Beliau bertanya, “Aisyah, adakah kebiasaan Rasul yang belum kukerjakan?”
Aisyah menjawab, “Wahai Ayah, engkau adalah seorang ahli sunah dan hampir tidak ada satu kebiasaan pun yang belum Ayah lakukan kecuali satu saja.”
“Apakah itu?” tanya Abu Bakar.
“Setiap pagi Rasulullah selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada di sana.”
Keesokan harinya, Abu Bakar membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Ketika Abu Bakar mulai menyuapinya, si pengemis bertanya, “Anda siapa?”
Abu Bakar menjawab, “Aku orang yang biasa.”
“Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku,” jawab si pengemis buta itu. “Apabila ia datang kepadaku tidak usah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku.”
Abu Bakar tidak sanggup menahan air matanya, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad.”
Mendengar penjelasan Abu Bakar, terkejutlah pengemis itu. Tak sadar ia pun menangis tersedu-sedu. Ia kembali berkata, “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, namun ia tak pernah memarahiku, bahkan ia selalu mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.” Pengemis Yahudi buta itu akhirnya bersyahadat di hadapan Abu Bakar.
Sahabat, kebaikan yang dilakukan dengan ikhlas, keburukan yang dibalas dengan kebaikan, ternyata mampu mengubah sikap. Semakin besar rasa kasih sayang, pelayanan, dan ketulusan, maka akan semakin besar pula pengaruhnya terhadap jiwa. Namun demikian, menjadi orang baik bukanlah tanpa tantangan, justru semakin tinggi kualitas kebaikan dan ketaatan, semakin besar pula ujian yang akan didapatkan.
Begitu halnya dalam mencapai kesuksesan, tidak ada kesuksesan yang instan. Bahkan mie instan yang instan pun melalui sebuah proses panjang. Kesukesan adalah sebuah proses, kita perlu berkorban, berjuang, menghadapi risiko, dan harus memegang tanggung jawab. Untuk mencapai sukses butuh kerja keras, kesabaran dan daya tahan yang tinggi. Karena dalam mengejar kesuksesan, kita pasti akan bertemu dengan rintangan, tantangan, dan tembok yang tebal.
Justru sikap dalam menghadapi rintangan itulah yang membedakan antara seorang juara dari orang rata-rata. Apa yang dilakukan Rasulullah adalah perbuatan yang unik yang tidak dilakukan banyak orang. Anda bisa membayangkan, jika hal itu terjadi pada diri Anda, entah balasan apa lagi yang akan Anda lakukan kepada si pengemis Yahudi tadi. Maka, jika Anda mampu melakukan apa yang dilakukan oleh Rasulullah (membalas keburukan dengan kebaikan), maka Anda adalah seorang juara. Wajar, jika surga hanya akan diberikan kepada orang-orang sabar, karena ia telah mampu menjuarai kehidupan ini.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Tuhan_Tidak_Pernah_Buta
#Orang_Baik_Pun_Diuji