Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Suatu ketika di tanah Madinah. Matahari berangsur kian meninggi, sementara pintu rumah Rasulullah Saw. masih tertutup rapat. Di dalamnya Rasulullah sedang terbaring lemah ditemani oleh putri tercinta, Fatimah. Keningnya berkeringat membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seseorang mengucap salam. ”Bolehkah saya masuk?” Fatimah r.a. tidak mengizinkan, ”Maaf, ayahku sedang sakit,” lalu ditutupnya pintu. Ketika kembali menemani ayahnya, ternyata beliau mengetahui dan bertanya, ”Siapakah itu, wahai putriku?” ”Aku tak tahu ayah, sepertinya baru kali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah. Mendengar jawaban putrinya, Rasulullah menatapnya dengan pandangan penuh kasih dan menggetarkan hati, seraya berkata, ”Ketahuilah wahai putriku, dialah yang menghapus kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan dunia. Dialah Izrail, malaikat maut.” Fatimah menangkupkan kedua telapak tangannya seraya menutup wajahnya dan menahan luapan tangis.
Malaikat maut menghampiri, namun Nabi Saw. bertanya mengapa Jibril tidak ikut serta. Lalu dipanggillah Jibril yang sudah bersiap di langit dunia menyambut ruh kekasih Allah. ”Jibril, jelaskan apa hakku di hadapan Allah?” tanya Rasulullah dengan suara amat lemah. ”Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” jawab Jibril. Tapi jawaban itu tidak membuat Rasulullah lega, pandangannya menatap cemas. ”Wahai kekasih Allah, tidakkah engkau senang mendengar kabar ini?” tanya Jibril.
”Kabarkan kepadaku bagaiman nasib umatku kelak?”
”Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku, Kuharamkan surga bagi siapa saja kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” jawab Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melaksanakan tugasnya. Rasulullah Saw. ditarik sehingga tubuhnya bersimbah peluh dan urat lehernya menegang. ”Jibril, betapa sakitnya sakaratul maut ini!” Lirih Rasulullah menahan sakit. Fatimah memejam mata, Ali menunduk sedalam-dalamnya, Jibril memalingkan muka. ”Jijikkah engkau melihatku sehingga kaupalingkan wajahmu, Jibril?”
”Siapakah yang tega melihat kekasih Allah direnggut ajal.” ucap Jibril.
Sesaat kemudian terdengar Rasulullah memekik karena sakit yang tak tertahankan. ”Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.” Tubuh Rasulullah Saw. mulai dingin, kaki dan dada beliau sudah tak bergerak. Bibir beliau bergetar seakan hendak menyampaikan sesuatu. Ali segera mendekatkan telinga beliau. ”Ushikum bishshalati, wa ma malakat aimanukum (peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu).” Fatimah menutupkan tangan ke wajahnya sementara Ali kembali mendekatkan telinga ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan, ”Ummati, ummati, ummati!”
Sementara di luar para sahabat berpelukan dan menangis. Manusia agung mulia yang mereka cintai telah kembali pada Sang Kekasih. Umar bin Khattab masih belum juga menerima kenyataan itu. Diacungkan pedangnya sambil berteriak, ”Siapa yang mengatakan Rasulullah telah wafat akan kubunuh!” Namun dengan bijak Abu Bakar menyikapi, ”Siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya ia telah tiada, namun siapa yang menyembah Allah, maka Ia Mahakekal.”
Betapa tulus cinta Rasulullah Saw. kepada kita. Di antara sakaratul maut beliau hanya kita yang diingat. Betapa tulus perjuangan dan pengorbanan Rasulullah Saw. Hanya berharap dapat memberi kebaikan pada umat beliau.
Kisah di atas menggambarkan, betapa Rasulullah telah mengajarkan kepada kita tentang sebuah pemahaman hakikat cinta. Bahwa cinta adalah memberi. Bahwa cinta sesungguhnya adalah upaya untuk senantiasa memberi kebaikan dan kebahagiaan kepada yang dicintai.
Ketika berbicara cinta maka kita tidak sekedar berbicara masalah hak dan kewajiban. Kalau aku mencintaimu, maka hakku untuk kau cintai. Jika aku memberimu kebaikan, maka hakku untuk memperoleh balasan yang sama. Lalu apabila kita menakar ”kewajiban” Allah memberi kenikmatan hidup di dunia pada kita, sudahkah kita menunaikan hak-Nya sesuai takaran? Oh…alangkah beratnya. Namun Allah tidak menuntut kita beramal melebihi kemampuan. Tapi dengan cinta, maka kekuatan dahsyat mendorong kita untuk mengabdikan diri pada-Nya. Kita tidak akan dapat membalas segala bentuk kecintaan-Nya kepada kita. Namun Allah Mahatahu hati-hati manusia yang selalu rindu bersua dengan-Nya. Hamba yang mengadukan kegelisahan jiwanya, memohon bimbingan di bawah sinaran cahaya-Nya. Hamba yang selalu mengelola hatinya dalam sabar dan syukur atas segala ketentuanNya. Dan cukuplah bagi kita untuk mendekat-Nya sejengkal, maka Ia akan mendekat kepada kita sehasta. Dan bila kita mendekat kepada-Nya dengan berjalan, maka Ia menuju kita berlari. Sungguh Allah mencintai kita, lebih dari siapapun.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Energi_Cinta
#Rasul_Pun_Telah_Mengajarkan_Hakikat_Cinta