SEDEKAH DAHSYAT, HARTA BERLIPAT

KHAZANAH

 

 

Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh 

 

Kalkulator Gaib 

Kalkulator gaib? Apa-apaan ini maksudnya? Mana ada kalkulator gaib! Barangkali Anda pertama kali mendengarnya. Ya, tak mengapa! Ini hanyalah istilah analogi saja. 

Boleh percaya atau tidak! Setiap hari bahkan setiap waktu kita tak lepas dari kalkulator gaib ini! Tapi saya harap Anda harus percaya, karena keyakinan ini bagian dari iman. Bukan masalah kalkulatornya yang saya maksudkan, tapi masalah kegaiban itu sendiri. Apa yang terbesit di hati Anda ketika mendengar istilah gaib? 

Hmm…mungkin Anda berpikir gaib itu identik dengan Dunia Gaib, Masih Dunia Lain, Antara Ada dan Tiada, atau sesuatu yang mistik yang saat dengan tokoh-tokoh ‘selebritas’ horor yang kian eksis di program TV akhir-akhir ini, seperti Kuntilanak, Genderuwo atau makhluk astral lainnya. Lah, bukan ini yang saya maksudkan! 

Entah mengapa semantik kata “Gaib” itu sekarang mengalami degradasi  makna atau penyempitan makna. Program TV yang menyebabkan petaka ini, lantaran mereka kehabisan ide untuk membuat acara program TV yang berkualitas. Ada baiknya kita ber-bicara dunia gaib dari  makna yang lebih luas. Lebih tepatnya, dunia gaib dalam perspektif agama. 

Setidaknya, ada 3 varian manusia menanggapi kegaiban ini. Ada yang benar-benar haqqul yakin. Ada yang setengah percaya, syakkul yakin. Dan terakhir ada yang tak percaya sama sekali alias unbilieve atau yang berpaham 

‘tahayulisme’, hehehe… 

Kelompok terakhir ini biasanya terdiri dari dua golongan, bisa jadi orang intelektual yang kelewat ilmiah atau orang beragama yang kelewat dangkal ilmunya.  

Kelompok terakhir dan kategori terakhir inilah yang sering kali menjadi pemicu perpecahan umat. Hal ini disebabkan, karena mereka sering berfatwa tanpa dasar keilmuan yang komprehensif. 

Padahal kepercayaan dan keimanan kepada yang gaib merupakan bagian terpenting dari landasan dasar keimanan. Apa buktinya? Lihat saja! 

  • Ayat ketiga dari surat Al-Baqarah menyatakan, “…yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib dan orangorang yang mendirikan shalat serta menunaikan zakat.” 
  • Rukun iman dibangun atas dasar percaya kepada yang gaib, yaitu: Percaya kepada Allah, malaikat, serta qadha baik dan buruk. 
  • Sifat Allah, “Dialah yang mengetahui yang gaib.” 

Jadi jelaslah, bahwa kata gaib tidak sesempit yang kita bayangkan. Gaib adalah pengetahuan serta keyakinan terhadap sesuatu yang bersifat immaterial atau metafisika yang tidak bisa ditangkap dan dijelaskan dengan panca indra. Namun bisa dirasa-kan, bahkan bisa dibuktikan secara ilmiah. Tentu saja dengan logika yang sehat dan nalar yang cerdas. 

Kesimpulannya, orang yang tidak percaya kepada yang gaib sama saja tidak memercayai keberadaan Allah, tidak memercayai adanya hari akhirat dan hari pembalasan, tidak memercayai Al-Qur`an. Naûdzu billah min dzâlik. 

Mengetahui hal-hal yang gaib tentu saja tidak bisa dipisahkan dari kita sebagai umat Islam yang ber-iman. Setiap hari bahkan setiap detiknya kita selalu bersentuhan dengan kegaiban itu sendiri. Hanya terkadang lantaran pikiran dan hati kita disibukkan pada hal material dan keduniawian sehingga semuanya tampak kabur, bahkan hilang sama sekali. 

Nah, kembali kepada judul di atas tentang Kalkulator Gaib barangkali masih menjadi tanda tanya besar, apakah yang saya maksudkan dengan Kalkulator Gaib di sini? 

Oke, sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, sekarang saya akan berikan soal berhitung (emangnya anak SD, hehehe). Jika Anda memiliki uang Rp100 ribu lalu saya minta Anda sedekahkan Rp30 ribu, berapa sisa uang Anda? 

Barangkali Anda akan menjawab dengan spontan Rp70 ribu dong. Jika Anda jawab sisa Rp70 ribu, maka maaf saya berhak klaim Anda punya ‘kalkulator rusak’, hehehe…Kok bisa? Kan sudah benar itu? Rusak dari mananya? Rumus apa lagi? 

Nah, itu yang saya katakan rumusnya ya bersumber dari “Kalkulator Gaib” tadi. Kinerjanya berbeda dengan logika matematika dunia yang ada. Rumus-nya langsung dari Tuhan Maha Pencipta! Agak mengacaukan logika memang, tapi memang begitulah kenyataannya. 

Teori matematika ini bukan mengada-ada. Teori matematika sedekah ini merupakan teori sedekah berdasarkan janji Allah di dalam Al-Qur`an. 

Di dalam Al-Qur`an jelas-jelas Allah Swt. akan mem-berikan ganjaran berdasarkan peringkat keikhlasan orang yang bersedekah.  

  • Pertama: Allah berikan ganjaran reward sebanyak sepuluh poin. 
  • Kedua: Allah berikan ganjaran 100-700 poin. 
  • “Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir benih yang menum-buhkan tujuh bulir, dan tiap butir (akan menum-buhkan) 100 biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas (karunianya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 261)  
  • Ketiga: Allah berikan ganjaran unlimited reward alias ganjaran tanpa batas. 

“…Sesungguhnya Allah memberikan rezeki bagi orangorang yang dikehendakinya dengan ganjaran tanpa batas.” (QS. Ali Imran [3]: 27, 37) 

Merujuk pada rumus sedekah di atas : 

  • Poin pertama 1 sedekah bernilai lipat ganda 10 
  • Poin kedua 1 sedekah bernilai lipat ganda 700  Poin ketiga 1 sedekah bernilai lipat ganda tak terhingga. 

Demikian rumusnya : 

Uang yang disedekahkan x nilai lipat ganda 10 = hasil + sisa uang.  

30 x 10 poin = nilai gantinya Rp300.000 + 70.000 = 370.000 

Uang yang disedekahkan x nilai lipat ganda 700 = hasil + sisa uang. 

30 x 700 poin = nilai gantinya Rp2.100.000 + Rp70ribu = 2.170.000 

Uang yang disedekahkan x nilai lipat ganda tak terhingga = hasil + sisa uang. 

30 x tak terhingga = nilai gantinya + uang yang tersisa = wallâhu a’lam. 

Inilah mengapa perlunya kita mengimani Keajaiban Bersedekah, bukan karena logika kita yang sedang tidak waras atau kalkulator logika yang sedang rusak, namun karena kita meyakini hal-hal yang gaib. Maka jadilah kalkulator itu disebut ‘Kalkulator Gaib’. 

Sedekah Bikin Miskin?  

Sedekah bisa bikin kita miskin. Benarkah? Ingat, ini bisikan setan. Termaktub dalam QS. Al-Baqarah [2]: 268: “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir). Sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” 

Saudaraku, cermatilah ayat di atas, di dalamnya sesungguhnya mengandung empat janji bagi orang yang bersedekah. Dua janji datangnya dari setan. Yakni kemiskinan dan kejahatan. Sementara dua janji lainnya datangnya dari Allah. Yakni ampunan dan karunia dalam rezeki. “Setan itu menjanjikan (menakut-nakuti) Anda dengan kemiskinan. Ia ber-kata, ‘Janganlah kamu mendermawakan hartamu. Simpanlah saja karena engkau akan memerlukannya.’ Setan juga menyuruh Anda berbuat kejahatan (kikir). Adapun Allah menjanjikan kepada berupa ampunan dari-Nya atas segala kemaksiatan yang telah Anda lakukan dan karunia yang melimpah dalam men-jemput rezeki,” demikian kata Ibnu Abbas dalam kitab Ath-Thabari. 

Wahai saudaraku yang budiman! Percayalah engkau kepada janji-janji Allah, dan janganlah engkau percaya kepada janji-janji setan. Yakinlah, bahwa sedekah takkan bikin engkau kelaparan. Yakinlah. Tidakkah engkau ingat pesan Baginda Rasulullah kepada sahabat Bilal agar rajin bersedekah. “Berinfaklah, wahai Bilal! Dan jangan kuatir Yang Memiliki Arsy akan membuatmu fakir,” demikian sabda 

Rasulullah sebagaimana direkam dengan baik oleh Abu Hurairah dan tulis oleh At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr. 

Alangkah kuatnya jaminan untuk orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah. Tentu saja orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, maka Zat Yang Memiliki Arsy akan menjamin rezekinya. Ia takkan mati karena kemelaratan dan kekurangan. Itu takkan terjadi. Percayalah! 

Pertanyaannya, dengan janji siapa Anda lebih per-caya? Janji Allah yang akan mengampuni dan menga-yakan Anda? Atau janji setan yang akan menakuti-nakuti Anda dengan kemiskinan, kelaparan, kemelaratan dan menyuruh Anda berbuat bakhil? Pilihan Andalah yang akan menentukan posisi Anda kelak. Kalau Anda lebih percaya dengan janji setan, maka otomotis Anda enggan bersedekah. Anda akan bakhil. Dan kalau sudah demikian, ingatlah dengan sabda baginda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad berikut ini: “Kebakhilan dan iman tidak akan menyatu dalam hati seseorang. Debu  yang beterbangan di jalan Allah dan asapnya api neraka tidak mungkin bersatu di setiap wajah hamba-Ku.” 

Bukan Hanya Menjaga Harta, Tapi Juga Melipatgandakan Harta 

Katakanlah, Anda punya dua orang keponakan. Si abang dan si adik. Suatu hari, Anda memberikan uang Rp100.000,- kepada si abang seraya berpesan, “Uang ini boleh kamu pakai sesukanya. Hanya saja, sebagian tolong kamu berikan kepada adikmu ya.” Kira-kira berapa yang akan diberikan oleh si abang kepada si adik? Yang jelas, tidak mungkin Rp2500,-. Berhubung pesannya sebagian, kemungkinan Rp20.000,- sampai Rp40.000,- yang akan diberikan oleh si abang. 

Kurang lebih begini: 

  • Kalau sebagian kecil, itulah 5-10 persen  Kalau sebagian, itulah 20-40 persen. 
  • Kalau setengah, itulah 50 persen. 
  • Kalau sebagian besar, itulah 60-90 persen. 

Begitulah, anak kecil saja tahu apa itu sebagian. Masak kita tidak tahu apa itu sebagian? Huh, kebangetan! Bukankah Al-Qur`an menganjurkan kita bersedekah sebagian dari harta? Bukankah Nabi dan sahabat senantiasa bersedekah sebagian dari harta? Nah, kalaulah kita belum mampu, hendaklah kita ber-sedekah minimal 10 persen dan terus ditingkatkan. Jadikan bersedekah 20 sampai 40 persen itu cita-cita. Niatkan. 

Sahabat sekalian, inilah yang sebenarnya. Dalam AlQur`an, bersedekah itu diistilahkan ‘menafkahkan harta’ atau ‘membelanjakan harta’. Itu ‘kan syarat untuk bersedekah banyak. Eh, sama orang Indonesia istilah itu malah diganti jadi ‘menyisihkan harta’. Pantesan sedekahnya sedikit! 

Yang jelas, 2,5 persen itu zakat harta namanya. (Pst, beda dengan zakat fitrah). Yang jelas pula, secara umum zakat ‘hanya’ mampu menjaga harta, bukan meningkatkan harta. Yap, hampir seluruh dalil menunjukkan demikian. 

Kurang lebih begini: 

  • Taruhlah harta Anda Rp100.000.000,- 
  • Tanpa zakat, nilainya akan merosot alias kurang dari Rp100.000.000,- 
  • Dengan zakat, nilainya akan terjadi alias tetap di Rp100.000.000,- 
  • Dengan sedekah, nilainya akan alias lebih dari Rp100.000.000,- 
  • Boleh dibilang, zakat itu proteksi dan sedekah itu investasi. 

Perumpamaan lain. Ada seorang investor memberi Anda modal. Jadilah dia dan Anda bekerjasama dengan sistem bagi hasil. Di mana 10 persen hasil untuk dia dan 90 persen hasil untuk Anda. Tentunya Anda senang sekali. Sampaisampai Anda cengengesan tiga hari tiga malam. Karena menurut Anda, ini merupakan usaha yang betul-betul menguntung-kan. Iya kan? 

Begitu juga dengan sedekah. Allah, Sang Maha Investor telah memberi Anda modal kehidupan, berupa kekuatan, kesehatan, kecerdasan, dan lain-lain. Sudah sepantasnya Anda senang sekali menge-luarkan 10 persen di jalan-Nya. Toh, yang 90 persen tetap di tangan Anda.  

Wong, dalam kehidupan bernegara saja, kita mengeluarkan 10 persen untuk pajak. Mestinya kita berani mengeluarkan lebih dari 10 persen untuk sedekah. Apalagi balasan sedekah jauh lebih pasti dan jauh lebih banyak daripada balasan pajak. Tidak pernah dikemplang! Sedekah 10 persen itu menjadi semacam pencukup rezeki dan pencukup ibadah.  

Bahkan, Sedekah pun Dapat Mengubah Takdir 

Dahulu, Nabi Ibrahim pernah diberitahu oleh Malaikat Maut  bahwa sahabatnya–seorang pemuda–akan meninggal keesokan harinya. Yah, itulah takdirnya. Ternyata, pada keesokan harinya si pemuda itu masih hidup dan terus hidup sampai di usia 70 tahun. 

Setelah menyimpan keheranannya sekian lama, akhirnya Nabi Ibrahim menanyakan penyebabnya kepada Malaikat Maut. Maka dijawablah oleh Malaikat Maut, “Memang, aku hendak mencabut nyawanya. Namun, malam itu ia menyedekahkan setengah hartanya. Lalu Allah mengubah takdirnya. Allah memanjangkan umurnya.” Wah! 

Kejadian kurang lebih serupa juga pernah terjadi di zaman Nabi Muhammad.  Dikisahkan, seorang tukang kayu akan dipatuk ular dan ditakdirkan meninggal karena patukan itu. Ternyata, pada hari itu ia tidak jadi dipatuk ular dan tidak jadi meninggal. Usut punya usut, di perjalanan ia menyedekahkan makanan miliknya satu-satunya. 

Buka  mata Anda lebar-lebar (jangan sampai copot ya. hehehe). Perhatikan baik-baik. Dengan izin Allah, ruparupanya sedekah dapat mengubah takdir. Sedekah dapat memanjangkan umur. Sedekah dapat menghentikan Malaikat Maut. Dengan kata lain, ternyata Malaikat Maut pun bisa ‘diatur’ dengan uang. Hehehe. Caranya, tentu dengan bersedekah, bukan dengan menyogok. 

Apabila ditinjau dari sisi ilmiah, sebenarnya kejadian ini sangatlah mungkin. Seorang pakar bernama Dr. Stephen Post menyimpulkan dengan lugas dan tegas di bukunya, “Sifat dermawan itu menyehatkan dan memanjangkan umur. Bahkan, dua kali lebih menye-hatkan daripada 

Aspirin.” 

Konon, setiap pagi ada dua malaikat yang berseru. Yang satu berseru, “Ya Tuhan, karuniakanlah balasan kepada orang yang bersedekah.” Dan yang satu lagi berseru, “Musnahkanlah orang yang enggan ber-sedekah.” Itu artinya, para malaikat berpegang teguh pada prinsip, “Maju tak gentar, membela yang bayar.” Maksudnya, membela yang bersedekah. Hehehe. 

Bersedekah Berharap Imbalan? Lho, Kok… 

Ada sebagian orang yang nyeletuk kaya gini, “Kalau bersedekah hanya untuk melipatgandakan uang berarti tidak ikhlas dong?” 

Dengarkan baik-baik! Pesan saya begini! Jangan membenturkan antara keutamaan sedekah dengan makna keikhlasan. Karena hasilnya akan kacau. Akhir-akhirnya, ikhlasnya juga nggak dan sedekahnya juga nggak, kan parah tuch. Sudahlah! 

Menurut saya, soal ikhlas itu biarlah itu urusan Allah yang Maha Menilai dan Mahatahu. Tugas kita hanyalah berusaha dan berlatih ikhlas. Karena ikhlas bukanlah ucapan, tapi amalan hati yang bisa terlihat dari kebiasaannya, tanpa beban dan tanpa tekanan. Pertanyaannya begini, mengapa Anda sangat ikhlas sekali jika bersedekah Rp1.000? Ya, barangkali memang Anda sudah terbiasa bersedekah segitugitunya dari dulu! 

Sekarang coba sekali-kali Anda bersedekah lebih banyak, misalnya Rp1 juta. Saya yakin perlu ada latihan ekstra untuk mengikhlaskan hati Anda agar benar-benar full ikhlas seperti Anda bersedekah Rp1.000 bukan? 

Tapi jika Anda sudah terbiasa bersedekah Rp1 juta, saya yakin hal itu bukanlah sesuatu yang membebani. Kenapa apa? Ya, karena Anda sudah terbiasa! Oleh karena itulah, ikhlas membutuhkan latihan dan pembiasaan. Ikhlas tidak ikhlas tetap saja sedekah, toh ntar juga bisa ikhlas sendiri! 

Lantas bolehkah Anda berharap imbalan dari sedekah yang Anda berikan? Pertanyaannya kepada siapa Anda berharap? Kepada orang yang Anda beri atau kepada Allah? Jika Anda berharap kepada makhluk, tentu saja hal itu tidak bisa disebut sebagai sebuah keikhlasan. Tapi jika Anda hanya berharap balasan rezeki yang berlipat dari Allah, maka hal itu sah-sah saja. Karena Dia juga yang memotivasi kita untuk gemar bersedekah dengan nilai kelipatan yang digandakan. Bukankah Allah Swt. berfirman: “Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Alah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, dan tiap butir (akan menumbuhkan) 100 biji.  Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas (karunianya) lagi Maha Mengetahui.”  (QS. Al-Baqarah [2]: 261) 

Jelaslah bahwa tidak mengapa kita berharap dari sedekah yang kita berikan, selama pengharapan itu kembalikan kepada-Nya yang Mahakaya. 

Coba bayangkan, kalau sedekah harus nunggu ikhlas. 

“Pak, mohon sedekahnya. Saya kelaparan.” 

“Ntar deh. Sekarang hati saya belum ikhlas.” 

“Waduh, tolonglah Pak. Saya hampir sekarat nih.” 

“Yah, gimana lagi. Hati saya belum ikhlas. Ntar sedekah saya jadi sia-sia.” 

Beginilah yang banyak cari alasan. Menunggu ikhlas dulu, baru sedekah. Celakanya, si pengemis bisa keburu mati! Celakanya, si orang tadi juga bisa keburu mati! Sebelum sempat beribadah, sebelum sempat bersedekah. 

Saatnya Bersedekah! 

Bersedekahlah jor-joran. Karena kalau Anda memberikan surprise  kepada sesama, maka Dia akan memberikan surprise  kepada Anda. Jangan lupa, ajak kerabat dan sahabat Anda untuk berderma. Pesan Nabi, “Siapa yang mengajak orang lain pada kebaikan, maka baginya pahala semua orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” 

Mulai sekarang, apapun hajat Anda, ‘belilah’ dengan sedekah. Memang, hakikat dari seluruh amalan –termasuk sedekah– adalah untuk mendapatkan ridha Allah. Namun, Anda juga boleh berharap fadilah, keutamaan, manfaat, atau dampak dari amalan tersebut. 

#Syaiful_Anwar

#Fakultas_Ekonomi

#Universitas_Andalas

#Kampus2_Payakumbuh

#7_Hukum_Kekayaan

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *