WALHI Sumbar Nilai Pemprov Berpihak Ke Oligarki Bukan Kepada Rakyat Air Bangis

jendelakaba.com — Direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumbar Wengki Purwanto meminta agar pemerintah dan aparat penegak hukum menyelesaikan konflik agraria di Air Bangis Pasaman Barat mengedepankan hak asasi manusia (HAM), baik secara dialogis dan restorative justice saat dialog dengan berbagai pihak di DPRD Sumbar, Selasa (22/8/2023).

“Kenapa untuk perusahaan pemerintah bisa memfasilitasi penyelesaian penggunaan kawasan hutan tanpa izin usaha? Kenapa untuk masyarakat kecil kita tidak bisa diselesaikan secara humanis?,” ujar Wengki

Ia menilai, pendekatan hukum pidana kepada masyarakat menunjukkan keberpihakan pemerintah justru untuk kepentingan oligarki, bukan untuk kepentingan rakyat.

Pihaknya meminta semua unsur, termasuk DPRD Sumbar mendorong agar rencana Proyek Strategis Nasional (PSN) di Air Bangis ditinjau ulang dan kalau perlu dicabut.

“Karena dalam rekomendasi pembahasan RT/RW sudah disampaikan bahwa ini tumpang tindih dengan wilayah kelola masyarakat, dan berpotensi konflik. Statusnya bukan clear and clean digunakan, ini yang perlu dicermati, akan ada ribuan jiwa yang terdampak kalau PSN ini diakomodir dan dilanjutkan tanpa mempertimbangkan hal tersebut,” jelas Wengki.

Wengki menyebut bahwa penyelesaian konflik agraria butuh waktu, maka dalam waktu dekat Pemprov Sumbar harus memastikan masyarakat bisa memanen dan menjual hasil kebunnya tanpa dipaksa harus dijual ke satu kelompok. Begitu juga pihaknya meminta Polda Sumbar menarik semua aparat di Air Bangis.

“Dari informasi yang dihimpun, masyarakat jauh lebih aman ketika Brimob tak di kampung mereka. Dulu di Agustus 2022, Polda sebenarnya sudah sepakat melalui Komnas HAM bahwa pendekatan yang dilakukan harus dialogis dan restorative justice, Komnas HAM sudah berulang kali mengingatkan secara tertulis kepada Polda,” imbuhnya.

Dari informasi dan data yang dipunyai WALHI Sumbar, perusahaan yang berencana akan membangun industri refinery dan petrochemical, serta sarana prasarana pendukung lainnya butuh lahan yang dinilai bombastis karena mencapai 30 ribu hektare.

Hal yang demikian menurutnya akan berdampak terhadap ribuan jiwa masyarakat di Nagari Air Bangis.

Wengki dihadapan jaringan pembela HAM, legislator, hingga pejabat Pemprov Sumbar merasa aneh ketika Gubernur Sumbar Mahyeldi mengklaim status kawasan di Air Bangis itu clear and clean digunakan.

“Sementara di lapangan, itu juga merupakan kawasan pemukiman, fasilitas pendidikan, sarana prasarana ibadah serta perkebunan rakyat. Jadi itu juga merupakan aktivitas sosial ekonomi masyarakat,” katanya.

Menurutnya, dalam penyelesaian konflik agraria di Air Bangis ini kebijakan perhutanan sosial bisa menjadi salah satu opsi.

Namun menurut WALHI Sumbar, ada indikasi kebijakan perhutanan sosial justru ditunggangi oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menguasai lahan-lahan perkebunan masyarakat.

“Kalau perhutanan sosial itu berjalan sesuai dengan aturan, maka itu bisa menjadi salah satu opsi penyelesaian, bisa melalui kebijakan perhutanan sosial atau melalui kebijakan tanah objek reforma agraria (TORA),” jelas Wengki.

“Sekarang itu masih dalam kawasan hutan produksi, kenapa tidak tersentuh? Ketika yang muncul kepermukaan ada tuan-tuan tanah yang menguasai sawit ratusan hektare, tapi yang disentuh masyarakat kecil, kenapa tak yang besar-besar itu aja yang disentuh? Kenapa hanya masyarakat kecil yang sulit untuk menjual hasil kebun? Buka aja datanya, siapa yang punya ratusan hektare itu? Kenapa selama ini dia aman?,” kata Wengki lagi.

Sementara itu, pendamping hukum masyarakat Air Bangis Samaratul Fuad mengatakan bahwa wacana PSN di Air Bangis itu informasinya akan dikerjakan di lahan seluas 30 ribu hektare.

30 ribu hektare itu, bukan hanya di kawasan hutan, melainkan sampai ke perairan laut Air Bangis dan langsung berbatasan dengan Samudera Hindia.

Sementara, ujarnya, luas Nagari Air Bangis itu hanya 44 ribu hektare, dan penduduknya sekitar 28 ribu. “Kalau itu jadi, kemana mereka?,” kata Fuad yang turut berdialog dengan DPRD Sumbar kemarin sore.

“Kenapa gubernur mengusulkan itu tanggal 9 Juli dan 30 Juli sudah disetujui, kajiannya mana? Dikatakan kawasan itu clear and clean, kapan gubernur tahu bahwa tu clear and clean? Faktanya ribuan masyarakat disitu ribuan yang tinggal di situ. Mereka mau kemana? Nelayan gimana?,” tambahnya.

Dalam kesempatan tersebut, hadir Wakil Ketua DPRD Sumbar Suwirpen Suib, anggota dewan lainnya yaitu Nurfirman Wansyah, Evi Yandri, Maigus Nasir, hingga Leli Arni. Selain itu juga hadir Kepala Dinas Kehutanan Sumbar Yozarwardi, pihak BPN, dan WALHI serta jaringan pembela HAM Sumbar.(*)

 

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *