Inovasi Pertanian Ramah Lingkungan di Dharmasraya: Sawah Pokok Murah Dorong Efisiensi dan Produktivitas Petani

Dharmasraya, 13 April 2025 — Sebuah angin segar berembus dari sektor pertanian Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Inovasi pertanian yang dikenal dengan metode Sawah Pokok Murah mulai diterapkan oleh sejumlah petani dan menunjukkan hasil menggembirakan. Metode ini bukan hanya menawarkan efisiensi biaya, tetapi juga membawa harapan baru dalam mewujudkan pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Metode Sawah Pokok Murah, yang secara nasional dikenal dengan nama MTOT (Mulsa Tanpa Olah Tanah), merupakan teknik pertanian tanpa pembajakan lahan dan memanfaatkan jerami sisa panen sebagai mulsa alami. Di Sumatera Barat, metode ini diperkenalkan dan dipopulerkan oleh Ir. Joni, seorang tokoh inovatif dalam bidang penyuluhan pertanian.

Efisiensi Tinggi dan Ramah Lingkungan

Menurut Khairul Amin, Koordinator Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Koto Salak, metode ini terbukti mampu menghemat biaya produksi karena petani tidak perlu lagi mengolah tanah secara konvensional maupun membeli pupuk secara berlebihan.

“Dengan memanfaatkan jerami hasil panen sebagai penutup lahan, petani bisa menekan biaya pengolahan tanah dan pupuk secara signifikan. Ini tentu sangat membantu, apalagi di tengah naiknya harga pupuk dan bahan bakar,” ungkap Khairul saat ditemui pada Minggu (13/4).

Dua orang petani dari Kelompok Tani Harapan Sempurna, yakni Eko Wahyudi dan Sutrisno, menjadi contoh sukses penerapan metode ini. Selama dua musim tanam terakhir, mereka konsisten menggunakan Sawah Pokok Murah dan mengakui adanya peningkatan produktivitas serta penurunan biaya operasional.

“Awalnya kami coba karena penasaran, ternyata memang hasilnya bagus. Tanaman padi tumbuh sehat, serangan hama berkurang, dan kami tak perlu membajak sawah seperti biasanya,” ujar Eko Wahyudi.

Tantangan Penerapan di Era Mekanisasi

Meski membawa angin segar, penerapan metode Sawah Pokok Murah tak lepas dari tantangan. Salah satu hambatan utama adalah kondisi lahan pertanian yang sudah sepenuhnya bermekanisasi. Penggunaan alat panen modern seperti komben (combine harvester) justru menjadi penghalang utama keberhasilan metode ini.

“Lahan yang dipanen menggunakan komben biasanya rusak karena jejak ban dan berat mesin. Hal ini membuat struktur tanah tidak ideal untuk metode ini. Metode ini jauh lebih cocok diterapkan di lahan yang dipanen secara manual, di mana tanah tetap rata dan sisa jerami tersusun rapi,” jelas Khairul Amin.

Selain itu, ketersediaan jerami sebagai bahan utama mulsa menjadi isu tersendiri di Koto Salak. Jerami pascapanen kerap diperebutkan oleh peternak sapi sebagai pakan, sehingga menyulitkan petani yang ingin menerapkan metode Sawah Pokok Murah.

“Kami sangat memahami kebutuhan peternak, tapi di sisi lain jerami juga penting untuk metode ini. Harus ada sinergi ke depan antara petani dan peternak agar bisa saling menguntungkan,” imbuh Khairul.

Peluang Besar di Lahan Rawa dan Non-Mekanisasi

Dari wilayah lain di Dharmasraya, Sulastri, penyuluh pertanian dari BPP Koto Baru yang aktif di Sialang Gaung, turut berbagi pandangan. Ia menjelaskan bahwa metode ini sebenarnya sangat potensial diterapkan di lahan-lahan rawa yang tidak memungkinkan untuk dibajak.

“Dua tahun lalu kami sudah sosialisasikan metode ini. Di lahan rawa, petani sering kesulitan membajak, maka metode ini menjadi solusi tepat. Tanpa olah tanah, jerami ditinggalkan sebagai mulsa dan ternyata hasilnya malah bagus,” ungkap Sulastri.

Namun tantangan serupa tetap hadir. Petani di Sialang Gaung sudah terbiasa dengan panen menggunakan alat komben dan langsung membajak lahan setelah panen. Rutinitas ini membuat penerapan metode Sawah Pokok Murah sulit untuk dipraktikkan secara luas di sana.

Padahal, lanjut Sulastri, beberapa petani yang berhasil menerapkannya terbukti mendapatkan hasil ubinan yang lebih tinggi serta menekan biaya produksi. Bahkan, mereka juga melaporkan penurunan serangan hama, yang selama ini menjadi momok bagi petani padi.

“Dari hasil ubinan yang kami pantau, hasil panen meningkat sekitar 10–15%. Ini sangat positif. Kita hanya perlu mencari cara agar metode ini bisa beradaptasi dengan sistem mekanisasi, atau mungkin diarahkan ke wilayah yang masih mempertahankan cara panen tradisional,” kata Sulastri.

Harapan untuk Masa Depan Pertanian Dharmasraya

Metode Sawah Pokok Murah tidak hanya menghadirkan solusi praktis dan ekonomis, tetapi juga mendukung pertanian yang lebih ekologis. Tanpa perlu pengolahan tanah yang intensif, lahan tidak mengalami degradasi, dan keberadaan mikroorganisme tanah tetap terjaga.

Kisah sukses Eko Wahyudi dan Sutrisno, serta dukungan dari koordinator penyuluh seperti Khairul Amin dan pendampingan dari penyuluh lapangan seperti Sulastri, menjadi bukti bahwa pertanian masa depan tidak harus mahal dan kompleks. Dengan pendekatan sederhana, lokal, namun efektif, petani bisa mandiri dan sejahtera.

Pemerintah daerah dan instansi terkait diharapkan dapat melihat potensi besar ini dan memberikan dukungan lebih lanjut, baik melalui pelatihan, penyuluhan, hingga regulasi yang mendukung sinergi antara petani dan peternak dalam penggunaan jerami.

Di tengah tantangan iklim dan ketergantungan pada pupuk kimia, metode seperti Sawah Pokok Murah adalah jawaban nyata untuk pertanian berkelanjutan yang lebih murah, sehat, dan lestari. Dharmasraya, dengan potensi alam dan semangat inovasi petaninya, berpeluang menjadi pelopor pertanian ramah lingkungan di Sumatera Barat dan Indonesia.

Respon (1)

  1. Good day! I could have sworn I’ve been to this site before but after browsing through some of the post I realized it’s new to me. Anyways, I’m definitely glad I found it and I’ll be book-marking and checking back frequently!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *